PIDANA PENJARA DALAM PANDANGAN ISLAM
OLEH: M. LUBABUL MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
PENDAHULUAN
Dalam buku Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul “Negara Tanpa Penjara”, ada pemikiran menarik dari Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hazairin, SH., tentang pidana penjara. Menurutnya, pidana penjara adalah sebuah pidana yang tidak jelas tujuan dan orientasinya. Kalaulah tujuan penjara adalah untuk pembalasan (retribusi) atas kejahatan pelaku, kenapa pidana ini sangat ‘memanjakan’ pelaku kejahatan, sampai kemudian layak – dan memang pada akhirnya-- disebut ‘lembaga pemasyarakatan’, bukannya ‘lembaga penghukuman’ misalnya? Tapi kalau memang tujuannya adalah untuk mendidik pelaku kejahatan agar menjadi baik, pidana ini tetap belum bisa dipersamakan dengan suatu lembaga pendidikan akhlak yang sesungguhnya. Karena itulah berarti, pidana ini ambigu dalam hal tujuan dan orientasinya. Bukan hanya itu, pidana ini juga sangat banyak menghabiskan dana negara. Padahal, manfaatnya tidak jelas sama sekali.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, beliau kemudian mengusulkan dihapuskannya jenis pidana ini dari sistem hukum pidana Indonesia. Untuk mengatasi persoalan yang dihadapi hukum pidana Indonesia, beliau menyarankan agar kita kembali kepada sistem hukum pidana Islam, yang salah satunya adalah dengan cara menghapuskan pidana penjara:
Tahukah pembaca bahwa negara tanpa penjara telah dimulai 13 setengah abad yang lalu oleh Muhammad SAW. berdasar atas kemauan Allah yang disampaiakan kepadanya mealui ayat-ayat al-Qur’an. Qur’an yang mengartur hidup kerohabian dan hidup kemasyarakatan umat Islam dan karena itu mengatur pula hukum perdata dan hukum pidana bagi mereka, ternyata sungguh tidak pernah menetapkan wajib adanya hukum penjara. Qur’an tidak pernah mewajibkan umat Islam menyediakan penjara, malahan tidak pernah menganjurkan atau mengajarkannya, karena al-qur’an tidak ada mengandung sebuah pelanggaran pun yang atasnya harus dikenakan hukuman penjara ataupun hukuman kurungan. Ini bukanlah disebabkan, karena Qur’an tidak mengenal pengertian penjara. Bahwa Qur’an mengenal penjar terbukti dari Surat 12 (Yusuf) dimana kita mendapat tahu bahwa dalam negara Fir’aun penjara telah bertebaran sebagai alat penjara. Karena tu dapatlah kita simpulkan bahwa Qur’an tidak mau memilih penjara sebagai alat hukuman.
Beliau sangat gigih untuk memperjuangkan penghapusan pidana penjara dari sistem hukum pidana Indonesia. Karena menurut beliau, selain pidana ini tidak jelas tujuan dan orientasinya, pidana ini juga tidak dianjurkan oleh Islam. Lebih dari itu, beliau bahkan terkesan meyakini bahwa pidana ini sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana tampak pernyataannya ketika memberi pengantar “konsep negara tanpa penjara”-nya:
Paling utama pula saya tujukan tuliwsan ini kepada semua orang yng sungguh beriman, begitu pula kepada mereka yang beriman dengan bibirnya tetapi fasik dalam hati dan perbuatannya, dan juga kepada orang-orang yang mengaku beriman kepeda pujaannya tetapi tidak menghiraukan sebagian dari suruhan dan larangannya; kepada mereka ini termasuk mereka yang giat menyerukan secularisme.
Pemikiran Prof. Hazairin ini tentunya bukanlah sebuah ‘harga mati’ yang tidak boleh dikritisi, karena apa yang ia kemukakan ini masih termasuk dalam ‘medan fiqih’, yang di dalamnya dimungkinkan dan diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Apalagi, masih ada pula pemikir lain yang tidak sependapat. Prof. Dr. Jimly Asshidiqiqe misalnya, ia mengatakan bahwa meskipun gagasan ‘kepenjaraan’ itu dewasa ini tengah menghadapi gelombang kritik di mana-mana, termasuk di dalam dunia ilmiah, tetapi – paling tidak—dapat dikatakan bahwa gagasan kepenjaraan itu cukup mempunyai dasar yuridis dalam al-Qur’an untuk diterapkan dalam kebijaksanaan kriminal suatu negara.
PEMBAHASAN
A. JENIS PIDANA DALAM ISLAM
Jenis-jenis pidana dalam Islam dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Dari segi obyek ancamannya:
a. Pidana atas jiwa, terdiri dari:
i. Pidana mati dengan pedang
ii. Pidana mati dengan digantung di tiang gantungan salib (disalib)
iii. Pidana mati dengan dilempari batu (rajam)
b. Pidana atas harta kekayaan, yang meliputi:
i. Pidana diyat ganti rugi
ii. Pidana ta’zir sebagai tambahan
c. Pidana atas anggota badan, berupa:
i. Pidana potong tangan dan kaki
ii. Pidana potong tangan atau kaki
iii. Pidana pemukulan atau penamparan yang merupakan variasi bentuk pidana ta’zir sebagai peringatan dan pengajaran
d. Pidana atas kemerdekaan, berupa:
i. Pidana pengusiran dan pembuangan
ii. Pidana penjara seumur hidup
iii. Pidana penahanan yang bersifat sementara
e. Pidana atas rasa kehormtan dan keimanan, terdiri dari:
i. Pidana teguran atu peringatan
ii. Kaffarah sebagai hukuman yang bersifat religius
2. Dari segi tingkat bahaya kejahatan yang diancamnya:
a. Bentuk pidana qishash dan diyat
b. Bentuk pidana hudud
c. Bentuk pidana ta’zir
3. Dari segi bentuk hakikinya:
a. Pidana mati
b. Pidana ganti rugi
c. Pidana potong tangan dan/atau kaki
d. Pidana penjara
e. Pidana teguran atau peringtan
f. Pidana religius (kaffarah)
g. Pidana ta’zir yang dapat merupakan:
i. Pidana tambahan (pemberatan)
ii. Bentuk-bentuk inovatif terhadap bentuk-bentuk yang sudah ditentukan.
B. PIDANA PENJARA DALAM PANDANGAN ISLAM
1. Pidana Penjara
Sebelum membahas tentang pidana penjara dalam pandangan Islam, harus diketahui dulu apa yang dimaksud dengan pidana penjara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.
Pidana penjara sangat mirip dengan pidana kurungan, karena tempat pelaksanaannya sama, yaitu di Lembaga Pemasyarakatan. Tetapi bila dilihat dari segi operasionalisasi / praktek pelaksanaannya berbeda, yaitu:
- Pidana penjara biasanya diancamkan pada kejahatan yang sifatnya serius/berat, sedangkan pidana kurungan biasanya diancamkan pada delik-delik yang bersifat ringan;
- Orang yang menjalani pidana penjara dapat dipindahkan ke LP lain sesuai dengan keperluan pembinaan/alasan tertentu, sedangkan ormng yang menjalani pidana kurungan tidak;
- Pekerjaan orang yang dipidana penjar lebih berat dari pekerjaan orang yang dipidana kurungan;
- Pakaian orang yang dipidan penjara hrus seragam, sedangkan orang yang dipidana kurungan tidak;
- Orang yang dipidana penjara tidak memiliki hak Pistole (hak memperbaiki kondisi, sarana/fasilitas di LP dengan biaya sendiri), sedangkan orang yang dipidan kurungan memiliki hak itu;
- Dalam pelaksanaan pidana penjara, dimungkinkan pelaksanaan konsep Pidana Penjara Bersyarat, sedang dlam pidana kurungan tidak.
Dalam pembahasan ada tidaknya pidana penjara dalam Islam, perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan tersebut tidaklah menjadi persoalan penting. Karena yang menjadi titik tekan pembahasan disini adalah apakah Islam menganjurkan, atau setidak-tidaknya mengizinkan, pelaksanaan pidana dengan cara mengurung terpidana dalam suatu bangunan tertentu ataukah tidak. Dan kalau seandainya Islam memang menganjurkan/mengizinkan pidna yang demikian itu, prinsip-prinsip apa saja yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya.
2. Pidana Penjara Dalam Perspektif Hukum Islam
A. Pandangan Hukum Islam Atas Pidana Penjara
Hukum Pidana Islam mempunyai berbagai jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatannya, diantaranya adalah ta’zir. Ta’zir sendiri secara bahasa berarti pencegahan, pertolongan, dan kemudian kata ini sering digunakan untuk menunjukkan arti pendidikan dan pengajaran. Menurut Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhailiy, ta’zir secara syara’ berarti hukuman yang disyari’atkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak ada had dan kafarat didalamnya. Baik itu jinayah terhadap hak Allah, seperti makan di siang hari bulan Ramadhan, ataupun jinayah terhadap hak hamba, seperti pencurian yang tidak mencapai satu nishab, pencurian yang barangnya tidak diambil dari al-hirz, dan tuduhan yang bukan tuduhan zina . Sedangkan menurut Dr. Musthafa al-Rafi’i, ta’zir adalah hukuman yang ukurannya tidak dijelaskan oleh nash syara’ dan untuk menentukannya diberikan pada waliy al-amri dan qadli .
Berdasarkan konsep pidana ta’zir diatas, maka jelaslah bahwa dalam hal nash-nash syara’ belum mengatur tentang suatu kejahatan atau pidana, seorang imam/hakim, bila memang perlu, punya kewenangan dan boleh untuk melakukan kriminalisasi dan penalisasi sendiri. Menurut jumhur ulama (selain Malikiyyah), disini qadli punya kewenangan bebas untuk menentukan jenis pidananya (äæÚ ÇáÚÞæÈÉ), tetapi tidak untuk kadar pidananya (ãÞÏÇÑ ÇáÚÞæÈÉ ( , karena ada batas maksimum untuk pidana ta’zir. Apalagi menurut Al-Qarrafiy, pidana ta’zir dapat saja berbeda-beda, sesuai dengan tempat dan waktu. Para fuqoha berpendapat bahwa jenis pidana ta’zir tidak terbatas. Adapun jenis pidana ta’zir yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih, maka hal itu hanyalah penyebutan beberapa contoh saja, dan sama sekali bukan penyebutan secara keseluruhan.
Bila kita mencermati beberapa pendapat ulama tersebut di atas, jelaslah bahwa sebenarnya Hukum Islam tidak pernah menutup kemungkinan diadakannya pidana penjara, sepanjang itu memang diperlukan. Apalagi dalam masa Rasulullah pernah dipraktekkan suatu jenis ta’zir yang esensinya sangat mirip dengan pidana penjara, yaitu ta’zir berupa pembuangan (al-nafyu, al-ib’ad) terhadap orang-orang yang menyerupai wanita (ÇáãÎäËíä). Karena itulah mungkin, maka Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Orang laki-laki yang menyerupai perempuan (hukumannya adalah) dilenyapkan (diasingkan), karena ia tidak mendatangkan apa-apa kecuali kerusakan. Imam berhak untuk membuangnya ke daerah yang penduduknya dipandang aman darinya, atau jika imam takut akan itu, penjarakanlah dia”.
Esensi dari ta’zir pembuangan ini adalah untuk mengisolir pelaku kejahatan dari masyarakatnya agar ia tidak mempengaruhi yang lainnya, sebagaimana tampak dalam pernyataan Imam Ahmad diatas. Itu berarti bahwa esensi dari ta’zir tidak berbeda dengan esensi pidana penjara. Leonard Orland, dalam buku Prisons: Houses of Darkness, menyebutkan beberapa justifikasi teoritis diadakannya pidana penjara, yaitu: (a) The problem of recidivism (masalah residivis), (b) Retribution (pembalasan), (c) Deterrence (pencegahan), dan (d) Isolation (mengisolir terpidana dari masyarakat).
Menurut Dr. Jimly Asshidiqie, SH., pidana ta’zir pembuangan yang dipraktekkan pada zaman dahulu sekarang ini perlu dipertanyakan relevansinya. Di zaman sekarang, dimana perhubungan dan transportasi sudah tidak menjadi masalah berarti, pidana pembuangan bisa dikatakan tidak punya arti sama sekali. Karena itu, mengingat esensi dari pembuangan dan penjara adalah sama, yaitu isolasi dan pelajaran bagi pelaku kejahatan, pidana pembuangan/pengasingan yang sudah tidak efektif ini perlu diganti dengan pidana penjara. Pidana penjara adalah bentuk pengembangan lebih lanjut dari pidana ta’zir berupa pembuangan/pengasingan. Karena yang terpenting adalah, bagaimana agar pidana ta’zir yang dijatuhkan punya efektivitas.
Berdasarkan pemaparan diatas, jelas kiranya bahwa hukum Islam tidak pernah melarang diadakannya pidana penjara. Bahkan Rasulullah pernah membuat suatu pidana ta’zir yang bisa dianggap mengindikasikan legalitas pidana ini dalam Islam.
B. Pidana Penjara dalam Konsep Islam
A. Definisi Penjara (al-Habsu, al-Sijnu)
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan secara terminologi berarti “menahan atau mencegah seseorang pelaku kejahatan dari pergaulan dengan masyarakat”.
B. Dasar-dasar Diadakannya Pidana Penjara Dalam Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai legalitas pidana penjara. Sebagian golongan Hanbali dan yang lainnya berpendapat bahwa pidana penjara tidak pernah disyari’atkan dalam Islam. Alasannya, di zaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak ada lembaga penjara, dan keduanya juga tidak pernah memenjarakan seorang pun, tetapi mengasingkannya di suatu tempat. Padahal, mereka sudah tahu pidana penjara karena pidana ini sudah ada sebelum masa mereka.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah ini tidaklah berarti bahwa pidana penjara tidak disayari’atkan dalam hukum Islam, karena saat itu memang belum membutuhkan adanya pidana penjara. Sampai kemudian tiba pada masa ‘Umar, dimana penduduk semakin banyak dan kian menyebar sehingga muncul kebutuhan diadakannya pidana penjara, pidana penjara pun mulai tampak. Berikut ini adalah dasar-dasar yang memperkuat pendapat yang mengatakan dianjurkannya pidana penjara dalam Islam.
1. Dasar dari al-Qur’an
Ayat al-Qur’an yang bisa dianggap menjadi dasar pidana penjara diantaranya adalah QS. Al-Nisa’: 5 yang artinya: “Maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain padanya”. Ayat ini menunjukkan perintah untuk menahan dan memenjarakan dalam rumah, sehingga dapat diartikan pula sebagai pensyari’atan diadakannya pidana penjara. Ayat kedua adalah QS. 5: 33, yang artinya: “Atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. Imam Malik dan ulama Kufah mengatakan bahwa membuang berarti memenjarakan, sehingga dibuang dari keluasan dunia ke sempitnya dunia. Ketika dipenjara, maka seolah-olah ia telah dibuang dari luasnya dunia ke dalam sempitnya penjara yang menjadi tempatnya berada.
2. Dasar dari Sunnah
Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, dan Nasa’I meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menahan seorang tertuduh, kemudian meninggalkan orang tersebut. Al-Hakim pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah menahan seorang tertuduh selama sehari semalam. Apa yang dilakukan Rasulullah ini menunjukkan disyari’atkannya pidana penjara.
3. Dasar Dari Ijmak Sahabat
Adapun dasar dari ijmak sahabat tampak ketika khalifah ‘Umar dan Utsman menerapkan pidana penjara. Dan tidak satupun sahabat yang mengingkarinya ataupun protes.
4. Dasar dari Praktek Sejarah dan Pendapat Ulama
Dalam beberapa buku, kita bisa mendapati bahwa pidana penjara pernah dipraktekkan dalam beberapa Daulah Islamiyyah. Syed Hussein Alatas misalnya, ketika menjelaskan contoh sikap konsistennya Imam Ahmad, mengatakan: “He was beaten and imprisoned by the Caliph for refusing to agree on some theological points (Imam Ahmad pernah dipukul dan dipenjara oleh Khalifah al-Mu’tashim karena menolak untuk menyetujui beberapa pemikiran teologis)”.
Itu adalah contoh dari penerapan pidana penjara di negara Islam pada zaman dahulu. Sedangkan contoh dari penerapan pidana penjara di negara Islam saat ini adalah Pasal 1 UU Pemberantasan Suap Saudi Arabia yang menyatakan:
ßá ãæÙÝ ÚÇã ØáÈ áäÝÓå Çæ áÛíÑå Çæ ÞÈá Çæ ÇÎÐ æÚÏÇ Çæ ÚØíÉ áÃÏÇÁ Úãá ãä ÇÚãÇá æÙíÝÊå Çæ íÒÚã Çäå ãä ÇÚãÇá æÙíÝÊå æáæ ßÇä åÐÇ ÇáÚãá ãÔÑæÚÇ íÚÏ ãÑÊÔíÇ æíÚÇÞÈ ÈÇáÓÌä ãä ÓäÉ Çáì ÎãÓ ÓäæÇÊ æÈÛÑÇãÉ ãä ÎãÓÉ ÇáÝ ÑíÇá Çáì ãÇÆÉ ÇáÝ ÑíÇá Çæ ÈÇÍÏì åÇÊíä ÇáÚÞæÈÊíä
(Setiap pejabat publik yang meminta untuk dirinya sendiri atau orang lain, atau menerima atau mengambil sesuatu janji atau pemberian untuk melakukan tindakan tertentu yang termasuk dalam pekerjaan jabatannya, atau patut diduga termasuk dalam pekerjaan jabatannya, meskipun pekerjaan tersebut diperintahkan, dianggap sebagai penerima suap dan dipidana dengan pidana penjara satu sampai lima tahun dan pidana denda sebanyak lima ribu sampai seratus ribu riyal, atau salah satu dari keduanya)
Selain itu, banyak ulama yang dalam buku-bukunya menyebutkan secara eksplisit pidana penjara. Contohnya Imam Ibnu Taimiyyah, beliau menuliskan:
Apabila hanya mengancam dengan senjata, namun tidak sampai membunuh dan mengambil harta, kemudian memasukkan senjata kembali, maka hukumannya adalah diasingkan dari tempat kediamannya. Ada yang mengatakan pengasingannya adalah dengan cara mengarantinanya ke tempat tertentu, maka mereka tidak ditinggal begitu saja untuk meminta-minta di negara lain. Pendapat lain mengatakan, pengasingannya dengan cara dipenjara.
Contoh dari ulama kontemporer adalah Dr. Muhammad Al-Zuhaily. Dekan dan Guru Besar Hukum Islam dari Fakultas Syari’ah Damascus University yang juga murid Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaily ini, dalam buku Al-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah (Teori-teori Fiqih) menuliskan: ”Pidana ta’zir banyak dan bermacam-macam. Ada yang menimpa badan, seperti pidana mati dan jilid…………….Ada yang menimpa badan dan jiwa, seperti penjara dan pengasingan (al-habsu wa al-nafyu), …….”.
Apabila kita mencermati peta perbedaan pemikiran di kalangan ulama seputar legalitas pidana penjara dalam hukum Islam, maka yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pidana penjara diperbolehkan dan disyari’atkan dalam hukum Islam. Dasar dari mereka yang menolak hanya satu, yaitu Rasulullah dan Abu Bakar tidak pernah mempraktekkannya. Sedangkan dasar mereka yang berpendapat bahwa pidana penjara disyari’atkan dalam hukum Islam sangat banyak dan kuat. Karena itu, dapatlah kita simpulkan kiranya bahwa pidana penjara dipebolehkan dan disyari’atkan dalam hukum Islam sebagai salah satu jenis pidana ta’zir.
C. Aturan Penerapan Pidana Penjara Menurut Islam
Meski pidana penjara dimungkinkan dalam hukum Islam, dalam penerapannya tetap ada batasan dan aturan. Pidana ini termasuk pidana ta’zir, sehingga untuk aturan penerapan dan pelaksananya harus mengikuti kaidah-kaidah umum penjatuhan pidana ta’zir. Diantara azas-azas umum pidana ta’zir yang paling penting adalah:
1. Berbeda dengan pidana hudud, qishash, dan diyat yang ukurannya sudah ditentukan, pidana ta’zir adalah pidana yang tidak ada ketentuan kadarnya. Karena itu, imam/hakim dalam penjatuhan pidana penjara haruslah menentukan kadar yang pantas dan adil bagi semua pihak: masyarakat, pelaku, dan korban.
2. Dalam ta’zir harus diperhatikan kondisi pelaku dan jenis perbuatannya. Ini berbeda dengan pidana hudud, qishash, diyat, dan kafarat yang hanya melihat jenis kejahatan saja; sepanjang unsur delik telah terpenuhi, pidana harus dijatuhkan tanpa melihat kondisi pelaku. Karena itu, dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara (yang sudah jelas merupakan bagian dari ta’zir), kondisi pelaku harus dipertimbangkan juga. Kadar pidana penjara untuk orang yang bandel dan sehat harus berbeda dengan kadar untuk mereka yang penurut dan lemah fisiknya.
3. Tujuan utama pidana ta’zir adalah untuk pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Karena itulah, pidana penjara, mengingat termasuk pidana ta’zir yang diantara tujuannya adalah untuk pembalasan, bagaimanapun juga, harus mengandung unsur nestapa bagi pelaku dan jangan terlalu ‘memanjakannya’, tapi juga jangan terlalu menyengsarakannya secara berlebihan. Inilah yang mungkin sering dilupakan dalam konsep pidana penjara barat, dimana seringkali pidana penjaranya terlalu mengedepankan unsur pendidikan an sich, sampai kemudian penjara dianggap sebagai ‘lembaga pemasyarakatan’ dan ‘sekolahan para napi’ semata, yang didalamnya sangat minim penderitaan. Pola penjara seperti di barat ini sangat memperhatikan -- bahkan memanjakan -- posisi pelaku (offender), dan sangat mengabaikan posisi korban (victim).
4. Harus diperhatikan efektifitas dari penjatuhan pidananya. Apabila pidana penjara diperkirakan justru akan menjadi madlarat, seperti menjadi ajang berbagi ilmu kejahatan antara para napi misalnya, maka pidana ini harus dihindari dan diganti dengan jenis ta’zir lainnya.
KESIMPULAN
Para ulama berbeda pendapat mengenai status pidana penjara dalam hukum Islam. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pidana penjara sama sekali tidak diajarkan dalam Islam. Alasannya adalah karena pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak pernah ada penjara, padahal mereka tahu jenis pidana ini. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa pidana ini disyari’atkan dalam hukum Islam berdasarkan dalil Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sahabat.
Apabila kedua pendapat tersebut dibandingkan, yang lebih kuat dan lebih patut dijadikan pegangan adalah pendapat yang mengatakan bahwa pidana ini dianjurkan dalam hukum Islam. Apalagi, di zaman sekarang ini pidana penjara seolah menjadi kebutuhan mutlak. Bisa dikatakan, sekarang ini tidak ada negara yang tidak punya lembaga bernama penjara.
Karena itu, pidana penjara sebaiknya tetap dipertahankan eksistensinya. Hanya saja, dalam penerapannya harus diperhatikan aturan dan batasannya. Diantara yang harus selalu diingat adalah bahwa pidana ini intinya merupakan pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Selain itu, karena pidana penjara termasuk dalam jenis ta’zir yang menimpa badan dan jiwa, pidana ini juga harus selalu memperhatikan kondisi jasmani dan rohani terpidana.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Zuhaily, Muhammad, Al-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah, Damascus: Dar al-Qalam, t. t.
- Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu Juz 6¸ Beirut: Dar al-Fikr, 1989
- Orland, Leonard, Prisons: Houses of Darkness, New York: The Free Press, 1975
- Jacob, James B., New Perspective On Prisons and Imprisonment, London: Cornell University Press, 1983
- Alatas, Syed Hussein, Corruption and The Destiny of Asia, Selangor: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd., 1999
- Al-Rafi’i, Musthafa, Ahkam al-Jara’im fi al-Islam, al-Qishash wa al Hudud wa at-Ta’zir, t. tempat: al-Dar al-Afriqiyah al-‘Arabiyyah, 1996
- Al-Buthiy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut: Mua’ssasah al-Risalah, 1986
- Al-Thariqiy, Abdullah, Jarimah al-Rasywah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Riyadh: tanpa penerbit, 1986
- Taimiyyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlahi al-Raa’I wa al-Ra’iyyah, terj. Rofi’ Munawwar, Lc. , Surabaya: Risalah Gusti, 1995
- Hazairin, Tujuh Serangka Tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1981
- Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Hukum Pidana Dalam Tradisi Fiqih dan Relevansinya bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Bandung: Penerbit Aksara
- Kholiq, Abdul AF., Buku Pedoman Hukum Pidana, Yogyakarta: FH-UII, 2002
- Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1991
Selasa, 19 Februari 2008
‘IBADAH YANG MENJADI MAKSIAT’
DAN ‘MAKSIAT YANG MENJADI IBADAH’
BY: Muhammad Lubab al-Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Ada sebuah ungkapan menarik yang dikatakan oleh Ibnu ‘Atha’illah: maksiat yang menimbulkan perasaan hina dan butuh (akan rahmat Tuhan) adalah lebih baik daripada ibadah yang menumbuhkan perasaan mulia dan tinggi hati (ma’shiyatun awratsat dzullan wa iftiqaran khoirun min tha’atin awratsat ‘izzan wa istikbaran). Sepintas, ungkapan sang tokoh sufi tersebut memang terkesan terlalu berani, seolah dia adalah Tuhan yang punya kewenangan menilai amal kita. Tapi apabila kita merenunginya secara serius, kita akan mendapati kedalaman makna yang sungguh luar biasa darinya. Maqalah tersebut bukanlah ungkapan yang tidak berdasar, karena sesungguhnya ungkapan tersebut adalah penjelasan lebih mendalam dari Hadis Nabi yang menyatakan, dosa terkadang dapat memasukkan pelakunya ke surga (rubba dzanbin adkhala shahibahu al-jannata). Kita baru dapat memahami ungkapan kontroversial diatas hanya apabila kita mampu memaknai maksiat dan ibadah bukan dari lahiriahnya saja, tapi juga hakikatnya.
Hakikat Ibadah dan Maksiat
Secara bahasa, kata ‘abida-ya’budu-‘ibadah berarti menghamba, menyembah, dan menghinakan diri pada Tuhan. Dari semua makna yang dikandungnya, dapat kita simpulkan kiranya bahwa hakikat ibadah pasti tidak akan jauh dari yang namanya “sifat rendah diri”. Sedangkan kata ‘asha-ya’shi-ma’shiyah artinya adalah durhaka, melawan, dan menentang. Durhaka, melawan, dan menentang adalah perbuatan yang hanya bisa ada jika pelakunya merasa sombong, mulia, dan berbesar hati. Dari sini jelaslah bahwa maksiat pastilah tidak akan jauh dari yang namanya “perasaan tinggi hati”.
Dalam buku al-Hikam al-‘Atha’iyyah Syarh wa Tahlil, Dr. Sa’id Ramadlan al-Buthiy secara sangat logis menjelaskan ungkapan Ibnu ‘Atha’illah diatas. Menurutnya, hakikat dari ibadah adalah merasa hina, rendah diri, dan lemah dihadapan Yang Maha Mutlak, sehingga kita kemudian menyembah-Nya dan selalu mengharap rahmat dari-Nya. Sedangkan hakikat dari maksiat adalah perasaan sombong, tinggi hati, dan berbesar hati didepan Sang Khaliq, sehingga kita kemudian merasa tidak begitu butuh akan rahmatNya, bahkan berani melawan perintah dan larangannya (al-Buthiy: 2000, hal. 143).
Itulah hakikat dari masing-masing dari keduanya. Ibadah sangat erat kaitannya dengan perasan rendah hati, lemah, dan perasaan hina. Sebaliknya, maksiat sangat erat kaitannya dengan kesombongan, over self confidence, dan suka merendahkan yang lainnya. Konsekuensinya, apabila hakikat dari keduanya sampai tertukar, maka, semestinya, tertukar pula nama dari masing-masing, karena nama hanyalah “bungkus” dari sebuah hakikat.
Maksudnya, apabila ibadah yang kita lakukan pada kenyataannya justru menimbulkan perasan tinggi hati, merasa paling suci, dan suka memandang rendah yang lainnya, maka itu bukanlah ibadah, tapi justru maksiat. Atau dengan kata lain, ‘maksiat yang berbaju ibadah’. Begitu juga sebaliknya. Bahkan secara lebih ekstrem, Ibnu ‘Ajibah al-Hasaniy, dalam Iqadz al- Himam fi Syarh al-Hikam, sampai menegaskan bahwa pelaku maksiat yang merasa menyesal, hina, dan berdosa, pada hakikatnya lebih baik daripada ahli ibadah yang merasa “Pe-De” dengan ibadahnya dan merasa paling alim sendiri (Ibnu ‘Ajibah: t.t., hal.187).
Kita tidak bisa menjamin bahwa seorang yang berbaju koko, rajin beribadah dan selalu aktif di masjid adalah lebih mulia di sisi Allah dari para PSK yang ‘aktif’-nya di lokalisasi. Karena bukan hal yang mustahil, kesalehan yang dilakukan ahli ibadah tadi mungkin justru malah membuatnya merasa paling ‘bersih’ sendiri, sangat ‘PD’, dan suka memandang yang lainnya ‘kotor’. Merasa sudah rajin ibadah, bisa jadi, dia tidak begitu merasa rendah diri atau hina lagi. Sebaliknya, si PSK tadi setiap malam menangis menyesali kehinaan dirinya didepan Tuhan, tapi ia, dengan sangat terpaksa, tak bisa meninggalkan dunianya karena takut anaknya putus sekolah atau kelaparan.
Secara lahiriah, terlebih lagi kalau dilihat dari kacamata fiqh yang legalistik formal, PSK tadi jelas salah dan berdosa besar. Namun, bila kita merenungi lagi hakikat ibadah dan maksiat diatas, siapa yang dapat menjamin bahwa didepan Tuhan, kedudukan ahli ibadah tadi lebih tinggi dari PSK ini? Apalagi kalau kita ingat hadis diatas, bahwa terkadang maksiat dapat memasukkan pelakunya ke surga. Bukankah Allah Maha Tahu dan Maha Pengampun? Rahmat-Nya juga sangat luas bagi siapa saja yang Dia kehendaki, termasuk untuk PSK tadi. Bukankah kita tidak bisa ‘memaksa’ Tuhan untuk menghukum PSK tadi atau memasukkan ahli ibadah tadi ke surga-Nya? Tuhan punya ‘hak prerogatif’ untuk melakukan apa saja yang Ia suka.
Yang ingin penulis tekankan disini bukanlah menetapkan bahwa maksiat lebih baik dari ibadah, tetapi menunjukkan betapa sulitnya melakukan ibadah yang diterima disisi Allah.
Bagaimana Ibadah Semestinya Dilakukan??
Karena ibadah terikat oleh syarat-syarat formal dan materiil, maka agar ibadah diterima, kita tentu harus dapat memenuhi semua syarat yang ada. Syarat formal ibadah adalah syarat yang biasa dibahas dalam fiqh. Syarat formal ini relatif lebih mudah untuk dipenuhi karena tolak ukurnya sangat jelas, sebagaimana telah dijelaskan secara rinci dalam fiqh. Bila semua syarat yang ditentukan fiqh tersebut telah terpenuhi, belum berarti ibadah pasti diterima oleh Allah, karena masih ada syarat-syarat lain, yaitu syarat materiil. Syarat inilah yang lebih sulit dipenuhi sebab tolak ukurnya tidak jelas, mengingat sangat erat kaitannya dengan hati. Contoh dari syarat materiil diantaranya adalah ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, khusyu’, dan mempunyai dampak positif.
Untuk benar-benar ikhlas saja kita masih merasa kesulitan. Padahal, keikhlasan adalah syarat materiil pertama diterimanya ibadah. Kalau memang ibadah kita hanya untuk Allah, kenapa kita tetap saja merasa berkecil hati ketika orang memandang kita sebagai bukan orang alim? Kita pun masih seringkali bahagia dan merasa nyaman ketika orang-orang mengenal kesalehan kita, apalagi kalau sampai disebut ustadz. Seorang yang sudah benar-benar ikhlas tidak akan pernah bersikap demikian. Dia tidak memperdulikan apa kata orang mengenai dirinya, malah ia justru merasa senang jika kesalehannya tidak diketahui orang lain.
Dari semua syarat-syarat pelaksanaan ibadah, syarat yang terpenting sekaligus paling sulit pemenuhannya adalah syarat yang berkaitan dengan dampak dari ibadah, sebab dalam syarat inilah hakikat ibadah berada. Karena ibadah berangkat dari perasaan rendah diri, lemah, dan hina, maka dampak dari ibadah juga tidak boleh jauh dari itu. Inilah mengapa Allah berfirman: Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya, ketika melakukan shalat, kita harus benar-benar menginsyafi kehinaan, kelemahan, dan rendahnya kita dihadapan Tuhan, sehingga dari situ semestinya kita sangat tidak pantas lagi melawan larangan Yang Maha Perkasa dengan melakukan perbuatan keji dan munkar.
Demikianlah, Tuhan sebenarnya tidak begitu banyak menuntut dari kita. Dia hanya ingin agar kita selalu mengakui kelemahan dan kehinaan kita sebagai hamba. Itu saja, tidak lebih. Prosesi dari pengakuan kelemahan dan kehinaan ini kemudian dikenal dengan istilah ‘ibadah’. Sebaliknya, Tuhan sangat tidak suka jika kita sampai bersikap arogan, sombong, dan berbesar diri, baik terhadap-Nya maupun terhadap mahkluk-Nya.
Oleh karena itu, sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan kembali firman Allah dalam salah satu hadis qudsi: Kemuliaan adalah selendangKu dan kesombongan adalah sarungKu. Maka barang siapa yang mengambilnya dariKu, Aku pasti memberikan azab padanya. Karena itu, marilah kita tata kembali ibadah kita, agar ibadah yang kita lakukan jangan sampai membuat kita berbesar hati dan merasa mulia, sehingga malah menimbulkan murkaNya. Wallahu a’lamu bish shawab.
DAN ‘MAKSIAT YANG MENJADI IBADAH’
BY: Muhammad Lubab al-Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Ada sebuah ungkapan menarik yang dikatakan oleh Ibnu ‘Atha’illah: maksiat yang menimbulkan perasaan hina dan butuh (akan rahmat Tuhan) adalah lebih baik daripada ibadah yang menumbuhkan perasaan mulia dan tinggi hati (ma’shiyatun awratsat dzullan wa iftiqaran khoirun min tha’atin awratsat ‘izzan wa istikbaran). Sepintas, ungkapan sang tokoh sufi tersebut memang terkesan terlalu berani, seolah dia adalah Tuhan yang punya kewenangan menilai amal kita. Tapi apabila kita merenunginya secara serius, kita akan mendapati kedalaman makna yang sungguh luar biasa darinya. Maqalah tersebut bukanlah ungkapan yang tidak berdasar, karena sesungguhnya ungkapan tersebut adalah penjelasan lebih mendalam dari Hadis Nabi yang menyatakan, dosa terkadang dapat memasukkan pelakunya ke surga (rubba dzanbin adkhala shahibahu al-jannata). Kita baru dapat memahami ungkapan kontroversial diatas hanya apabila kita mampu memaknai maksiat dan ibadah bukan dari lahiriahnya saja, tapi juga hakikatnya.
Hakikat Ibadah dan Maksiat
Secara bahasa, kata ‘abida-ya’budu-‘ibadah berarti menghamba, menyembah, dan menghinakan diri pada Tuhan. Dari semua makna yang dikandungnya, dapat kita simpulkan kiranya bahwa hakikat ibadah pasti tidak akan jauh dari yang namanya “sifat rendah diri”. Sedangkan kata ‘asha-ya’shi-ma’shiyah artinya adalah durhaka, melawan, dan menentang. Durhaka, melawan, dan menentang adalah perbuatan yang hanya bisa ada jika pelakunya merasa sombong, mulia, dan berbesar hati. Dari sini jelaslah bahwa maksiat pastilah tidak akan jauh dari yang namanya “perasaan tinggi hati”.
Dalam buku al-Hikam al-‘Atha’iyyah Syarh wa Tahlil, Dr. Sa’id Ramadlan al-Buthiy secara sangat logis menjelaskan ungkapan Ibnu ‘Atha’illah diatas. Menurutnya, hakikat dari ibadah adalah merasa hina, rendah diri, dan lemah dihadapan Yang Maha Mutlak, sehingga kita kemudian menyembah-Nya dan selalu mengharap rahmat dari-Nya. Sedangkan hakikat dari maksiat adalah perasaan sombong, tinggi hati, dan berbesar hati didepan Sang Khaliq, sehingga kita kemudian merasa tidak begitu butuh akan rahmatNya, bahkan berani melawan perintah dan larangannya (al-Buthiy: 2000, hal. 143).
Itulah hakikat dari masing-masing dari keduanya. Ibadah sangat erat kaitannya dengan perasan rendah hati, lemah, dan perasaan hina. Sebaliknya, maksiat sangat erat kaitannya dengan kesombongan, over self confidence, dan suka merendahkan yang lainnya. Konsekuensinya, apabila hakikat dari keduanya sampai tertukar, maka, semestinya, tertukar pula nama dari masing-masing, karena nama hanyalah “bungkus” dari sebuah hakikat.
Maksudnya, apabila ibadah yang kita lakukan pada kenyataannya justru menimbulkan perasan tinggi hati, merasa paling suci, dan suka memandang rendah yang lainnya, maka itu bukanlah ibadah, tapi justru maksiat. Atau dengan kata lain, ‘maksiat yang berbaju ibadah’. Begitu juga sebaliknya. Bahkan secara lebih ekstrem, Ibnu ‘Ajibah al-Hasaniy, dalam Iqadz al- Himam fi Syarh al-Hikam, sampai menegaskan bahwa pelaku maksiat yang merasa menyesal, hina, dan berdosa, pada hakikatnya lebih baik daripada ahli ibadah yang merasa “Pe-De” dengan ibadahnya dan merasa paling alim sendiri (Ibnu ‘Ajibah: t.t., hal.187).
Kita tidak bisa menjamin bahwa seorang yang berbaju koko, rajin beribadah dan selalu aktif di masjid adalah lebih mulia di sisi Allah dari para PSK yang ‘aktif’-nya di lokalisasi. Karena bukan hal yang mustahil, kesalehan yang dilakukan ahli ibadah tadi mungkin justru malah membuatnya merasa paling ‘bersih’ sendiri, sangat ‘PD’, dan suka memandang yang lainnya ‘kotor’. Merasa sudah rajin ibadah, bisa jadi, dia tidak begitu merasa rendah diri atau hina lagi. Sebaliknya, si PSK tadi setiap malam menangis menyesali kehinaan dirinya didepan Tuhan, tapi ia, dengan sangat terpaksa, tak bisa meninggalkan dunianya karena takut anaknya putus sekolah atau kelaparan.
Secara lahiriah, terlebih lagi kalau dilihat dari kacamata fiqh yang legalistik formal, PSK tadi jelas salah dan berdosa besar. Namun, bila kita merenungi lagi hakikat ibadah dan maksiat diatas, siapa yang dapat menjamin bahwa didepan Tuhan, kedudukan ahli ibadah tadi lebih tinggi dari PSK ini? Apalagi kalau kita ingat hadis diatas, bahwa terkadang maksiat dapat memasukkan pelakunya ke surga. Bukankah Allah Maha Tahu dan Maha Pengampun? Rahmat-Nya juga sangat luas bagi siapa saja yang Dia kehendaki, termasuk untuk PSK tadi. Bukankah kita tidak bisa ‘memaksa’ Tuhan untuk menghukum PSK tadi atau memasukkan ahli ibadah tadi ke surga-Nya? Tuhan punya ‘hak prerogatif’ untuk melakukan apa saja yang Ia suka.
Yang ingin penulis tekankan disini bukanlah menetapkan bahwa maksiat lebih baik dari ibadah, tetapi menunjukkan betapa sulitnya melakukan ibadah yang diterima disisi Allah.
Bagaimana Ibadah Semestinya Dilakukan??
Karena ibadah terikat oleh syarat-syarat formal dan materiil, maka agar ibadah diterima, kita tentu harus dapat memenuhi semua syarat yang ada. Syarat formal ibadah adalah syarat yang biasa dibahas dalam fiqh. Syarat formal ini relatif lebih mudah untuk dipenuhi karena tolak ukurnya sangat jelas, sebagaimana telah dijelaskan secara rinci dalam fiqh. Bila semua syarat yang ditentukan fiqh tersebut telah terpenuhi, belum berarti ibadah pasti diterima oleh Allah, karena masih ada syarat-syarat lain, yaitu syarat materiil. Syarat inilah yang lebih sulit dipenuhi sebab tolak ukurnya tidak jelas, mengingat sangat erat kaitannya dengan hati. Contoh dari syarat materiil diantaranya adalah ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, khusyu’, dan mempunyai dampak positif.
Untuk benar-benar ikhlas saja kita masih merasa kesulitan. Padahal, keikhlasan adalah syarat materiil pertama diterimanya ibadah. Kalau memang ibadah kita hanya untuk Allah, kenapa kita tetap saja merasa berkecil hati ketika orang memandang kita sebagai bukan orang alim? Kita pun masih seringkali bahagia dan merasa nyaman ketika orang-orang mengenal kesalehan kita, apalagi kalau sampai disebut ustadz. Seorang yang sudah benar-benar ikhlas tidak akan pernah bersikap demikian. Dia tidak memperdulikan apa kata orang mengenai dirinya, malah ia justru merasa senang jika kesalehannya tidak diketahui orang lain.
Dari semua syarat-syarat pelaksanaan ibadah, syarat yang terpenting sekaligus paling sulit pemenuhannya adalah syarat yang berkaitan dengan dampak dari ibadah, sebab dalam syarat inilah hakikat ibadah berada. Karena ibadah berangkat dari perasaan rendah diri, lemah, dan hina, maka dampak dari ibadah juga tidak boleh jauh dari itu. Inilah mengapa Allah berfirman: Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya, ketika melakukan shalat, kita harus benar-benar menginsyafi kehinaan, kelemahan, dan rendahnya kita dihadapan Tuhan, sehingga dari situ semestinya kita sangat tidak pantas lagi melawan larangan Yang Maha Perkasa dengan melakukan perbuatan keji dan munkar.
Demikianlah, Tuhan sebenarnya tidak begitu banyak menuntut dari kita. Dia hanya ingin agar kita selalu mengakui kelemahan dan kehinaan kita sebagai hamba. Itu saja, tidak lebih. Prosesi dari pengakuan kelemahan dan kehinaan ini kemudian dikenal dengan istilah ‘ibadah’. Sebaliknya, Tuhan sangat tidak suka jika kita sampai bersikap arogan, sombong, dan berbesar diri, baik terhadap-Nya maupun terhadap mahkluk-Nya.
Oleh karena itu, sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan kembali firman Allah dalam salah satu hadis qudsi: Kemuliaan adalah selendangKu dan kesombongan adalah sarungKu. Maka barang siapa yang mengambilnya dariKu, Aku pasti memberikan azab padanya. Karena itu, marilah kita tata kembali ibadah kita, agar ibadah yang kita lakukan jangan sampai membuat kita berbesar hati dan merasa mulia, sehingga malah menimbulkan murkaNya. Wallahu a’lamu bish shawab.
KRIMINALISASI MARXISME-LENINISME
OLEH: M. LUBABUL MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
PENDAHULUAN
Komunisme, suatu paham yang seringkali diidentikkan dengan Marx dan Lenin, telah berkembang menjadi ideologi politik nasional di berbagai negara, khususnya negara yang menganut paham sosialisme. Komunisme sebagai sebuah paham berhadapan secara konfrontatif dengan paham lainnya, kapitalisme, yang berkembang di beberapa negara maju seperti Amerika. Ketika komunisme mengalami puncak kejayaannya seiiring dengan berkibarnya Uni Soviet, maka saat itu dengan sendirinya kapitalisme sebagai ‘lawan’ dari komunisme mengalami ‘niedergang’, atau penurunan kualitas dan citra.
Keadaan kemudian berbalik pada saat Uni Soviet bubar. Kapitalisme kembali berkibar, dan lawannya, komunisme, secara otomatis langsung menerima giliran untuk mengalami ‘niedergang’. Komunisme tampaknya memang akan sulit berkembang, karena mempunyai banyak ‘musuh’. Musuh dari komunisme bukan hanya kapitalisme saja, tapi juga paham-paham lain yang menjadi paham resmi berbagai negara, khususnya negara yang religius. Negara-negara yang religius biasanya sangat anti dengan komunisme, marxisme, dan leninisme karena paham-paham tersebut terlanjur terkenal sebagai paham yang bersifat atheis.
Di Indonesia, komunisme mulai masuk pada masa pemerintahan Soekarno, presiden pertama RI. Setelah berhasil masuk ke tubuh bangsa Indonesia, komunisme kemudian pada tanggal 30 September 1965 mencoba melakukan makar, tapi dapat digagalkan. Komunisme ingin mengganti ideologi negara Indonesia, namun ideologi Pancasila yang telah ditetapkan sebagai ideologi bangsa Indonesia ternyata tak bisa diruntuhkan. Berangkat dari pengalaman sejarah ini, pemerintah Indonesia saat itu kemudian langsung mengambil inisiatif untuk membersihkan hal-hal yang berbau komunisme.
Pembersihan hal-hal yang berbau komunisme ini lalu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan. Kita bisa melihat, betapa banyak paraturan-peraturan yang didalamnya terkandung semangat anti komunisme. Salah satu peraturan yang berkaitan dengan fenomena paham komunisme adalah UU No. 27 Tahun 1999. UU ini dianggap bermasalah oleh banyak orang, sehingga memunculkan dua golongan: yang pro dan yang kontra.
Makalah singkat ini akan membahas UU yang, menurut beberapa kalangan, bermasalah tersebut dari perspektif hukum pidana. Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah tentang kebijakan kriminalisasi yang ada di dalamnya, dan analisis atas materi UU.
PEMBAHASAN
A. ANALISIS ATAS KEBIJAKAN KRIMINALISASI ‘KEJAHATAN IDEOLOGI’ DALAM UU NOMOR 27 TAHUN 1999
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Ideologi ini merupakan ideologi yang telah disepakati bersama oleh para founding fathers dan semua elemen bangsa, sehingga tidak boleh dirubah-rubah. Tidaklah berlebihan kiranya, apabila dikatakan bahwa berubahnya Pancasila berarti berubahnya bangsa Indonesia. Bila Pancasila sampai dihapuskan maka bangsa Indonesia pun akan ikut terhapus juga, karena Pancasila merupakan dasar, falsafah hidup, dan pondasi bangsa ini.
Pancasila terdiri dari lima sila yang saling berkaitan satu sama lain dan harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Sila yang pertama dalam Pancasila adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dari sila ini, diantaranya, adalah bahwa di dalam wilayah Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan perkataan lain, di dalam negara Indonesia tidak ada dan tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme).
Adalah sebuah fakta yang diterima umum, bahwa komunisme sebagai sebuah paham sangat identik dengan ateisme. Kita tentu masih ingat perkataan dari sang pendiri paham komunisme, Karl Marx, yang menyatakan: “religion is an opium of people !!” Maka dari itu, paham komunisme jelas bertentangan dengan ideologi yang dianut oleh bangsa ini, ideologi Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejarah juga telah membuktikan bahwa komunisme pernah merongrong bangsa ini melalui organisasinya yang bernama PKI. Untunglah, usaha PKI untuk merongrong dan mengganti ideologi bangsa ini dengan ideologi selain Pancasila dapat digagalkan.
Berangkat dari pengalaman sejarah tersebut, dan juga dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia yang semuanya beragama – atau setidak-tidaknya percaya pada Tuhan YME, maka pemerintah Indonesia sejak dulu sampai sekarang bersikap antipati terhadap paham komunisme/Marxisme-Leninisme. Sikap yang anti pati ini diwujudkan, misalnya, dalam UU No. 27 Tahun 1999 yang menjadikan penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai sebuah kejahatan yang atasnya dapat djatuhi pidana.
Komunisme memang tidak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Indonesia yang ber-Tuhan. Komunisme juga pernah terbukti menjadi ancaman bagi keselamatan bangsa ini. Namun apakah hanya karena alasan itu, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat begitu saja untuk dikriminalisasikan?
Secara teoritis, untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai sebuah kejahatan, menurut Prof. Sudarto, SH. dan Bassiouni, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
§ Harus sesuai dengan fungsi hukum pidana sebagai ‘ultimum remidium’ dalam penanggulangan kejahatan.
§ Harus mempertimbangkan kemampuan SDM aparat penegak hukum yang akan melaksanakan penegakan hukumnya.
§ Harus didasarkan atas kalkulasi tentang biaya dan hasil yang akan dicapai (cost-benefit principle).
§ Harus mempertimbangkan efek yang akan timbul (baik terhadap pelaku, korban, maupun masyarakat), termasuk jika perbuatan tersebut tidak dikriminalisasi.
§ Harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga efek ‘general preventive’ akan tercapai.
§ Harus merupakan perbuatan yang imoral (bersifat merusak/tidak sesuai dengan susila, mendatangkan kerugian materiil/spiritual atas warga masyarakat/harm to society).
§ Harus tidak sekedar sebagai reaksi atas suatu masalah atau bahkan politisasi hukum pidana.
Berdasarkan kriteria kriminalisasi diatas, maka kebijakan kriminalisasi paham Komunisme/Marxisme-Leninisme masih dapat dipertanyakan ketepatannya. Komunisme adalah sebuah paham yang tempatnya berada dalam hati atau pikiran seseorang, sehingga sangat sulit diukur dan tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan hukuman-hukuman fisik (memakai pendekatan penal). Dengan kata lain, kriminalisasi terhadap paham tersebut tidak akan mungkin efektif untuk meredamnya.
Tapi, jika sampai tidak dikriminalisasi, pada kenyataannya negara ini membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum dari kemungkinan rongrongan ideologi lain, yang itu bisa terjadi kapan saja bila tidak diantisipasi sejak awal. Jalan tengah yang mungkin bisa diambil adalah dengan cara mengkriminalisasi “penyebaran atau pengembangan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme”, bukan “paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” itu sendiri.
Dalam konsiderans UU No. 27 tahun 1999 dinyatakan: merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.
Rongrongan terhadap ideologi dan dasar negara dapat terjadi kapan saja. Bila tidak diantisipasi sejak awal, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebagai upaya preventif atas terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, yaitu peristiwa G30S/PKI, maka “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” memang perlu untuk dikriminalisasi. Namun begitu, kriminalisasi saja tidak cukup untuk meredam penyebaran paham ini, sehingga harus dilakukan juga upaya-upaya lainnya.
Dalam hukum pidana, untuk mengatasi suatu kejahatan, ada dua cara: penal dan non-penal. ‘Kejahatan ideologi’ seperti penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan kebijakan penal saja, tapi harus didampingi dengan kebijakan non-penal. Atau bahkan mungkin, kebijakan non-penal adalah yang harusnya lebih diutamakan.
Mengenai caranya, karena paham Komunisme/marxisme-leninisme adalah sebuah wacana, maka jika ingin meredamnya, haruslah dengan cara memunculkan kontra-wacana. Tentu bukan hal yang sulit bagi sebuah institusi bernama negara, kalau hanya sekedar melakukan propaganda anti-komunisme dan mempengaruhi opini warga negaranya. Tanpa adanya hal ini, maka seberat apapun hukuman yang ada dalam pendekatan penal, hasilnya tidak akan mungkin efektif, mengingat ‘kejahatan ideologi’ kaitannya adalah dengan pikiran dan hati.
B. ANALISIS ATAS MATERI UNDANG-UNDANG
Ketentuan dalam UU No. 27/1999 yang menjadi masalah adalah beberapa pasal berikut ini:
Pasal 107 a UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 193 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 b UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 194 RUU KUHP
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 195 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/Marxisme- Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 d UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 196 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 e UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 197 RUU KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal-pasal tersebut dirumuskan dalam bentuk delik formil, sehingga bila ingin menjerat dengan pasal-pasal tersebut, semua unsur-unsur dari masing-masing pasal harus terpenuhi. Yang kemudian menjadi masalah adalah, unsur-unsur dari rumusan pasal-pasal itu ternyata sangat lentur dan sangat luas artinya.
Kelemahan paling utama dalam UU No. 27/1999 adalah tidak adanya definisi dan batasan yang jelas mengenai apa itu paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Tidak adanya definisi atau batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ‘penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” dan “dalam segala bentuk dan perwujudan’ dalam ketentuan tersebut diatas, sangat membuka peluang untuk disalahgunakan oleh penguasa.
Yang menjadi masalah lagi adalah ketentuan bahwa organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dapat dikenai pidana juga. Pertanyaannya, apa standar untuk mengetahui atau menduga bahwa suatu organisasi menganut paham tersebut?
Harus diakui, rumusan yang ada dalam Pasal 107 a sampai 107 e merupakan rumusan yang sangat abstrak dan lentur, sehingga dapat ditafsirkan dengan sangat luas. Kalau sudah seperti ini, penguasa (pemerintah) dapat seenaknya menggunakan pasal tersebut untuk menjerat pihak-pihak yang tidak disukainya dengan dalih menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Maka dari itu, rumusan pasal-pasal tersebut harus dirubah atau dilengkapi agar tetap bisa melindungi negara dari bahaya laten komunisme, tapi juga dapat menutup diri dari kemungkinan disalahgunakan oleh penguasa.
KESIMPULAN
Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah paham yang bertentangan dengan Pancasila dan terbukti pernah merongrong bangsa Indonesia melalui G30S/PKI, meskipun tidak berhasil. Oleh karena itu, adalah sangat wajar bila pemerintah Indonesia sangat antipati dengan paham ini dan berusaha mematikannya. Akan tetapi, mengingat Komunisme/Marxisme-Leninisme merupakan sebuah paham yang letaknya ada dalam pikiran manusia, paham ini tidak pantas untuk dikriminalisasi, karena isi pikiran sesorang sangat sulit dideteksi. Selain itu, pemikiran tidak akan mungkin bisa diredam/diberangus hanya dengan hukuman-hukuman (kebijakan penal) saja.
Yang mungkin untuk dilakukan adalah kebijakan kriminalisasi atas penyebaran paham tersebut. Kriminalisasi penyebaran dan pengembangan paham ini memang perlu, sebagai upaya perlindungan terhadap ideologi negara, Pancasila, yang merupakan sendi pokok bangsa ini. Secara teoritis, kriminalisasi atas paham ini juga sudah mencukupi kriteria-kriteria kriminalisasi. Namun begitu, kebijakan tersebut tidak akan ada artinya bila tidak diimbangi dengan kebijakan lainnya.
Perwujudan dari kriminalisasi tersebut dapat dilihat dalam UU No. 27/1999. Sayangnya, UU ini mengandung banyak sekali kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol dalam UU ini adalah tidak adanya definisi atau batasan yang jelas mengenai apa itu itu “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Rumusan pasal-pasal dalam UU ini terlalu luas dan lentur, sehingga sangat berpotensi untuk disalahgunakan oleh penguasa.
Maka dari itulah, perlu diadakan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa pasal-pasal yang ada dalam UU ini, agar bisa memberikan kepastian hukum. Terutama sekali mengenai definisi dan batasan istilah “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Sehingga, nantinya UU ini diharapkan bisa meng-cover kepentingan melindungi ideologi bangsa, tapi juga tidak mudah disalah gunakan oleh penguasa.
OLEH: M. LUBABUL MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
PENDAHULUAN
Komunisme, suatu paham yang seringkali diidentikkan dengan Marx dan Lenin, telah berkembang menjadi ideologi politik nasional di berbagai negara, khususnya negara yang menganut paham sosialisme. Komunisme sebagai sebuah paham berhadapan secara konfrontatif dengan paham lainnya, kapitalisme, yang berkembang di beberapa negara maju seperti Amerika. Ketika komunisme mengalami puncak kejayaannya seiiring dengan berkibarnya Uni Soviet, maka saat itu dengan sendirinya kapitalisme sebagai ‘lawan’ dari komunisme mengalami ‘niedergang’, atau penurunan kualitas dan citra.
Keadaan kemudian berbalik pada saat Uni Soviet bubar. Kapitalisme kembali berkibar, dan lawannya, komunisme, secara otomatis langsung menerima giliran untuk mengalami ‘niedergang’. Komunisme tampaknya memang akan sulit berkembang, karena mempunyai banyak ‘musuh’. Musuh dari komunisme bukan hanya kapitalisme saja, tapi juga paham-paham lain yang menjadi paham resmi berbagai negara, khususnya negara yang religius. Negara-negara yang religius biasanya sangat anti dengan komunisme, marxisme, dan leninisme karena paham-paham tersebut terlanjur terkenal sebagai paham yang bersifat atheis.
Di Indonesia, komunisme mulai masuk pada masa pemerintahan Soekarno, presiden pertama RI. Setelah berhasil masuk ke tubuh bangsa Indonesia, komunisme kemudian pada tanggal 30 September 1965 mencoba melakukan makar, tapi dapat digagalkan. Komunisme ingin mengganti ideologi negara Indonesia, namun ideologi Pancasila yang telah ditetapkan sebagai ideologi bangsa Indonesia ternyata tak bisa diruntuhkan. Berangkat dari pengalaman sejarah ini, pemerintah Indonesia saat itu kemudian langsung mengambil inisiatif untuk membersihkan hal-hal yang berbau komunisme.
Pembersihan hal-hal yang berbau komunisme ini lalu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan. Kita bisa melihat, betapa banyak paraturan-peraturan yang didalamnya terkandung semangat anti komunisme. Salah satu peraturan yang berkaitan dengan fenomena paham komunisme adalah UU No. 27 Tahun 1999. UU ini dianggap bermasalah oleh banyak orang, sehingga memunculkan dua golongan: yang pro dan yang kontra.
Makalah singkat ini akan membahas UU yang, menurut beberapa kalangan, bermasalah tersebut dari perspektif hukum pidana. Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah tentang kebijakan kriminalisasi yang ada di dalamnya, dan analisis atas materi UU.
PEMBAHASAN
A. ANALISIS ATAS KEBIJAKAN KRIMINALISASI ‘KEJAHATAN IDEOLOGI’ DALAM UU NOMOR 27 TAHUN 1999
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Ideologi ini merupakan ideologi yang telah disepakati bersama oleh para founding fathers dan semua elemen bangsa, sehingga tidak boleh dirubah-rubah. Tidaklah berlebihan kiranya, apabila dikatakan bahwa berubahnya Pancasila berarti berubahnya bangsa Indonesia. Bila Pancasila sampai dihapuskan maka bangsa Indonesia pun akan ikut terhapus juga, karena Pancasila merupakan dasar, falsafah hidup, dan pondasi bangsa ini.
Pancasila terdiri dari lima sila yang saling berkaitan satu sama lain dan harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Sila yang pertama dalam Pancasila adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dari sila ini, diantaranya, adalah bahwa di dalam wilayah Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan perkataan lain, di dalam negara Indonesia tidak ada dan tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme).
Adalah sebuah fakta yang diterima umum, bahwa komunisme sebagai sebuah paham sangat identik dengan ateisme. Kita tentu masih ingat perkataan dari sang pendiri paham komunisme, Karl Marx, yang menyatakan: “religion is an opium of people !!” Maka dari itu, paham komunisme jelas bertentangan dengan ideologi yang dianut oleh bangsa ini, ideologi Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejarah juga telah membuktikan bahwa komunisme pernah merongrong bangsa ini melalui organisasinya yang bernama PKI. Untunglah, usaha PKI untuk merongrong dan mengganti ideologi bangsa ini dengan ideologi selain Pancasila dapat digagalkan.
Berangkat dari pengalaman sejarah tersebut, dan juga dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia yang semuanya beragama – atau setidak-tidaknya percaya pada Tuhan YME, maka pemerintah Indonesia sejak dulu sampai sekarang bersikap antipati terhadap paham komunisme/Marxisme-Leninisme. Sikap yang anti pati ini diwujudkan, misalnya, dalam UU No. 27 Tahun 1999 yang menjadikan penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai sebuah kejahatan yang atasnya dapat djatuhi pidana.
Komunisme memang tidak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Indonesia yang ber-Tuhan. Komunisme juga pernah terbukti menjadi ancaman bagi keselamatan bangsa ini. Namun apakah hanya karena alasan itu, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat begitu saja untuk dikriminalisasikan?
Secara teoritis, untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai sebuah kejahatan, menurut Prof. Sudarto, SH. dan Bassiouni, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
§ Harus sesuai dengan fungsi hukum pidana sebagai ‘ultimum remidium’ dalam penanggulangan kejahatan.
§ Harus mempertimbangkan kemampuan SDM aparat penegak hukum yang akan melaksanakan penegakan hukumnya.
§ Harus didasarkan atas kalkulasi tentang biaya dan hasil yang akan dicapai (cost-benefit principle).
§ Harus mempertimbangkan efek yang akan timbul (baik terhadap pelaku, korban, maupun masyarakat), termasuk jika perbuatan tersebut tidak dikriminalisasi.
§ Harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga efek ‘general preventive’ akan tercapai.
§ Harus merupakan perbuatan yang imoral (bersifat merusak/tidak sesuai dengan susila, mendatangkan kerugian materiil/spiritual atas warga masyarakat/harm to society).
§ Harus tidak sekedar sebagai reaksi atas suatu masalah atau bahkan politisasi hukum pidana.
Berdasarkan kriteria kriminalisasi diatas, maka kebijakan kriminalisasi paham Komunisme/Marxisme-Leninisme masih dapat dipertanyakan ketepatannya. Komunisme adalah sebuah paham yang tempatnya berada dalam hati atau pikiran seseorang, sehingga sangat sulit diukur dan tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan hukuman-hukuman fisik (memakai pendekatan penal). Dengan kata lain, kriminalisasi terhadap paham tersebut tidak akan mungkin efektif untuk meredamnya.
Tapi, jika sampai tidak dikriminalisasi, pada kenyataannya negara ini membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum dari kemungkinan rongrongan ideologi lain, yang itu bisa terjadi kapan saja bila tidak diantisipasi sejak awal. Jalan tengah yang mungkin bisa diambil adalah dengan cara mengkriminalisasi “penyebaran atau pengembangan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme”, bukan “paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” itu sendiri.
Dalam konsiderans UU No. 27 tahun 1999 dinyatakan: merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.
Rongrongan terhadap ideologi dan dasar negara dapat terjadi kapan saja. Bila tidak diantisipasi sejak awal, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebagai upaya preventif atas terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, yaitu peristiwa G30S/PKI, maka “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” memang perlu untuk dikriminalisasi. Namun begitu, kriminalisasi saja tidak cukup untuk meredam penyebaran paham ini, sehingga harus dilakukan juga upaya-upaya lainnya.
Dalam hukum pidana, untuk mengatasi suatu kejahatan, ada dua cara: penal dan non-penal. ‘Kejahatan ideologi’ seperti penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan kebijakan penal saja, tapi harus didampingi dengan kebijakan non-penal. Atau bahkan mungkin, kebijakan non-penal adalah yang harusnya lebih diutamakan.
Mengenai caranya, karena paham Komunisme/marxisme-leninisme adalah sebuah wacana, maka jika ingin meredamnya, haruslah dengan cara memunculkan kontra-wacana. Tentu bukan hal yang sulit bagi sebuah institusi bernama negara, kalau hanya sekedar melakukan propaganda anti-komunisme dan mempengaruhi opini warga negaranya. Tanpa adanya hal ini, maka seberat apapun hukuman yang ada dalam pendekatan penal, hasilnya tidak akan mungkin efektif, mengingat ‘kejahatan ideologi’ kaitannya adalah dengan pikiran dan hati.
B. ANALISIS ATAS MATERI UNDANG-UNDANG
Ketentuan dalam UU No. 27/1999 yang menjadi masalah adalah beberapa pasal berikut ini:
Pasal 107 a UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 193 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 b UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 194 RUU KUHP
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 195 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/Marxisme- Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 d UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 196 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 e UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 197 RUU KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal-pasal tersebut dirumuskan dalam bentuk delik formil, sehingga bila ingin menjerat dengan pasal-pasal tersebut, semua unsur-unsur dari masing-masing pasal harus terpenuhi. Yang kemudian menjadi masalah adalah, unsur-unsur dari rumusan pasal-pasal itu ternyata sangat lentur dan sangat luas artinya.
Kelemahan paling utama dalam UU No. 27/1999 adalah tidak adanya definisi dan batasan yang jelas mengenai apa itu paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Tidak adanya definisi atau batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ‘penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” dan “dalam segala bentuk dan perwujudan’ dalam ketentuan tersebut diatas, sangat membuka peluang untuk disalahgunakan oleh penguasa.
Yang menjadi masalah lagi adalah ketentuan bahwa organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dapat dikenai pidana juga. Pertanyaannya, apa standar untuk mengetahui atau menduga bahwa suatu organisasi menganut paham tersebut?
Harus diakui, rumusan yang ada dalam Pasal 107 a sampai 107 e merupakan rumusan yang sangat abstrak dan lentur, sehingga dapat ditafsirkan dengan sangat luas. Kalau sudah seperti ini, penguasa (pemerintah) dapat seenaknya menggunakan pasal tersebut untuk menjerat pihak-pihak yang tidak disukainya dengan dalih menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Maka dari itu, rumusan pasal-pasal tersebut harus dirubah atau dilengkapi agar tetap bisa melindungi negara dari bahaya laten komunisme, tapi juga dapat menutup diri dari kemungkinan disalahgunakan oleh penguasa.
KESIMPULAN
Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah paham yang bertentangan dengan Pancasila dan terbukti pernah merongrong bangsa Indonesia melalui G30S/PKI, meskipun tidak berhasil. Oleh karena itu, adalah sangat wajar bila pemerintah Indonesia sangat antipati dengan paham ini dan berusaha mematikannya. Akan tetapi, mengingat Komunisme/Marxisme-Leninisme merupakan sebuah paham yang letaknya ada dalam pikiran manusia, paham ini tidak pantas untuk dikriminalisasi, karena isi pikiran sesorang sangat sulit dideteksi. Selain itu, pemikiran tidak akan mungkin bisa diredam/diberangus hanya dengan hukuman-hukuman (kebijakan penal) saja.
Yang mungkin untuk dilakukan adalah kebijakan kriminalisasi atas penyebaran paham tersebut. Kriminalisasi penyebaran dan pengembangan paham ini memang perlu, sebagai upaya perlindungan terhadap ideologi negara, Pancasila, yang merupakan sendi pokok bangsa ini. Secara teoritis, kriminalisasi atas paham ini juga sudah mencukupi kriteria-kriteria kriminalisasi. Namun begitu, kebijakan tersebut tidak akan ada artinya bila tidak diimbangi dengan kebijakan lainnya.
Perwujudan dari kriminalisasi tersebut dapat dilihat dalam UU No. 27/1999. Sayangnya, UU ini mengandung banyak sekali kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol dalam UU ini adalah tidak adanya definisi atau batasan yang jelas mengenai apa itu itu “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Rumusan pasal-pasal dalam UU ini terlalu luas dan lentur, sehingga sangat berpotensi untuk disalahgunakan oleh penguasa.
Maka dari itulah, perlu diadakan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa pasal-pasal yang ada dalam UU ini, agar bisa memberikan kepastian hukum. Terutama sekali mengenai definisi dan batasan istilah “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Sehingga, nantinya UU ini diharapkan bisa meng-cover kepentingan melindungi ideologi bangsa, tapi juga tidak mudah disalah gunakan oleh penguasa.
ANALSIS ATAS
KASUS PENGANIAYAAN POLISI TERHADAP MAHASISWA ‘UMI’ MAKASAR
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Kasus Posisi:
- Ada dua kelompok mahAsiswa yang melakukan unjuk rasa pada waktu yang bersamaan. Yang satu mengangkat tema kasus Ba’asyir dan yang lainnya mengusung tema Anti Militerisme.
- Dalam aksi tersebut, pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap beberapa orang mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
- Karena ada temannya yang ditangkap, para mahasiswa melakukan pembalasan dengan menyandera salah seorang anggota kepolisian republik indonesia yang kebetulan sedang melewati kampus UMI sendirian dengan sepeda motor.
- Mengetahui hal itu, pihak kepolisian langsung berekasi. Mereka menyerbu ke kampus UMI dan melakukan serangkaian kebutralan yang tidak pantas dilakukan oleh aparat penegak hukum. Diantara kekerasan yang mereka lakukan adalah penganiayaan, pemukulan kepala beberapa mahasiswa dengan gagang pistol dan pentungan sampai berdarah, dan serangan-serangan yang didasari oleh emosi lainnya.
Analisis:
Pasal 2 UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa fungsi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan.
Ketentuan mengenai fungsi tersebut dikonkritkan dalam bentuk tugas. Pasal 13 UU Kepolisian menyatakan: tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan hukum, dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada masyarakat. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama-sama penting. Dalam penjelasan juga ditentukan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, anggota Polri harus menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa ketiga tugas pokok polisi harus dilaksanakan secara seimbang dan tidak boleh terlalu memprioritaskan salah satu dengan mengesampingkan yang lainnya. Dalam konteks universal pelaksanaan fungsi dan tugas, polisi mempunyai karakter budaya tersendiri. Robert Reiner dalam bukunya The Politics of The Police, mengambil ide-ide Skolnick mengenai karakter budaya polisi yang menyatakan bahwa budaya polisi diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan dan yang diwarnai oleh lingkungannya (the policeman's "working personality" and society generated culture). Masih menurut Skolnick, pelaksanaan tugas polisi menganut dua variabel prinsip, yaitu bahaya dan kewenangan (danger and authority) serta lingkungan yang membangun budaya polisi adalah the pressure put upon individual policeman to produce to be efficient rather than legal when two norms are in conflict (Bibit S Rianto, 1999 dalam Kompas, 6 November 2003).
Bagi polisi, penggunaan kekerasan dan senjata api diizinkan dalam kerangka melindungi nyawa orang lain dan untuk membela diri. Cara-cara tersebut dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam posisi yang demikian polisi menghadapi kondisi yang paradoksal. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya polisi harus memperhatikan penghormatan terhadap HAM dan standar universal yang berlaku bagi aparat penegak hukum. Standar tersebut antara lain adalah code of conduct for law enforcement officials, termasuk bagaimana penggunaan kekerasan dalam tugasnya. Atas dasar kondisi faktual inilah rekrutmen dan edukasi bagi polisi merupakan langkah strategis Polri (Kompas, 6 November 2003)
Bila kondisi ideal polisi ini kita kaitkan dengan kasus UMI, maka akan tampak berbeda kontras. Dalam kasus UMI, beberapa aparat polisi justru menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk melakukan pembalasan secara emosional dan diluar kewajaran atas ‘penyanderaan’ yang telah dilakukan terhadap rekannya. Dalam upayanya membebaskan rekannya yang disandera, mereka lupa akan batasan kewenangan, tugas, dan etika mereka sebagai polisi. Tindakan yang seperti ini jelas bertentangan dengan hukum disiplin dan Kode Etik Polri.
Pasal 3 PP. No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa: dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (f) menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan dalam Pasal 4 dinyatakan: dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (a) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya Kepolisian Negara Republik Indonesiaada masyarakat (d) melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh beberapa anggota Polri di kampus UMI jelas telah melanggar hukum disiplin mereka, juga etika profesi mereka sebagi anggota Polri. Karena itu, wajarlah jika beberapa diantara mereka kemudian dijatuhi hukuman displin anggota Polri. Dalam hal ini, pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menunjukkan itikad baiknya dengan benar-benar menghukum mereka menurut hukum disiplin, dan nantinya akan diproses pidananya juga. Berdasarkan Pasal 12 ayat ayat (1), penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana. Akan tetapi, bila fenomena ini tidak ditindak lanjuti dengan perbaikan sitem di tubuh Polri, maka hanya akan menjadi langkah setengah hati. Yang harus dipikirkan dan menjadi agenda besar adalah, bagaimana agar hal yang seperti itu tidak terulang kembali dalam sejarah bangsa yang sedang menjalani proses demokratisasi ini.
KASUS PENGANIAYAAN POLISI TERHADAP MAHASISWA ‘UMI’ MAKASAR
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Kasus Posisi:
- Ada dua kelompok mahAsiswa yang melakukan unjuk rasa pada waktu yang bersamaan. Yang satu mengangkat tema kasus Ba’asyir dan yang lainnya mengusung tema Anti Militerisme.
- Dalam aksi tersebut, pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap beberapa orang mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
- Karena ada temannya yang ditangkap, para mahasiswa melakukan pembalasan dengan menyandera salah seorang anggota kepolisian republik indonesia yang kebetulan sedang melewati kampus UMI sendirian dengan sepeda motor.
- Mengetahui hal itu, pihak kepolisian langsung berekasi. Mereka menyerbu ke kampus UMI dan melakukan serangkaian kebutralan yang tidak pantas dilakukan oleh aparat penegak hukum. Diantara kekerasan yang mereka lakukan adalah penganiayaan, pemukulan kepala beberapa mahasiswa dengan gagang pistol dan pentungan sampai berdarah, dan serangan-serangan yang didasari oleh emosi lainnya.
Analisis:
Pasal 2 UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa fungsi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan.
Ketentuan mengenai fungsi tersebut dikonkritkan dalam bentuk tugas. Pasal 13 UU Kepolisian menyatakan: tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan hukum, dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada masyarakat. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama-sama penting. Dalam penjelasan juga ditentukan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, anggota Polri harus menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa ketiga tugas pokok polisi harus dilaksanakan secara seimbang dan tidak boleh terlalu memprioritaskan salah satu dengan mengesampingkan yang lainnya. Dalam konteks universal pelaksanaan fungsi dan tugas, polisi mempunyai karakter budaya tersendiri. Robert Reiner dalam bukunya The Politics of The Police, mengambil ide-ide Skolnick mengenai karakter budaya polisi yang menyatakan bahwa budaya polisi diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan dan yang diwarnai oleh lingkungannya (the policeman's "working personality" and society generated culture). Masih menurut Skolnick, pelaksanaan tugas polisi menganut dua variabel prinsip, yaitu bahaya dan kewenangan (danger and authority) serta lingkungan yang membangun budaya polisi adalah the pressure put upon individual policeman to produce to be efficient rather than legal when two norms are in conflict (Bibit S Rianto, 1999 dalam Kompas, 6 November 2003).
Bagi polisi, penggunaan kekerasan dan senjata api diizinkan dalam kerangka melindungi nyawa orang lain dan untuk membela diri. Cara-cara tersebut dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam posisi yang demikian polisi menghadapi kondisi yang paradoksal. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya polisi harus memperhatikan penghormatan terhadap HAM dan standar universal yang berlaku bagi aparat penegak hukum. Standar tersebut antara lain adalah code of conduct for law enforcement officials, termasuk bagaimana penggunaan kekerasan dalam tugasnya. Atas dasar kondisi faktual inilah rekrutmen dan edukasi bagi polisi merupakan langkah strategis Polri (Kompas, 6 November 2003)
Bila kondisi ideal polisi ini kita kaitkan dengan kasus UMI, maka akan tampak berbeda kontras. Dalam kasus UMI, beberapa aparat polisi justru menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk melakukan pembalasan secara emosional dan diluar kewajaran atas ‘penyanderaan’ yang telah dilakukan terhadap rekannya. Dalam upayanya membebaskan rekannya yang disandera, mereka lupa akan batasan kewenangan, tugas, dan etika mereka sebagai polisi. Tindakan yang seperti ini jelas bertentangan dengan hukum disiplin dan Kode Etik Polri.
Pasal 3 PP. No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa: dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (f) menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan dalam Pasal 4 dinyatakan: dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (a) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya Kepolisian Negara Republik Indonesiaada masyarakat (d) melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh beberapa anggota Polri di kampus UMI jelas telah melanggar hukum disiplin mereka, juga etika profesi mereka sebagi anggota Polri. Karena itu, wajarlah jika beberapa diantara mereka kemudian dijatuhi hukuman displin anggota Polri. Dalam hal ini, pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menunjukkan itikad baiknya dengan benar-benar menghukum mereka menurut hukum disiplin, dan nantinya akan diproses pidananya juga. Berdasarkan Pasal 12 ayat ayat (1), penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana. Akan tetapi, bila fenomena ini tidak ditindak lanjuti dengan perbaikan sitem di tubuh Polri, maka hanya akan menjadi langkah setengah hati. Yang harus dipikirkan dan menjadi agenda besar adalah, bagaimana agar hal yang seperti itu tidak terulang kembali dalam sejarah bangsa yang sedang menjalani proses demokratisasi ini.
ANALISIS ATAS UU KPTPK
Oleh: Muhammad Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
PENDAHULUAN
Di Indonesia, korupsi telah menjadi sebuah ‘extra ordinary crime’, sehingga penanganannya pun harus lain dari penanganan kejahatan biasa. Perundangan yang mengatur kejahatan ini sendiri sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Perpu No. 24/Prp/1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 24/1960 (Era Orde Lama), UU No. 3/1971 (Era Orde Baru) yang menggantikan UU No. 24/1960, UU No. 31/1999 (Era Reformasi), sampai peraturan yang terbaru, UU No. 20/2001. Regulasi ini mengalami perubahan dari peraturan yang satu ke yang sesudahnya tujuannya adalah untuk menyesuaikan diri dengan berkembangnya modus kejahatan ini.
Akan tetapi kejahatan ini tetap saja menampakkan eksistensinya, bahkan semakin merebak. Reformasi yang pada awalnya menjadi tumpuan harapan rakyat untuk terwujudnya Indonesia yang lebih bersih dan baik, juga ternyata tidak mampu berbuat banyak. Berkaitan dengan kegagalan tersebut, yang kemudian sering dianggap sebagai faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan ini.
Pemerintah akhirnya sadar bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan ini tidak cukup hanya digantungkan pada aparat penegak hukum saja, tetapi harus disokong oleh badan-badan lain. Maka dari itu, pemerintah kemudian membentuk beberapa komisi dalam upaya membantu pemerintah melaksanakan upaya penegakan hukum. Komisi tersebut antara lain adalah Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, dan yang paling baru, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Di samping itu, sebenarnya telah ada lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP.
Diantara komisi-komisi tersebut, yang paling menarik adalah KPTPK. KPTPK menjadi menarik untuk dikaji karena, selain merupakan komisi yang paling ‘muda’, ia sangat berbeda dengan komisi-komisi lainnya, terutama dalam hal kewenangan dan tanggung jawabnya. Komisi ini seolah merupakan tumpuan akhir dari harapan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Tak heran, bila kemudian komisi ini diberi hak dan kewenangan yang sangat besar berkaitan dengan penanganan kejahatan korupsi.
Komisi ini menjadi semakin menarik untuk dikaji karena sejak sebelum lahirnya komisi ini memang sudah mengundang pro dan kontra. UU yang mengatur tentang komisi ini juga pernah dimintakan judicial review-nya kepada MA, yang kemudian melimpahkannya ke Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, dalam makalah ini, pertama akan dibahas mengenai pro kontra eksistensi KPTPK sebagai sebuah wacana dalam penanganan korupsi di Indonesia. Setelah itu, karena keberadaan KPTPK sangat berkaitan erat dengan UU No. 30/2002 yang juga sempat ‘kontroversial’, maka makalah ini juga akan menganalisis materi UU tersebut.
PRO KONTRA SEPUTAR KPTPK
UU No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dalam waktu paling lama dua tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, telah dibentuk suatu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, sebelumnya sudah banyak sekali komisi-komisi yang, pada kenyataannya, ternyata juga tidak bisa berbuat banyak. Ada Komisi Ombudsman Nasional (diketuai Antonius Sujata), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dipimpin Adi Andojo Soetjipto), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (dengan Sekjen Amir Muin). Lalu untuk apa dibuat komisi-komisi yang baru? Rakyat sudah capek dengan komisi ini-itu, toh pada kenyataannya hasilnya juga tidak ada yang jelas.
Karena sudah banyaknya komisi-komisi penanganan korupsi yang dibentuk pemerintah – dan terbukti tidak bisa berbuat banyak, kehadiran KPTPK sebagai pemenuhan amanat UU 31/1999 akhirnya hanya mendapat sambutan dingin dari berbagai kalangan. Bukan hanya itu, komisi ini bahkan mendapatkan ‘perlawanan’ dari KPKPN.
KPKPN merasa dikebiri perannya dengan kehadiran KPTPK karena UU 30/2002 menentukan bahwa peranan KPKPN hanya menjadi salah satu urusan dalam KPTPK, yaitu hanya bidang pencegahan (Pasal 69 ayat (1)). Penurunan fungsi dan wewenang KPKPN diduga karena resistensi pihak tertentu akibat kepentingannya terusik. Apalagi dalam praktiknya KPKPN memang banyak membongkar indikasi KKN dari laporan kekayaan para pejabat. Maka dari itu, KPKPN kemudian mengajukan permohonan dilakukannya judicial review atas UU tersebut kepada MA, yang kemudian oleh MA dilimpahkan kepada MK.
Peleburan KPKPN ke dalam KPTPK adalah kerja buru-buru dan terkesan sembrono. Dalam penjelasan UU KPTPK, alinea ke enam menyebutkan, ...pengaturan kewenangan KPTPK dalam UU ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan instansi lain... Penyebutan kata "berhati-hati" itu justru semakin menegaskan bahwa DPR tidak waspada dan hati-hati. Bila prinsip berhati-hati itu dipakai, tidak mungkin muncul kalimat rancu. Misalnya, penjelasan Pasal 6 UU KPTPK menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Artinya, KPKPN masih dianggap ada oleh UU itu. Sementara, pada pasal lain menyebut KPKPN dilebur (Pasal 69).
Kontroversi seputar KPTPK terus berlanjut, dan masalahnya pun semakin melebar, bukan hanya berkaitan dengan bagaimana eksistensi KPKPN saja. Ternyata banyak juga pihak yang menyangsikan efektitas dari keberadaan komisi ini dalam penanggulangan korupsi di negeri ini. Kebanyakan dari mereka menilai bahwa langkah untuk membentuk komisi baru adalah sebuah langkah yang terlalu boros. Dari pada membentuk komisi baru, apakah tidak lebih baik memberdayakan yang sudah ada saja, seperti KPKPN misalnya? Kapan sebuah lembaga/komisi akan efektif, kalau baru kerja sedikit dan mulai mantap saja sudah langsung diganti dengan yang lainnya? Begitulah alasan mereka yang kurang setuju dengan lahirnya KPTPK.
Kesangsian beberapa kalangan tersebut kemudian agak sedikit terjawab dengan besarnya hak dan kewenangan KPTPK. KPTPK memang punya kewenangan yang sama sekali lain daripada lembaga/komisi yang telah ada sebelumnya. Agaknya, ini adalah sebuah solusi yang didapat setelah belajar dari pengalaman kinerja lemabaga/komisi sebelumnya, agar KPTPK dapat menjalankan fungsinya secara efisien.
ANALISIS ATAS UU 30/2002
1. UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998
Dalam alasan judicial review-nya, KPKPN menyatakan bahwa UU 30/ 1999 bertentangan dengan TAP. No. XI/MPR Tahun 1998. Pertentangan krusial yang menjadi alasan judicial review KPKPN adalah, UU No 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembubaran KPKPN, sedangkan TAP. MPR No. XI Tahun 1998 mengamanatkan terbentuknya suatu lembaga pemeriksaan atas kekayaan penyelenggara negara yang dibentuk oleh Kepala Negara. Maka dari itu, berdasarkan azas lex superior derogat legi inferiori dan amanat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”, KPKPN meminta agar UU No. 30/2002 dinyatakan batal demi hukum. Tapi, apakah benar demikian adanya?
Alasan tersebut tidak tepat, karena Pasal 3 ayat (2) TAP. No. XI/MPR Tahun 1998 yang diklaim sebagai dasar adanya KPKPN ternyata tidak memberikan batasan yang jelas mengenai nama lembaga yang dimaksud. Hal ini berarti bisa lembaga mana saja yang berwenang melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Kalau memang demikian maka diberlakukanlah asas “lex posteriori derogat legi priori”, dimana dalam pengaturan hal yang sama, peraturan yang muncul kemudian mengenyampingkan peraturan yang telah ada terlebih dahulu. Maka dari itu, apa yang menjadi alasan KPKPN mengajukan judicial review sebenarnya bukanlah suatu problem hukum, karena antara UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998 tidak ada pertentangan apapun.
2. Kerancuan dalam UU 30/1999
Sebagaimana telah disebutkan di depan, dalam UU 30/2002 terdapat pengaturan yang rancu perihal hubungan KPKPN dan KPTPK. Misalnya, penjelasan Pasal 6 menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ini, KPKPN jelas masih dianggap ada oleh UU itu. Tapi pasal 69 menyebutkan bahwa KPKPN dilebur.
Pasal rancu lain adalah Pasal 71 Ayat (2) yang menyatakan: “Setelah berlakunya KPTPK, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud Pasal 10 sampai 19 UU No 28/1999, dinyatakan tidak berlaku”. Padahal, inti dari Tap MPR XI ada pada pasal-pasal yang dihapus itu. Jadi, tugas dan wewenang yang diminta Tap MPR XI agar proses pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara diatur dengan UU, dianulir dan dihapus oleh perundang-undangan yang lebih rendah.
3. Kewenangan KPTPK
UU no. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dianggap sebagai sebuah ‘karya agung’ bangsa Indonesia ternyata seringkali menghambat proses penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Berkaitan dengan itu, dan dengan didasari oleh itikad baik untuk memberantas korupsi secepatnya, pemerintah kemudian mengambil kebijaksanaan untuk melakukan terobosan-terobosan yang menyimpang dari KUHAP. Terobosan ini tampak nyata, misalnya, dalam UU 30/2002 tentang KPTPK. Semua bentuk hambatan penyelesaian kasus korupsi selama ini, diterabas UU itu. KPTPK diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
KPTPK memiliki kewenangan luas mulai dari mengoordinasi penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Atas dasar undang-undang KPTPK dibentuk pula pengadilan khusus untuk menangani perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPTPK. Di samping kewenangan tersebut, komisi juga diberi kewenangan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang diperiksa kejaksaan/kepolisian dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 9. Salah satunya, bila ada laporan masyarakat yang menyatakan suatu perkara korupsi yang tengah diperiksa kepolisian/kejaksaan penyelesaiannya berlarut-larut. Atau ada indikasi campur tangan dari pihak lain seperti eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut bisa jadi sepintas lalu akan dapat memenuhi harapan masyarakat. Namun di sisi lain timbul pula keraguan, adakah beberapa hal yang diatur dalam UU ini justru akan menjadikan makin ruwetnya proses penanganan korupsi?
Salah satu hal yang cukup penting dikaji, seberapa tinggi kualitas SDM yang dimiliki komisi sehingga dapat mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani polisi atau kejaksaan.
Ketentuan mengenai hal ini bisa jadi sedemikian bias dan tumpang tindih dalam penerapannya, terlebih apabila dihubungkan dengan kenyataan nanti masyarakat dapat melaporkan indikasi korupsi pada lembaga yang berbeda tetapi memiliki kewenangan sama, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPTPK. Apakah dalam realita pelaksanaannya tidak menambah keruwetan?
Kekhawatiran lain berkaitan dengan kewenangan KPTPK yang bombastis ini adalah adanya kewenangan komisi melakukan penyitaan tanpa seizin ketua pengadilan negeri. Bisa jadi pembuat undang-undang berpendapat, mengingat begitu berbahaya perbuatan korupsi, dilakukan penyimpangan prosedur penyitaan agar penyitaan bisa lebih cepat dilakukan. Tapi dalam pelaksanaannya nanti, justru hal ini akan sangat rawan pelanggaran HAM apabila dilakukan oleh aparat yang memiliki kecenderungan melaksanakan penyimpangan dengan memanfaatkan peraturan.
Di samping ada kekhawatiran tersebut, KPTPK ternyata juga memberikan secercah pengharapan. Sebab, komisi ini juga bertugas memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang memberikan laporan terjadinya korupsi. Selama ini, hal yang amat tragis dan sering terjadi adalah pelapor dituduh melakukan pencemaran nama baik dan diadili terlebih dulu sebelum kasus korupsi diperiksa tuntas.
4. Prediksi atas Efektifitas UU 30/2002
UU 30/2002 memang telah disahkan, KPTPK juga sudah ada dan sedang mulai bekerja. Bukan hanya itu, KPTPK, sebagaimana telah dijelaskan di depan, punya kewenangan yang sangat bombastis. Tapi, apakah itu berarti korupsi di Indonesia akan segera teratasi dengan baik??
Satu hal yang perlu dicermati adalah, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang, KPK belum menghasilkan sesuatu yang cukup signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi. Entah apa sebabnya, karena SDM yang kurang memadai atau karena hal lain, tidak ada yang tahu pasti.
Padahal, kewenangan yang dimilikinya jauh melebihi kewenangan yang dimiliki polisi atau jaksa. KPTPK kini menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi, hal mana dapat dilihat dari kewenangan yang mencakup pencegahan, penanganan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), koordinasi, supervisi, monitoring, memberdayakan masyarakat, menyusun jaringan, serta mengambil alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Sampai saat ini KPTPK masih sibuk mengurusi persoalan-persoalan intern, seperti penyusunan Kode Etik, dan beberapa persoalan ekstern yang, menurut Prof. Dr. Andi Hamzah, SH., sangat sepele. Sehingga, KPTPK bisa dikatakan belum melakukan apapun yang sifatnya konkrit berkaitan dengan penanganan korupsi. Faktor yang mungkin sangat berpengaruh terhadap hal ini adalah kurangnya SDM yang dimilki KPTPK. Karena, apa artinya kewenangan yang begitu besar, bial tidak didukung oleh kualitas SDM yang memadai. Kondisi seperti ini akan terus ada selama KPTPK belum mempunyai SDM yang memadai. Ini berarti, kita tidak bisa mendapatkan kejelasan mengenai kapan kita dapat melihat hasil kerja nyata dari komisi ini.
Selain itu, susunan orang yang duduk di KPK pun mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan, yang paling keras adalah Prof. Dr. Muladi, SH. Dalam hal ini, patut kita cermati apa yang dikatakan oleh Lasswell dan Rogow, sebagaimana dikutip oleh Syed Husein Alatas: “Institutions declining in power or prestige are more likely to attract corrupt men interested in promoting their personal fortunes than ambitious men concerned with furthering their careers.” Pertanyaannya, ada apa dibalik susunan kepemimpinan KPK yang demikian itu??
Bukan hanya itu, bila tuntutan SDM yang memadai sudah terpenuhi pun, tidak kemudian berarti bahwa korupsi di negara ini dapat teratasi dengan baik. Satu hal yang perlu dicermati dari UU 30/2002 adalah bahwa UU tersebut terlalu menekankan pada tindakan represif dalam upayanya menanggulangi korupsi di Indonesia. Meskipun dalam Pasal 1 ayat (3) UU tersebut disebutkan pula mengenai tugas ‘pencegahan’, tapi secara umum UU tersebut lebih menitik beratkan perhatiannya pada tindakan represif.
Korupsi tidak akan habis hanya dengan menyeret koruptor. Korupsi tetap akan hidup dan membebani rakyat jika hanya mengedepankan langkah represif. Apabila enam bulan ke depan KPTPK berhasil menyelesaikan pengungkapan kasus kakap sebagaimana dituntut oleh masyarakat, meskipun yang terungkap berpuluh-puluh kasus, dapat dipastikan korupsi di Indonesia masih marak.
Selama era reformasi korupsi di Indonesia bukan sekadar bersifat personal (perbuatan oknum), melainkan merambah ke peringkat yang sifatnya struktural atau bahkan kultural. Dalam berbagai kasus malahan telah menjadi sistemik, hal ini dapat terlihat dari sekian ratus kasus yang melibatkan para anggota legislatif di daerah. Pada era reformasi jauh lebih banyak koruptor yang diambil tindakan secara represif melalui proses peradilan dibandingkan masa Orde Baru, namun ternyata korupsi tidak surut. Dalam beberapa kasus tidak bisa dibedakan antara proses koruptif dan proses kebijakan, sulit dibedakan antara kejahatan dan kebijakan.
Menggunakan pendekatan represif semata-mata dalam pemberantasan korupsi merupakan langkah salah arah. Apabila pendekatan represif itu menjadi visi, pasti tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Di negara mana pun yang berpengalaman menekan korupsi, langkah represif bukanlah menjadi visi, konsep, misi, rencana, dan program satu-satunya dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, apabila dalam hal menghadapi korupsi kita hanya mengandalkan UU 30/2002 dengan KPK-nya yang sudah jelas cenderung bersifat represif, tentulah korupsi tidak akan dapat diredam. UU No. 30/2002 tidak akan mungkin berlaku efektif jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha preventif secara sistemik.
KESIMPULAN
UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah undang-undang yang kontroversial, sampai sempat dimintakan judicial review-nya oleh KPKPN pada Mahkamah Agung, yang kemudian melimpahkan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Titik utama kontroversialisme UU ini adalah berkaitan dengan posisi KPKPN pasca lahirnya KPTPK. Di dalamnya terdapat beberapa kontradiksi antara pasal yang satu dengan yang lainnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa UU ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
KPTPK sebagai sebuah komisi yang diserahi tugas sebagai pemberantas korupsi, oleh UU ini diberi kewenangan yang sangat luar biasa fantastisnya. Hal ini dapat dipahami karena korupsi memang merupakan “extra ordinary crime” yang harus ditangani secara spesial, sehingga komisi yang menanganinya pun harus spesial pula. Sayangnya, kewenangan yang sedemikian besar ini sampai saat ini belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Penyebabnya adalah kurangnya SDM yang dimiliki oleh komisi ini; kewenangan KPTPK yang besar itu tidak ditopang oleh kualitas SDM yang memadai. Akibatnya, KPTPK belum bisa menghasilkan hasil kerja yang konkrit.
Sisi lain dari kelemahan dari UU 30/2002 adalah, UU ini terlalu menekankan pada upaya represif untuk mencegah korupsi. Korupsi di Indonesia tidak bisa diatasi hanya dengan tindakan-tindakan represif saja, karena sudah menjadi kejahatan yang sifatnya sistemik. Seharusnya yang lebih dikedepankan adalah upaya preventif secara sistemik, yang kemudian diperkuat dengan upaya-upaya represif, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang tampak dalam UU tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Syed Husen Alatas, Corruption and The Destiny of Asia, Selangor: Prentice Hall (M) Sdn. Bbd. And Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd., 1999
- Makalah: Masyarakat Transparasi Indonesia, Membangun Good Governance, 2001
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Tap MPR No. XI/ MPR/ 1998 Tentang Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN
- Kompas, 15 Januari 2003
- Kompas, 25 Maret 2003
- Kompas, 8 Januari 2004
- Kompas, 6 Maret 2004
- Kompas, 3 April 2004
- Kompas, 16 April 2004
- Kompas, 7 Mei 2004
Oleh: Muhammad Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
PENDAHULUAN
Di Indonesia, korupsi telah menjadi sebuah ‘extra ordinary crime’, sehingga penanganannya pun harus lain dari penanganan kejahatan biasa. Perundangan yang mengatur kejahatan ini sendiri sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Perpu No. 24/Prp/1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 24/1960 (Era Orde Lama), UU No. 3/1971 (Era Orde Baru) yang menggantikan UU No. 24/1960, UU No. 31/1999 (Era Reformasi), sampai peraturan yang terbaru, UU No. 20/2001. Regulasi ini mengalami perubahan dari peraturan yang satu ke yang sesudahnya tujuannya adalah untuk menyesuaikan diri dengan berkembangnya modus kejahatan ini.
Akan tetapi kejahatan ini tetap saja menampakkan eksistensinya, bahkan semakin merebak. Reformasi yang pada awalnya menjadi tumpuan harapan rakyat untuk terwujudnya Indonesia yang lebih bersih dan baik, juga ternyata tidak mampu berbuat banyak. Berkaitan dengan kegagalan tersebut, yang kemudian sering dianggap sebagai faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan ini.
Pemerintah akhirnya sadar bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan ini tidak cukup hanya digantungkan pada aparat penegak hukum saja, tetapi harus disokong oleh badan-badan lain. Maka dari itu, pemerintah kemudian membentuk beberapa komisi dalam upaya membantu pemerintah melaksanakan upaya penegakan hukum. Komisi tersebut antara lain adalah Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, dan yang paling baru, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Di samping itu, sebenarnya telah ada lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP.
Diantara komisi-komisi tersebut, yang paling menarik adalah KPTPK. KPTPK menjadi menarik untuk dikaji karena, selain merupakan komisi yang paling ‘muda’, ia sangat berbeda dengan komisi-komisi lainnya, terutama dalam hal kewenangan dan tanggung jawabnya. Komisi ini seolah merupakan tumpuan akhir dari harapan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Tak heran, bila kemudian komisi ini diberi hak dan kewenangan yang sangat besar berkaitan dengan penanganan kejahatan korupsi.
Komisi ini menjadi semakin menarik untuk dikaji karena sejak sebelum lahirnya komisi ini memang sudah mengundang pro dan kontra. UU yang mengatur tentang komisi ini juga pernah dimintakan judicial review-nya kepada MA, yang kemudian melimpahkannya ke Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, dalam makalah ini, pertama akan dibahas mengenai pro kontra eksistensi KPTPK sebagai sebuah wacana dalam penanganan korupsi di Indonesia. Setelah itu, karena keberadaan KPTPK sangat berkaitan erat dengan UU No. 30/2002 yang juga sempat ‘kontroversial’, maka makalah ini juga akan menganalisis materi UU tersebut.
PRO KONTRA SEPUTAR KPTPK
UU No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dalam waktu paling lama dua tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, telah dibentuk suatu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, sebelumnya sudah banyak sekali komisi-komisi yang, pada kenyataannya, ternyata juga tidak bisa berbuat banyak. Ada Komisi Ombudsman Nasional (diketuai Antonius Sujata), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dipimpin Adi Andojo Soetjipto), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (dengan Sekjen Amir Muin). Lalu untuk apa dibuat komisi-komisi yang baru? Rakyat sudah capek dengan komisi ini-itu, toh pada kenyataannya hasilnya juga tidak ada yang jelas.
Karena sudah banyaknya komisi-komisi penanganan korupsi yang dibentuk pemerintah – dan terbukti tidak bisa berbuat banyak, kehadiran KPTPK sebagai pemenuhan amanat UU 31/1999 akhirnya hanya mendapat sambutan dingin dari berbagai kalangan. Bukan hanya itu, komisi ini bahkan mendapatkan ‘perlawanan’ dari KPKPN.
KPKPN merasa dikebiri perannya dengan kehadiran KPTPK karena UU 30/2002 menentukan bahwa peranan KPKPN hanya menjadi salah satu urusan dalam KPTPK, yaitu hanya bidang pencegahan (Pasal 69 ayat (1)). Penurunan fungsi dan wewenang KPKPN diduga karena resistensi pihak tertentu akibat kepentingannya terusik. Apalagi dalam praktiknya KPKPN memang banyak membongkar indikasi KKN dari laporan kekayaan para pejabat. Maka dari itu, KPKPN kemudian mengajukan permohonan dilakukannya judicial review atas UU tersebut kepada MA, yang kemudian oleh MA dilimpahkan kepada MK.
Peleburan KPKPN ke dalam KPTPK adalah kerja buru-buru dan terkesan sembrono. Dalam penjelasan UU KPTPK, alinea ke enam menyebutkan, ...pengaturan kewenangan KPTPK dalam UU ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan instansi lain... Penyebutan kata "berhati-hati" itu justru semakin menegaskan bahwa DPR tidak waspada dan hati-hati. Bila prinsip berhati-hati itu dipakai, tidak mungkin muncul kalimat rancu. Misalnya, penjelasan Pasal 6 UU KPTPK menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Artinya, KPKPN masih dianggap ada oleh UU itu. Sementara, pada pasal lain menyebut KPKPN dilebur (Pasal 69).
Kontroversi seputar KPTPK terus berlanjut, dan masalahnya pun semakin melebar, bukan hanya berkaitan dengan bagaimana eksistensi KPKPN saja. Ternyata banyak juga pihak yang menyangsikan efektitas dari keberadaan komisi ini dalam penanggulangan korupsi di negeri ini. Kebanyakan dari mereka menilai bahwa langkah untuk membentuk komisi baru adalah sebuah langkah yang terlalu boros. Dari pada membentuk komisi baru, apakah tidak lebih baik memberdayakan yang sudah ada saja, seperti KPKPN misalnya? Kapan sebuah lembaga/komisi akan efektif, kalau baru kerja sedikit dan mulai mantap saja sudah langsung diganti dengan yang lainnya? Begitulah alasan mereka yang kurang setuju dengan lahirnya KPTPK.
Kesangsian beberapa kalangan tersebut kemudian agak sedikit terjawab dengan besarnya hak dan kewenangan KPTPK. KPTPK memang punya kewenangan yang sama sekali lain daripada lembaga/komisi yang telah ada sebelumnya. Agaknya, ini adalah sebuah solusi yang didapat setelah belajar dari pengalaman kinerja lemabaga/komisi sebelumnya, agar KPTPK dapat menjalankan fungsinya secara efisien.
ANALISIS ATAS UU 30/2002
1. UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998
Dalam alasan judicial review-nya, KPKPN menyatakan bahwa UU 30/ 1999 bertentangan dengan TAP. No. XI/MPR Tahun 1998. Pertentangan krusial yang menjadi alasan judicial review KPKPN adalah, UU No 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembubaran KPKPN, sedangkan TAP. MPR No. XI Tahun 1998 mengamanatkan terbentuknya suatu lembaga pemeriksaan atas kekayaan penyelenggara negara yang dibentuk oleh Kepala Negara. Maka dari itu, berdasarkan azas lex superior derogat legi inferiori dan amanat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”, KPKPN meminta agar UU No. 30/2002 dinyatakan batal demi hukum. Tapi, apakah benar demikian adanya?
Alasan tersebut tidak tepat, karena Pasal 3 ayat (2) TAP. No. XI/MPR Tahun 1998 yang diklaim sebagai dasar adanya KPKPN ternyata tidak memberikan batasan yang jelas mengenai nama lembaga yang dimaksud. Hal ini berarti bisa lembaga mana saja yang berwenang melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Kalau memang demikian maka diberlakukanlah asas “lex posteriori derogat legi priori”, dimana dalam pengaturan hal yang sama, peraturan yang muncul kemudian mengenyampingkan peraturan yang telah ada terlebih dahulu. Maka dari itu, apa yang menjadi alasan KPKPN mengajukan judicial review sebenarnya bukanlah suatu problem hukum, karena antara UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998 tidak ada pertentangan apapun.
2. Kerancuan dalam UU 30/1999
Sebagaimana telah disebutkan di depan, dalam UU 30/2002 terdapat pengaturan yang rancu perihal hubungan KPKPN dan KPTPK. Misalnya, penjelasan Pasal 6 menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ini, KPKPN jelas masih dianggap ada oleh UU itu. Tapi pasal 69 menyebutkan bahwa KPKPN dilebur.
Pasal rancu lain adalah Pasal 71 Ayat (2) yang menyatakan: “Setelah berlakunya KPTPK, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud Pasal 10 sampai 19 UU No 28/1999, dinyatakan tidak berlaku”. Padahal, inti dari Tap MPR XI ada pada pasal-pasal yang dihapus itu. Jadi, tugas dan wewenang yang diminta Tap MPR XI agar proses pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara diatur dengan UU, dianulir dan dihapus oleh perundang-undangan yang lebih rendah.
3. Kewenangan KPTPK
UU no. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dianggap sebagai sebuah ‘karya agung’ bangsa Indonesia ternyata seringkali menghambat proses penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Berkaitan dengan itu, dan dengan didasari oleh itikad baik untuk memberantas korupsi secepatnya, pemerintah kemudian mengambil kebijaksanaan untuk melakukan terobosan-terobosan yang menyimpang dari KUHAP. Terobosan ini tampak nyata, misalnya, dalam UU 30/2002 tentang KPTPK. Semua bentuk hambatan penyelesaian kasus korupsi selama ini, diterabas UU itu. KPTPK diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
KPTPK memiliki kewenangan luas mulai dari mengoordinasi penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Atas dasar undang-undang KPTPK dibentuk pula pengadilan khusus untuk menangani perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPTPK. Di samping kewenangan tersebut, komisi juga diberi kewenangan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang diperiksa kejaksaan/kepolisian dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 9. Salah satunya, bila ada laporan masyarakat yang menyatakan suatu perkara korupsi yang tengah diperiksa kepolisian/kejaksaan penyelesaiannya berlarut-larut. Atau ada indikasi campur tangan dari pihak lain seperti eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut bisa jadi sepintas lalu akan dapat memenuhi harapan masyarakat. Namun di sisi lain timbul pula keraguan, adakah beberapa hal yang diatur dalam UU ini justru akan menjadikan makin ruwetnya proses penanganan korupsi?
Salah satu hal yang cukup penting dikaji, seberapa tinggi kualitas SDM yang dimiliki komisi sehingga dapat mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani polisi atau kejaksaan.
Ketentuan mengenai hal ini bisa jadi sedemikian bias dan tumpang tindih dalam penerapannya, terlebih apabila dihubungkan dengan kenyataan nanti masyarakat dapat melaporkan indikasi korupsi pada lembaga yang berbeda tetapi memiliki kewenangan sama, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPTPK. Apakah dalam realita pelaksanaannya tidak menambah keruwetan?
Kekhawatiran lain berkaitan dengan kewenangan KPTPK yang bombastis ini adalah adanya kewenangan komisi melakukan penyitaan tanpa seizin ketua pengadilan negeri. Bisa jadi pembuat undang-undang berpendapat, mengingat begitu berbahaya perbuatan korupsi, dilakukan penyimpangan prosedur penyitaan agar penyitaan bisa lebih cepat dilakukan. Tapi dalam pelaksanaannya nanti, justru hal ini akan sangat rawan pelanggaran HAM apabila dilakukan oleh aparat yang memiliki kecenderungan melaksanakan penyimpangan dengan memanfaatkan peraturan.
Di samping ada kekhawatiran tersebut, KPTPK ternyata juga memberikan secercah pengharapan. Sebab, komisi ini juga bertugas memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang memberikan laporan terjadinya korupsi. Selama ini, hal yang amat tragis dan sering terjadi adalah pelapor dituduh melakukan pencemaran nama baik dan diadili terlebih dulu sebelum kasus korupsi diperiksa tuntas.
4. Prediksi atas Efektifitas UU 30/2002
UU 30/2002 memang telah disahkan, KPTPK juga sudah ada dan sedang mulai bekerja. Bukan hanya itu, KPTPK, sebagaimana telah dijelaskan di depan, punya kewenangan yang sangat bombastis. Tapi, apakah itu berarti korupsi di Indonesia akan segera teratasi dengan baik??
Satu hal yang perlu dicermati adalah, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang, KPK belum menghasilkan sesuatu yang cukup signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi. Entah apa sebabnya, karena SDM yang kurang memadai atau karena hal lain, tidak ada yang tahu pasti.
Padahal, kewenangan yang dimilikinya jauh melebihi kewenangan yang dimiliki polisi atau jaksa. KPTPK kini menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi, hal mana dapat dilihat dari kewenangan yang mencakup pencegahan, penanganan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), koordinasi, supervisi, monitoring, memberdayakan masyarakat, menyusun jaringan, serta mengambil alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Sampai saat ini KPTPK masih sibuk mengurusi persoalan-persoalan intern, seperti penyusunan Kode Etik, dan beberapa persoalan ekstern yang, menurut Prof. Dr. Andi Hamzah, SH., sangat sepele. Sehingga, KPTPK bisa dikatakan belum melakukan apapun yang sifatnya konkrit berkaitan dengan penanganan korupsi. Faktor yang mungkin sangat berpengaruh terhadap hal ini adalah kurangnya SDM yang dimilki KPTPK. Karena, apa artinya kewenangan yang begitu besar, bial tidak didukung oleh kualitas SDM yang memadai. Kondisi seperti ini akan terus ada selama KPTPK belum mempunyai SDM yang memadai. Ini berarti, kita tidak bisa mendapatkan kejelasan mengenai kapan kita dapat melihat hasil kerja nyata dari komisi ini.
Selain itu, susunan orang yang duduk di KPK pun mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan, yang paling keras adalah Prof. Dr. Muladi, SH. Dalam hal ini, patut kita cermati apa yang dikatakan oleh Lasswell dan Rogow, sebagaimana dikutip oleh Syed Husein Alatas: “Institutions declining in power or prestige are more likely to attract corrupt men interested in promoting their personal fortunes than ambitious men concerned with furthering their careers.” Pertanyaannya, ada apa dibalik susunan kepemimpinan KPK yang demikian itu??
Bukan hanya itu, bila tuntutan SDM yang memadai sudah terpenuhi pun, tidak kemudian berarti bahwa korupsi di negara ini dapat teratasi dengan baik. Satu hal yang perlu dicermati dari UU 30/2002 adalah bahwa UU tersebut terlalu menekankan pada tindakan represif dalam upayanya menanggulangi korupsi di Indonesia. Meskipun dalam Pasal 1 ayat (3) UU tersebut disebutkan pula mengenai tugas ‘pencegahan’, tapi secara umum UU tersebut lebih menitik beratkan perhatiannya pada tindakan represif.
Korupsi tidak akan habis hanya dengan menyeret koruptor. Korupsi tetap akan hidup dan membebani rakyat jika hanya mengedepankan langkah represif. Apabila enam bulan ke depan KPTPK berhasil menyelesaikan pengungkapan kasus kakap sebagaimana dituntut oleh masyarakat, meskipun yang terungkap berpuluh-puluh kasus, dapat dipastikan korupsi di Indonesia masih marak.
Selama era reformasi korupsi di Indonesia bukan sekadar bersifat personal (perbuatan oknum), melainkan merambah ke peringkat yang sifatnya struktural atau bahkan kultural. Dalam berbagai kasus malahan telah menjadi sistemik, hal ini dapat terlihat dari sekian ratus kasus yang melibatkan para anggota legislatif di daerah. Pada era reformasi jauh lebih banyak koruptor yang diambil tindakan secara represif melalui proses peradilan dibandingkan masa Orde Baru, namun ternyata korupsi tidak surut. Dalam beberapa kasus tidak bisa dibedakan antara proses koruptif dan proses kebijakan, sulit dibedakan antara kejahatan dan kebijakan.
Menggunakan pendekatan represif semata-mata dalam pemberantasan korupsi merupakan langkah salah arah. Apabila pendekatan represif itu menjadi visi, pasti tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Di negara mana pun yang berpengalaman menekan korupsi, langkah represif bukanlah menjadi visi, konsep, misi, rencana, dan program satu-satunya dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, apabila dalam hal menghadapi korupsi kita hanya mengandalkan UU 30/2002 dengan KPK-nya yang sudah jelas cenderung bersifat represif, tentulah korupsi tidak akan dapat diredam. UU No. 30/2002 tidak akan mungkin berlaku efektif jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha preventif secara sistemik.
KESIMPULAN
UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah undang-undang yang kontroversial, sampai sempat dimintakan judicial review-nya oleh KPKPN pada Mahkamah Agung, yang kemudian melimpahkan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Titik utama kontroversialisme UU ini adalah berkaitan dengan posisi KPKPN pasca lahirnya KPTPK. Di dalamnya terdapat beberapa kontradiksi antara pasal yang satu dengan yang lainnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa UU ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
KPTPK sebagai sebuah komisi yang diserahi tugas sebagai pemberantas korupsi, oleh UU ini diberi kewenangan yang sangat luar biasa fantastisnya. Hal ini dapat dipahami karena korupsi memang merupakan “extra ordinary crime” yang harus ditangani secara spesial, sehingga komisi yang menanganinya pun harus spesial pula. Sayangnya, kewenangan yang sedemikian besar ini sampai saat ini belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Penyebabnya adalah kurangnya SDM yang dimiliki oleh komisi ini; kewenangan KPTPK yang besar itu tidak ditopang oleh kualitas SDM yang memadai. Akibatnya, KPTPK belum bisa menghasilkan hasil kerja yang konkrit.
Sisi lain dari kelemahan dari UU 30/2002 adalah, UU ini terlalu menekankan pada upaya represif untuk mencegah korupsi. Korupsi di Indonesia tidak bisa diatasi hanya dengan tindakan-tindakan represif saja, karena sudah menjadi kejahatan yang sifatnya sistemik. Seharusnya yang lebih dikedepankan adalah upaya preventif secara sistemik, yang kemudian diperkuat dengan upaya-upaya represif, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang tampak dalam UU tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Syed Husen Alatas, Corruption and The Destiny of Asia, Selangor: Prentice Hall (M) Sdn. Bbd. And Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd., 1999
- Makalah: Masyarakat Transparasi Indonesia, Membangun Good Governance, 2001
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Tap MPR No. XI/ MPR/ 1998 Tentang Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN
- Kompas, 15 Januari 2003
- Kompas, 25 Maret 2003
- Kompas, 8 Januari 2004
- Kompas, 6 Maret 2004
- Kompas, 3 April 2004
- Kompas, 16 April 2004
- Kompas, 7 Mei 2004
“ The Client “
oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
A. RINGKASAN CERITA FILM
Seorang bocah bernama Mark bersama adiknya, Ricky, pada saat main-main ke hutan, tanpa sengaja melihat orang yang akan bunuh diri dengan cara mengunci diri dalam mobil yang dimasuki slang berisi gas beracun dari knalpot . Melihat itu, Mark berusaha menggagalkannya dengan cara mencabut slang penyalur gas tersebut dari knalpot yang menjadi sumbernya. Tapi sayang, usaha Mark tersebut ketahuan dan ia akhirnya ia dipaksa masuk ke dalam mobil oleh orang tersebut untuk mati bersama-sama. Sebelum gas beracun tersebut bereaksi, sempat terjadi dialog antara keduanya.
Dalam dialog tersebut, orang tersebut memperkenalkan dirinya bernama Romey, berprofesi sebagai pengacara, dan menjelaskan alasan mengapa ia sampai nekat mau bunuh diri. Romey mengatakan, ia berniat bunuh diri karena bila dia sampai kalah di pengadilan, dia akan dibunuh oleh kliennya, Muldano. Hal ini karena Romey sudah terlanjur mengetahui dimana Muldano menyembunyikan mayat orang yang telah dibunuhnya, Senator Boyd Boyette. Padahal, mayat senator tersebut merupakan bukti kunci yang saat ini sedang dicari-cari oleh pihak Jaksa untuk menjerumuskan Muldano ke penjara.
Pada saat Romey terlena bercerita, Mark berhasil mengambil pistol yang ada di dekat Romey dan menodongkannya. Tapi Romey justru senang dan minta ditembak, karena dia memang ingin mati. Mark tidak berani menembak kepala Romey dan gemetaran memegang pistol. Saat itulah, Romey berhasil merebut pistol dan menodongkannya pada Mark. Mark berhasil keluar dari mobil dan lari sambil menggandeng adiknya. Romey yang bertubuh gendut itu, kesulitan mengejar Mark sehingga Mark serta adiknya pun lolos. Frustasi dengan itu, Romey bunuh diri dengan cara menembakkan pistol ke mulutnya sendiri.
Investigasi pun dilakukan atas kasus bunuh diri tersebut. Karena putung rokok Mark ada di Tempat Kejadian Perkara, maka Mark dipanggil oleh FBI untuk jadi saksi, sekaligus akan dimintai informasi dimana mayat Senator disembunyikan, karena dia sempat berdialog dengan almarhum Romey berdasarkan bukti sidik jarinya yang ada di pistol Romey (sidik jari tersebut menunjukkan bahwa sebelum mati, Romey sempat berinteraksi dengan Mark). Mark ketakutan, ia mendatangi pengacara yang bernama Reggie Love. Love ternyata bersedia membantu Mark meski hanya dibayar 1 dollar.
Disitulah polemik dimulai. Di satu sisi, bila Mark tidak mau memberi informasi pada aparat (FBI) tentang dimana mayat tersebut berada, ia dianggap menghalangi proses ditegakkannya keadilan. Tapi disisi lain, Mark sudah diancam akan dibunuh oleh sindikat Muldano bila ia sampai mengatakan pada orang lain informasi apapun yang didapat dari Romey. Bukan hanya Mark yang menghadapi kesulitan, tapi juga Love, pengacaranya, yang berada dalam posisi dilematis. Love berada dalam posisi dilematis karena, bila ia menyuruh Mark memberikan informasi pada FBI tentang tempat mayat Senator, konsekuensinya adalah Mark bisa dibunuh anak buah Muldano. Tapi bila ia melarang Mark memberi informasi, Mark akan terus ditahan sampai kasus tersebut selesai. Padahal Mark tidak mau masuk tahanan sehari pun; Mark sangat ketakutan dan bisa depresi berat.
B. ANALISIS
§ Masalah Kewajiban Menjadi Saksi dan Perlindungan Saksi
Berdasarkan film tersebut, tidak berlebihan kiranya bila kemudian dikatakan bahwa dalam semua sistem hukum, persoalan saksi memang belum bisa teratasi dengan sempurna. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika – yang konon ceritanya lebih maju, pun demikian adanya. “Seseorang yang mengetahui adanya kejahatan, tapi tidak melapor pada polisi/FBI, maka dapat dihukum karena pelanggaran federal”, itulah yang biasa dikatakan Jaksa (prosecutor) terhadap saksi. Selain itu, ada juga ketentuan bahwa “berbohong pada polisi/FBI dalam pemeriksaan adalah pelanggaran federal”.
Demi lancarnya penyidikan dan proses penegakan hukum, saksi memang harus mau untuk bersaksi dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi disisi lain, program perlindungan terhadap saksi ternyata belum bisa memberikan ketenangan pada saksi untuk memberikan kesaksian. Bila memang terancam, di Amerika, saksi biasanya dijaga ketat atau diasingkan ke suatu daerah dan dirubah penampilannya, agar pihak yang dirugikan tidak bisa membalas dendam padanya.
Tapi siapakah yang dapat menjamin, bahwa setelah ‘program perlindungan’ tersebut, pihak yang dirugikan akan melupakan dendamnya pada saksi dan tak akan menuntut balas lagi?? Dalam kondisi yang seperti demikian, siapa pun pasti enggan untuk mengambil resiko dengan menjadi saksi atas suatu kejahatan. Menjadi saksi berarti menceburkan diri ke dalam masalah. Akan tetapi, bila kita tidak mau bersaksi, kita dianggap melanggar peraturan dan menghalangi proses keadilan.
Masalah tersebut menjadi semakin pelik bila kita kaitkan dengan kondisi riil di negara kita, Indonesia, yang perlindungannya terhadap saksi masih sangat minim. Bahkan, di negara kita, saksi seolah tak dihargai sama sekali. Baginya tidak pernah diberikan kompensasi yang memadai atau penghargaan lainnya atas kesaksian yang telah diberikan. Padahal, menjadi saksi resikonya sangat berat. Dalam kondisi yang seperti ini, janganlah kita menyalahkan begitu saja mereka yang lebih memilih diam, acuh, dan pura-pura tidak tahu daripada memilih bersaksi di pengadilan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dengan kesadaran mau mengajukan diri menjadi saksi.
Padahal, Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan: “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli”. Mengingat beratnya beban dan besarnya resiko seorang saksi kejahatan, sudah semestinya sistem hukum kita memberi penghormatan, perlindungan yang serius, dan kompensasi yang memadai atas jasa saksi dalam proses peradilan. Bila sistem hukum kita belum mampu bersikap demikian, maka Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP tersebut perlu kiranya untuk ditinjau ulang. Patut pula direnungkan apa yang dikatakan pengacara Reggie Love dalam film The Client tersebut, “Kenapa ia (saksi) harus bicara, kalau kita tidak bisa melindunginya ???”
§ Pengacara yang Berada dalam Dilema
Dalam film tersebut, kita menemukan dua dilema dari pengacara, yang itu sangat mungkin terjadi dalam kehidupan setiap orang yang memilih profesi sebagai pengacara. Pertama, apa yang dihadapi oleh Romey, pengacara Muldano. Kalau Romey sampai kalah dalam kasus tersebut, dia pasti akan dibunuh oleh kliennya sendiri, Muldano, karena dia sudah terlanjur tahu rahasia-rahasia kejahatan Muldano. Bila berada dibawah ancaman seperti ini, salahkah bila kemudian Romey berusaha mati-matian dengan segala cara agar bisa menang di persidangan, demi untuk menyelamatkan diri dari ancaman kliennya?? Karena bingung, pada akhirnya Romey lebih memilih untuk bunuh diri.
Yang kedua, apa yang dihadapi oleh Reggie Love, pengacara dari Mark, bocah yang kebetulan menyaksikan kejahatan bunuh diri dan mengetahui dimana mayat korban kejahatan Muldano disimpan. Sebagai pengacara, Love tidak mungkin menyuruh Mark memberikan informasi keberadaan mayat tersebut pada polisi, karena bila Mark sampai melakukan itu, Mark akan dibunuh oleh anak buah Muldano. Namun bila Mark tidak mau memberi keterangan dimana lokasi mayatnya, Mark akan ditahan sampai kasus tersebut selesai, dan itu berarti masa depan bocah bernama Mark akan hancur dalam tahanan.
Bukan hanya itu, sukses tidaknya kasus tersebut sangat tergantung pada Mark sebagai satu-satunya orang yang tahu dimana lokasi bukti kunci berupa mayat. “Tak ada mayat maka tak ada kasus”, begitu kata Jaksa pada Love. Dengan melindungi Mark untuk tidak memberi informasi pada polisi, berarti ia menghalangi proses penegakan hukum terhadap kejahatan pembunuhan yang dilakukan Muldano. Disini dia berada di “wilayah abu-abu” (grey area), yaitu antara keinginan membantu proses penegakan keadilan hukum di satu sisi, dan kewajiban melindungi saksi Mark dari ancaman pembunuhan di sisi yang lain.
Di mata orang awam, Love tentu akan dianggap sebagai seorang “pengacara busuk”, karena ilmu hukum yang ia miliki justru ia gunakan untuk mempersulit dan menghalang-halangi proses peradilan. Padahal, di balik itu, sebenarnya ada dilema besar yang sedang ia hadapi; dua pilihan berat dan beresiko yang tidak mungkin dikatakan pada siapapun.
Dilema-dilema seperti tersebut sangat mungkin dihadapai oleh seorang pengacara dalam menjalankan profesinya. Dilema-dilema mereka kebanyakan tidak dipahami oleh masyarakat umum (karena biasanya merupakan sesuatu yang harus dirahasiakan). Akibatnya, yang selalu diterima oleh pengacara adalah cemoohan, “orang salah kok dibelain !!!!”, sama seperti cemoohan yang diterima oleh Mahendradhatta cs pada saat membela para terdakwa kasus bom Bali. Padahal, orang yang di mata masyarakat salah, belum tentu pada kenyataannya salah. Dan bila memang benar salah, seorang yang salah pun tetap masih punya hak yang perlu dilindungi. Inilah yang tidak pernah dipahami oleh masyarakat luas.
oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
A. RINGKASAN CERITA FILM
Seorang bocah bernama Mark bersama adiknya, Ricky, pada saat main-main ke hutan, tanpa sengaja melihat orang yang akan bunuh diri dengan cara mengunci diri dalam mobil yang dimasuki slang berisi gas beracun dari knalpot . Melihat itu, Mark berusaha menggagalkannya dengan cara mencabut slang penyalur gas tersebut dari knalpot yang menjadi sumbernya. Tapi sayang, usaha Mark tersebut ketahuan dan ia akhirnya ia dipaksa masuk ke dalam mobil oleh orang tersebut untuk mati bersama-sama. Sebelum gas beracun tersebut bereaksi, sempat terjadi dialog antara keduanya.
Dalam dialog tersebut, orang tersebut memperkenalkan dirinya bernama Romey, berprofesi sebagai pengacara, dan menjelaskan alasan mengapa ia sampai nekat mau bunuh diri. Romey mengatakan, ia berniat bunuh diri karena bila dia sampai kalah di pengadilan, dia akan dibunuh oleh kliennya, Muldano. Hal ini karena Romey sudah terlanjur mengetahui dimana Muldano menyembunyikan mayat orang yang telah dibunuhnya, Senator Boyd Boyette. Padahal, mayat senator tersebut merupakan bukti kunci yang saat ini sedang dicari-cari oleh pihak Jaksa untuk menjerumuskan Muldano ke penjara.
Pada saat Romey terlena bercerita, Mark berhasil mengambil pistol yang ada di dekat Romey dan menodongkannya. Tapi Romey justru senang dan minta ditembak, karena dia memang ingin mati. Mark tidak berani menembak kepala Romey dan gemetaran memegang pistol. Saat itulah, Romey berhasil merebut pistol dan menodongkannya pada Mark. Mark berhasil keluar dari mobil dan lari sambil menggandeng adiknya. Romey yang bertubuh gendut itu, kesulitan mengejar Mark sehingga Mark serta adiknya pun lolos. Frustasi dengan itu, Romey bunuh diri dengan cara menembakkan pistol ke mulutnya sendiri.
Investigasi pun dilakukan atas kasus bunuh diri tersebut. Karena putung rokok Mark ada di Tempat Kejadian Perkara, maka Mark dipanggil oleh FBI untuk jadi saksi, sekaligus akan dimintai informasi dimana mayat Senator disembunyikan, karena dia sempat berdialog dengan almarhum Romey berdasarkan bukti sidik jarinya yang ada di pistol Romey (sidik jari tersebut menunjukkan bahwa sebelum mati, Romey sempat berinteraksi dengan Mark). Mark ketakutan, ia mendatangi pengacara yang bernama Reggie Love. Love ternyata bersedia membantu Mark meski hanya dibayar 1 dollar.
Disitulah polemik dimulai. Di satu sisi, bila Mark tidak mau memberi informasi pada aparat (FBI) tentang dimana mayat tersebut berada, ia dianggap menghalangi proses ditegakkannya keadilan. Tapi disisi lain, Mark sudah diancam akan dibunuh oleh sindikat Muldano bila ia sampai mengatakan pada orang lain informasi apapun yang didapat dari Romey. Bukan hanya Mark yang menghadapi kesulitan, tapi juga Love, pengacaranya, yang berada dalam posisi dilematis. Love berada dalam posisi dilematis karena, bila ia menyuruh Mark memberikan informasi pada FBI tentang tempat mayat Senator, konsekuensinya adalah Mark bisa dibunuh anak buah Muldano. Tapi bila ia melarang Mark memberi informasi, Mark akan terus ditahan sampai kasus tersebut selesai. Padahal Mark tidak mau masuk tahanan sehari pun; Mark sangat ketakutan dan bisa depresi berat.
B. ANALISIS
§ Masalah Kewajiban Menjadi Saksi dan Perlindungan Saksi
Berdasarkan film tersebut, tidak berlebihan kiranya bila kemudian dikatakan bahwa dalam semua sistem hukum, persoalan saksi memang belum bisa teratasi dengan sempurna. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika – yang konon ceritanya lebih maju, pun demikian adanya. “Seseorang yang mengetahui adanya kejahatan, tapi tidak melapor pada polisi/FBI, maka dapat dihukum karena pelanggaran federal”, itulah yang biasa dikatakan Jaksa (prosecutor) terhadap saksi. Selain itu, ada juga ketentuan bahwa “berbohong pada polisi/FBI dalam pemeriksaan adalah pelanggaran federal”.
Demi lancarnya penyidikan dan proses penegakan hukum, saksi memang harus mau untuk bersaksi dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi disisi lain, program perlindungan terhadap saksi ternyata belum bisa memberikan ketenangan pada saksi untuk memberikan kesaksian. Bila memang terancam, di Amerika, saksi biasanya dijaga ketat atau diasingkan ke suatu daerah dan dirubah penampilannya, agar pihak yang dirugikan tidak bisa membalas dendam padanya.
Tapi siapakah yang dapat menjamin, bahwa setelah ‘program perlindungan’ tersebut, pihak yang dirugikan akan melupakan dendamnya pada saksi dan tak akan menuntut balas lagi?? Dalam kondisi yang seperti demikian, siapa pun pasti enggan untuk mengambil resiko dengan menjadi saksi atas suatu kejahatan. Menjadi saksi berarti menceburkan diri ke dalam masalah. Akan tetapi, bila kita tidak mau bersaksi, kita dianggap melanggar peraturan dan menghalangi proses keadilan.
Masalah tersebut menjadi semakin pelik bila kita kaitkan dengan kondisi riil di negara kita, Indonesia, yang perlindungannya terhadap saksi masih sangat minim. Bahkan, di negara kita, saksi seolah tak dihargai sama sekali. Baginya tidak pernah diberikan kompensasi yang memadai atau penghargaan lainnya atas kesaksian yang telah diberikan. Padahal, menjadi saksi resikonya sangat berat. Dalam kondisi yang seperti ini, janganlah kita menyalahkan begitu saja mereka yang lebih memilih diam, acuh, dan pura-pura tidak tahu daripada memilih bersaksi di pengadilan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dengan kesadaran mau mengajukan diri menjadi saksi.
Padahal, Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan: “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli”. Mengingat beratnya beban dan besarnya resiko seorang saksi kejahatan, sudah semestinya sistem hukum kita memberi penghormatan, perlindungan yang serius, dan kompensasi yang memadai atas jasa saksi dalam proses peradilan. Bila sistem hukum kita belum mampu bersikap demikian, maka Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP tersebut perlu kiranya untuk ditinjau ulang. Patut pula direnungkan apa yang dikatakan pengacara Reggie Love dalam film The Client tersebut, “Kenapa ia (saksi) harus bicara, kalau kita tidak bisa melindunginya ???”
§ Pengacara yang Berada dalam Dilema
Dalam film tersebut, kita menemukan dua dilema dari pengacara, yang itu sangat mungkin terjadi dalam kehidupan setiap orang yang memilih profesi sebagai pengacara. Pertama, apa yang dihadapi oleh Romey, pengacara Muldano. Kalau Romey sampai kalah dalam kasus tersebut, dia pasti akan dibunuh oleh kliennya sendiri, Muldano, karena dia sudah terlanjur tahu rahasia-rahasia kejahatan Muldano. Bila berada dibawah ancaman seperti ini, salahkah bila kemudian Romey berusaha mati-matian dengan segala cara agar bisa menang di persidangan, demi untuk menyelamatkan diri dari ancaman kliennya?? Karena bingung, pada akhirnya Romey lebih memilih untuk bunuh diri.
Yang kedua, apa yang dihadapi oleh Reggie Love, pengacara dari Mark, bocah yang kebetulan menyaksikan kejahatan bunuh diri dan mengetahui dimana mayat korban kejahatan Muldano disimpan. Sebagai pengacara, Love tidak mungkin menyuruh Mark memberikan informasi keberadaan mayat tersebut pada polisi, karena bila Mark sampai melakukan itu, Mark akan dibunuh oleh anak buah Muldano. Namun bila Mark tidak mau memberi keterangan dimana lokasi mayatnya, Mark akan ditahan sampai kasus tersebut selesai, dan itu berarti masa depan bocah bernama Mark akan hancur dalam tahanan.
Bukan hanya itu, sukses tidaknya kasus tersebut sangat tergantung pada Mark sebagai satu-satunya orang yang tahu dimana lokasi bukti kunci berupa mayat. “Tak ada mayat maka tak ada kasus”, begitu kata Jaksa pada Love. Dengan melindungi Mark untuk tidak memberi informasi pada polisi, berarti ia menghalangi proses penegakan hukum terhadap kejahatan pembunuhan yang dilakukan Muldano. Disini dia berada di “wilayah abu-abu” (grey area), yaitu antara keinginan membantu proses penegakan keadilan hukum di satu sisi, dan kewajiban melindungi saksi Mark dari ancaman pembunuhan di sisi yang lain.
Di mata orang awam, Love tentu akan dianggap sebagai seorang “pengacara busuk”, karena ilmu hukum yang ia miliki justru ia gunakan untuk mempersulit dan menghalang-halangi proses peradilan. Padahal, di balik itu, sebenarnya ada dilema besar yang sedang ia hadapi; dua pilihan berat dan beresiko yang tidak mungkin dikatakan pada siapapun.
Dilema-dilema seperti tersebut sangat mungkin dihadapai oleh seorang pengacara dalam menjalankan profesinya. Dilema-dilema mereka kebanyakan tidak dipahami oleh masyarakat umum (karena biasanya merupakan sesuatu yang harus dirahasiakan). Akibatnya, yang selalu diterima oleh pengacara adalah cemoohan, “orang salah kok dibelain !!!!”, sama seperti cemoohan yang diterima oleh Mahendradhatta cs pada saat membela para terdakwa kasus bom Bali. Padahal, orang yang di mata masyarakat salah, belum tentu pada kenyataannya salah. Dan bila memang benar salah, seorang yang salah pun tetap masih punya hak yang perlu dilindungi. Inilah yang tidak pernah dipahami oleh masyarakat luas.
ANALISIS FILM
“AND THE JUSTICE FOR ALL”
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
A. HAK SUBSTITUSI DALAM DUNIA KEPENGACARAAN
Dalam film tersebut dikisahkan bahwa Atur, seorang pengacara yang sebenarnya berdedikasi tinggi, pada suatu waktu sedang menangani kasus kliennya yang sedang memasuki tahap pembuktian di pengadilan. Tapi karena ia juga harus menghadiri persidangan kasus lainnya yang menurutnya lebih penting, maka ia menggantikan/mensubstitusikan posisinya pada rekan seprofesinya, Jai.
Sayangnya Jai tidak melaksanakan tugas yang telah dipercayakan oleh Atur padanya dengan baik. Jai terlambat mengajukan barang bukti pada hakim Flemming yang terkenal sangat disiplin, sehingga barang bukti tersebut ditolak oleh Flemming. Padahal, barang bukti tersebut adalah bukti kunci yang bisa menjelaskan tidak bersalahnya kliennya.
Akibatnya, kliennya tersebut dihukum penjara tiga tahun. Kliennya tersebut kemudian depresi, karena merasa tidak bersalah tapi dihukum, sehingga gantung diri di penjara. Mengetahui itu, Atur sangat kecewa dan marah-marah pada Jai, sekaligus merasa sangat berdosa pada kliennya. Kliennya tersebut telah mempercayainya, tapi dia kemudian memberikan kepercayaan kliennya tersebut pada orang lain.
Persoalan substitusi seperti itu memang sangat sering terjadi dalam dunia kepengacaraan. Dalam bagian akhir surat kuasa biasanya disebutkan “kuasa ini diberikan Hak Substitusi kepada orang lain apabila berhalangan”. Format yang seperti itu hampir ada dalam semua surat kuasa, kecuali dalam surat kuasa dimana klien telah menyatakan secara tegas bahwa ia hanya mau ketika yang mejadi pengacaranya adalah si Fulan saja, dan melarangnya untuk mewakilkan pada siapapun.
Persoalan substitusi memang pelik. Di satu sisi, ketika seorang klien mendatangi seorang pengacara dan kemudian memintanya agar dibela kepentingannya, maka itu berarti ia telah memilih pengacara tersebut dan memberikan kepercayaan padanya. Sehingga pengacara tersebut harus melaksanakan amanah yang telah diberikan kliennya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab.
Tapi di sisi yang lain, bagaimanapun, pengacara adalah seorang manusia juga, yang, bisa jadi, pada suatu saat mendapatkan halangan. Ketika dia mendapatkan halangan untuk hadir di persidangan karena kepentingan yang sifatnya mendesak sementara proses persidangan harus terus berjalan, siapa yang akan membela terdakwa di persidangan bila sang pengacara tidak diberikan hak substitusi?
Maka dari itu, diberikannya hak substitusi kepada seorang pengacara adalah suatu kebutuhan. Tapi hendaknya hak ini boleh digunakan oleh pengacara hanya ketika keadaan terpaksa saja. Selain dalam kondisi yang seperti itu, ia tidak boleh menggunakan hak substitusi yang ada padanya. Karena, kepercayaan dari klien kepadanya adalah sebuah amanat yang sudah semestinya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan seoptimal mungkin.
B. PERIHAL RAHASIA KLIEN
Pasal 18 (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat menyatakan: advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasar jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Dan Pasal 19 (1): Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pasal ini menunjukkan bahwa merahasiakan rahasia klien adalah kewajiban pengacara dan karena itu, membocorkannya adalah sebuah pelanggaran hukum.
Adanya kewajiban merahasiakan rahasia klien adalah demi tercapainya keadilan. Sebagaimana diketahui, dalam hukum ada empat pilar penegak hukum yang dikenal dengan istilah “catur wangsa”, yaitu: polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Meskipun ada pihak yang kelihatannya bertentangan, khususnya pengacara terdakwa dan jaksa, namun keberadaan semua pihak tersebut adalah dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu terwujudnya kebenaran dan keadilan. Jaksa pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk ‘menjerumuskan’ terdakwa dan membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Karena itu, agar adil, harus diimbangi dengan kehadiran pengacara yang akan membela terdakwa.
Dalam hukum ada dua aliran besar: aliran substansialis dan aliran formalis. Aliran substansialis berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan hukum tidak perlu terlalu formalistis. Aturan hukum acara yang ada boleh saja ditembus, yang penting keadilan dapat terwujud. Sementara aliran formalis berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan harus sesuai dengan aturan hukum acara yang ada. Tindakan melanggar hukum acara sudah berarti pelanggaran terhadap keadilan itu sendiri.
Bagi aliran formalis, membocorkan rahasia klien tentu merupakan hal yang sangat tabu, karena tindakan tersebut melanggar undang-undang. Tidak peduli meskipun tindakan tersebut adalah dilakukan demi tercapainya kebenaran dan keadilan. Sedangkan aliran substansialis tentu akan berpendapat bahwa tindakan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, bila memang itu diperlukan demi terwujudnya kebenaran dan keadilan.
Dalam hal ini, kita harus ingat bahwa diciptakannya hukum acara adalah untuk menopang terlaksananya hukum materiil secara benar, sehingga dengannya kebenaran dan keadilan dapat tercapai. Kita juga harus ingat, bahwa peraturan-peraturan yang ada dalam hukum acara tidak selalu bisa mengakomodir demua hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu, adalah tidak mengapa, bila kemudian hukum acara disimpangi demi terwujudnya kebenaran dan keadilan, karena ini juga berarti demi terwujudnya tujuan dari hukum acara itu sendiri.
Apalagi bila kita sadar bahwa tujuan dari pengacara adalah membela terdakwa sebatas pada hak-haknya saja, dan bukan membebaskannya. Maka dari itu, bila pembelaan terhadap hak-hak terdakwa sudah terpenuhi, dan jaksa kesulitan membuktikan bersalahnya terdakwa, sedangkan pengacara tahu bahwa terdakwa bersalah, maka tidaklah mengapa bila kemudian ia memberi tahukan rahasia tentang kesalahan terdakwa pada jaksa dan hakim.
Tindakan yang seperti ini bukanlah tindakan menjerumuskan terdakwa. Karena, bila memang terdakwa bersalah, bukankah dia sudah semestinya dihukum sesuai dengan perbuatannya? Dikatakan menjerumuskan adalah bila seorang tidak bersalah kemudian dikatakan bersalah. Sehingga bila pada kenyataannya terdakwa memang bersalah, maka tindakan memberitahukan kesalahannya pada penegak hukum lainnya adalah bukan tindakan menjerumuskan terdakwa, tapi menempatkannya pada posisi yang semestinya. Apalagi bila kita ingat lagi bahwa tugas pengacara bukanlah membebaskan terdakwa, tetapi membela sebatas hak-haknya saja.
Tindakan membocorkan rahasia klien memang terkesan membuat jaksa menjadi ‘manja’, karena tugas jaksa adalah membuktikan kesalahannya. Tapi bila jaksa sudah berusaha, dan dia ternyata tidak bisa membuktikan, maka pengacara boleh ‘menembus’ hukum acara yang ada agar kebenaran materiil dapat terungkap. Bila sudah dalam kondisi seperti ini, maka tugas pengacara selanjutnya adalah mengeksplorasi hal-hal yang bisa meringankan terdakwa, sehingga dengannya hakim dapat memberikan putusan yang adil bagi semuanya.
“AND THE JUSTICE FOR ALL”
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
A. HAK SUBSTITUSI DALAM DUNIA KEPENGACARAAN
Dalam film tersebut dikisahkan bahwa Atur, seorang pengacara yang sebenarnya berdedikasi tinggi, pada suatu waktu sedang menangani kasus kliennya yang sedang memasuki tahap pembuktian di pengadilan. Tapi karena ia juga harus menghadiri persidangan kasus lainnya yang menurutnya lebih penting, maka ia menggantikan/mensubstitusikan posisinya pada rekan seprofesinya, Jai.
Sayangnya Jai tidak melaksanakan tugas yang telah dipercayakan oleh Atur padanya dengan baik. Jai terlambat mengajukan barang bukti pada hakim Flemming yang terkenal sangat disiplin, sehingga barang bukti tersebut ditolak oleh Flemming. Padahal, barang bukti tersebut adalah bukti kunci yang bisa menjelaskan tidak bersalahnya kliennya.
Akibatnya, kliennya tersebut dihukum penjara tiga tahun. Kliennya tersebut kemudian depresi, karena merasa tidak bersalah tapi dihukum, sehingga gantung diri di penjara. Mengetahui itu, Atur sangat kecewa dan marah-marah pada Jai, sekaligus merasa sangat berdosa pada kliennya. Kliennya tersebut telah mempercayainya, tapi dia kemudian memberikan kepercayaan kliennya tersebut pada orang lain.
Persoalan substitusi seperti itu memang sangat sering terjadi dalam dunia kepengacaraan. Dalam bagian akhir surat kuasa biasanya disebutkan “kuasa ini diberikan Hak Substitusi kepada orang lain apabila berhalangan”. Format yang seperti itu hampir ada dalam semua surat kuasa, kecuali dalam surat kuasa dimana klien telah menyatakan secara tegas bahwa ia hanya mau ketika yang mejadi pengacaranya adalah si Fulan saja, dan melarangnya untuk mewakilkan pada siapapun.
Persoalan substitusi memang pelik. Di satu sisi, ketika seorang klien mendatangi seorang pengacara dan kemudian memintanya agar dibela kepentingannya, maka itu berarti ia telah memilih pengacara tersebut dan memberikan kepercayaan padanya. Sehingga pengacara tersebut harus melaksanakan amanah yang telah diberikan kliennya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab.
Tapi di sisi yang lain, bagaimanapun, pengacara adalah seorang manusia juga, yang, bisa jadi, pada suatu saat mendapatkan halangan. Ketika dia mendapatkan halangan untuk hadir di persidangan karena kepentingan yang sifatnya mendesak sementara proses persidangan harus terus berjalan, siapa yang akan membela terdakwa di persidangan bila sang pengacara tidak diberikan hak substitusi?
Maka dari itu, diberikannya hak substitusi kepada seorang pengacara adalah suatu kebutuhan. Tapi hendaknya hak ini boleh digunakan oleh pengacara hanya ketika keadaan terpaksa saja. Selain dalam kondisi yang seperti itu, ia tidak boleh menggunakan hak substitusi yang ada padanya. Karena, kepercayaan dari klien kepadanya adalah sebuah amanat yang sudah semestinya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan seoptimal mungkin.
B. PERIHAL RAHASIA KLIEN
Pasal 18 (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat menyatakan: advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasar jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Dan Pasal 19 (1): Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pasal ini menunjukkan bahwa merahasiakan rahasia klien adalah kewajiban pengacara dan karena itu, membocorkannya adalah sebuah pelanggaran hukum.
Adanya kewajiban merahasiakan rahasia klien adalah demi tercapainya keadilan. Sebagaimana diketahui, dalam hukum ada empat pilar penegak hukum yang dikenal dengan istilah “catur wangsa”, yaitu: polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Meskipun ada pihak yang kelihatannya bertentangan, khususnya pengacara terdakwa dan jaksa, namun keberadaan semua pihak tersebut adalah dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu terwujudnya kebenaran dan keadilan. Jaksa pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk ‘menjerumuskan’ terdakwa dan membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Karena itu, agar adil, harus diimbangi dengan kehadiran pengacara yang akan membela terdakwa.
Dalam hukum ada dua aliran besar: aliran substansialis dan aliran formalis. Aliran substansialis berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan hukum tidak perlu terlalu formalistis. Aturan hukum acara yang ada boleh saja ditembus, yang penting keadilan dapat terwujud. Sementara aliran formalis berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan harus sesuai dengan aturan hukum acara yang ada. Tindakan melanggar hukum acara sudah berarti pelanggaran terhadap keadilan itu sendiri.
Bagi aliran formalis, membocorkan rahasia klien tentu merupakan hal yang sangat tabu, karena tindakan tersebut melanggar undang-undang. Tidak peduli meskipun tindakan tersebut adalah dilakukan demi tercapainya kebenaran dan keadilan. Sedangkan aliran substansialis tentu akan berpendapat bahwa tindakan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, bila memang itu diperlukan demi terwujudnya kebenaran dan keadilan.
Dalam hal ini, kita harus ingat bahwa diciptakannya hukum acara adalah untuk menopang terlaksananya hukum materiil secara benar, sehingga dengannya kebenaran dan keadilan dapat tercapai. Kita juga harus ingat, bahwa peraturan-peraturan yang ada dalam hukum acara tidak selalu bisa mengakomodir demua hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu, adalah tidak mengapa, bila kemudian hukum acara disimpangi demi terwujudnya kebenaran dan keadilan, karena ini juga berarti demi terwujudnya tujuan dari hukum acara itu sendiri.
Apalagi bila kita sadar bahwa tujuan dari pengacara adalah membela terdakwa sebatas pada hak-haknya saja, dan bukan membebaskannya. Maka dari itu, bila pembelaan terhadap hak-hak terdakwa sudah terpenuhi, dan jaksa kesulitan membuktikan bersalahnya terdakwa, sedangkan pengacara tahu bahwa terdakwa bersalah, maka tidaklah mengapa bila kemudian ia memberi tahukan rahasia tentang kesalahan terdakwa pada jaksa dan hakim.
Tindakan yang seperti ini bukanlah tindakan menjerumuskan terdakwa. Karena, bila memang terdakwa bersalah, bukankah dia sudah semestinya dihukum sesuai dengan perbuatannya? Dikatakan menjerumuskan adalah bila seorang tidak bersalah kemudian dikatakan bersalah. Sehingga bila pada kenyataannya terdakwa memang bersalah, maka tindakan memberitahukan kesalahannya pada penegak hukum lainnya adalah bukan tindakan menjerumuskan terdakwa, tapi menempatkannya pada posisi yang semestinya. Apalagi bila kita ingat lagi bahwa tugas pengacara bukanlah membebaskan terdakwa, tetapi membela sebatas hak-haknya saja.
Tindakan membocorkan rahasia klien memang terkesan membuat jaksa menjadi ‘manja’, karena tugas jaksa adalah membuktikan kesalahannya. Tapi bila jaksa sudah berusaha, dan dia ternyata tidak bisa membuktikan, maka pengacara boleh ‘menembus’ hukum acara yang ada agar kebenaran materiil dapat terungkap. Bila sudah dalam kondisi seperti ini, maka tugas pengacara selanjutnya adalah mengeksplorasi hal-hal yang bisa meringankan terdakwa, sehingga dengannya hakim dapat memberikan putusan yang adil bagi semuanya.
Langganan:
Postingan (Atom)