‘IBADAH YANG MENJADI MAKSIAT’
DAN ‘MAKSIAT YANG MENJADI IBADAH’
BY: Muhammad Lubab al-Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Ada sebuah ungkapan menarik yang dikatakan oleh Ibnu ‘Atha’illah: maksiat yang menimbulkan perasaan hina dan butuh (akan rahmat Tuhan) adalah lebih baik daripada ibadah yang menumbuhkan perasaan mulia dan tinggi hati (ma’shiyatun awratsat dzullan wa iftiqaran khoirun min tha’atin awratsat ‘izzan wa istikbaran). Sepintas, ungkapan sang tokoh sufi tersebut memang terkesan terlalu berani, seolah dia adalah Tuhan yang punya kewenangan menilai amal kita. Tapi apabila kita merenunginya secara serius, kita akan mendapati kedalaman makna yang sungguh luar biasa darinya. Maqalah tersebut bukanlah ungkapan yang tidak berdasar, karena sesungguhnya ungkapan tersebut adalah penjelasan lebih mendalam dari Hadis Nabi yang menyatakan, dosa terkadang dapat memasukkan pelakunya ke surga (rubba dzanbin adkhala shahibahu al-jannata). Kita baru dapat memahami ungkapan kontroversial diatas hanya apabila kita mampu memaknai maksiat dan ibadah bukan dari lahiriahnya saja, tapi juga hakikatnya.
Hakikat Ibadah dan Maksiat
Secara bahasa, kata ‘abida-ya’budu-‘ibadah berarti menghamba, menyembah, dan menghinakan diri pada Tuhan. Dari semua makna yang dikandungnya, dapat kita simpulkan kiranya bahwa hakikat ibadah pasti tidak akan jauh dari yang namanya “sifat rendah diri”. Sedangkan kata ‘asha-ya’shi-ma’shiyah artinya adalah durhaka, melawan, dan menentang. Durhaka, melawan, dan menentang adalah perbuatan yang hanya bisa ada jika pelakunya merasa sombong, mulia, dan berbesar hati. Dari sini jelaslah bahwa maksiat pastilah tidak akan jauh dari yang namanya “perasaan tinggi hati”.
Dalam buku al-Hikam al-‘Atha’iyyah Syarh wa Tahlil, Dr. Sa’id Ramadlan al-Buthiy secara sangat logis menjelaskan ungkapan Ibnu ‘Atha’illah diatas. Menurutnya, hakikat dari ibadah adalah merasa hina, rendah diri, dan lemah dihadapan Yang Maha Mutlak, sehingga kita kemudian menyembah-Nya dan selalu mengharap rahmat dari-Nya. Sedangkan hakikat dari maksiat adalah perasaan sombong, tinggi hati, dan berbesar hati didepan Sang Khaliq, sehingga kita kemudian merasa tidak begitu butuh akan rahmatNya, bahkan berani melawan perintah dan larangannya (al-Buthiy: 2000, hal. 143).
Itulah hakikat dari masing-masing dari keduanya. Ibadah sangat erat kaitannya dengan perasan rendah hati, lemah, dan perasaan hina. Sebaliknya, maksiat sangat erat kaitannya dengan kesombongan, over self confidence, dan suka merendahkan yang lainnya. Konsekuensinya, apabila hakikat dari keduanya sampai tertukar, maka, semestinya, tertukar pula nama dari masing-masing, karena nama hanyalah “bungkus” dari sebuah hakikat.
Maksudnya, apabila ibadah yang kita lakukan pada kenyataannya justru menimbulkan perasan tinggi hati, merasa paling suci, dan suka memandang rendah yang lainnya, maka itu bukanlah ibadah, tapi justru maksiat. Atau dengan kata lain, ‘maksiat yang berbaju ibadah’. Begitu juga sebaliknya. Bahkan secara lebih ekstrem, Ibnu ‘Ajibah al-Hasaniy, dalam Iqadz al- Himam fi Syarh al-Hikam, sampai menegaskan bahwa pelaku maksiat yang merasa menyesal, hina, dan berdosa, pada hakikatnya lebih baik daripada ahli ibadah yang merasa “Pe-De” dengan ibadahnya dan merasa paling alim sendiri (Ibnu ‘Ajibah: t.t., hal.187).
Kita tidak bisa menjamin bahwa seorang yang berbaju koko, rajin beribadah dan selalu aktif di masjid adalah lebih mulia di sisi Allah dari para PSK yang ‘aktif’-nya di lokalisasi. Karena bukan hal yang mustahil, kesalehan yang dilakukan ahli ibadah tadi mungkin justru malah membuatnya merasa paling ‘bersih’ sendiri, sangat ‘PD’, dan suka memandang yang lainnya ‘kotor’. Merasa sudah rajin ibadah, bisa jadi, dia tidak begitu merasa rendah diri atau hina lagi. Sebaliknya, si PSK tadi setiap malam menangis menyesali kehinaan dirinya didepan Tuhan, tapi ia, dengan sangat terpaksa, tak bisa meninggalkan dunianya karena takut anaknya putus sekolah atau kelaparan.
Secara lahiriah, terlebih lagi kalau dilihat dari kacamata fiqh yang legalistik formal, PSK tadi jelas salah dan berdosa besar. Namun, bila kita merenungi lagi hakikat ibadah dan maksiat diatas, siapa yang dapat menjamin bahwa didepan Tuhan, kedudukan ahli ibadah tadi lebih tinggi dari PSK ini? Apalagi kalau kita ingat hadis diatas, bahwa terkadang maksiat dapat memasukkan pelakunya ke surga. Bukankah Allah Maha Tahu dan Maha Pengampun? Rahmat-Nya juga sangat luas bagi siapa saja yang Dia kehendaki, termasuk untuk PSK tadi. Bukankah kita tidak bisa ‘memaksa’ Tuhan untuk menghukum PSK tadi atau memasukkan ahli ibadah tadi ke surga-Nya? Tuhan punya ‘hak prerogatif’ untuk melakukan apa saja yang Ia suka.
Yang ingin penulis tekankan disini bukanlah menetapkan bahwa maksiat lebih baik dari ibadah, tetapi menunjukkan betapa sulitnya melakukan ibadah yang diterima disisi Allah.
Bagaimana Ibadah Semestinya Dilakukan??
Karena ibadah terikat oleh syarat-syarat formal dan materiil, maka agar ibadah diterima, kita tentu harus dapat memenuhi semua syarat yang ada. Syarat formal ibadah adalah syarat yang biasa dibahas dalam fiqh. Syarat formal ini relatif lebih mudah untuk dipenuhi karena tolak ukurnya sangat jelas, sebagaimana telah dijelaskan secara rinci dalam fiqh. Bila semua syarat yang ditentukan fiqh tersebut telah terpenuhi, belum berarti ibadah pasti diterima oleh Allah, karena masih ada syarat-syarat lain, yaitu syarat materiil. Syarat inilah yang lebih sulit dipenuhi sebab tolak ukurnya tidak jelas, mengingat sangat erat kaitannya dengan hati. Contoh dari syarat materiil diantaranya adalah ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, khusyu’, dan mempunyai dampak positif.
Untuk benar-benar ikhlas saja kita masih merasa kesulitan. Padahal, keikhlasan adalah syarat materiil pertama diterimanya ibadah. Kalau memang ibadah kita hanya untuk Allah, kenapa kita tetap saja merasa berkecil hati ketika orang memandang kita sebagai bukan orang alim? Kita pun masih seringkali bahagia dan merasa nyaman ketika orang-orang mengenal kesalehan kita, apalagi kalau sampai disebut ustadz. Seorang yang sudah benar-benar ikhlas tidak akan pernah bersikap demikian. Dia tidak memperdulikan apa kata orang mengenai dirinya, malah ia justru merasa senang jika kesalehannya tidak diketahui orang lain.
Dari semua syarat-syarat pelaksanaan ibadah, syarat yang terpenting sekaligus paling sulit pemenuhannya adalah syarat yang berkaitan dengan dampak dari ibadah, sebab dalam syarat inilah hakikat ibadah berada. Karena ibadah berangkat dari perasaan rendah diri, lemah, dan hina, maka dampak dari ibadah juga tidak boleh jauh dari itu. Inilah mengapa Allah berfirman: Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya, ketika melakukan shalat, kita harus benar-benar menginsyafi kehinaan, kelemahan, dan rendahnya kita dihadapan Tuhan, sehingga dari situ semestinya kita sangat tidak pantas lagi melawan larangan Yang Maha Perkasa dengan melakukan perbuatan keji dan munkar.
Demikianlah, Tuhan sebenarnya tidak begitu banyak menuntut dari kita. Dia hanya ingin agar kita selalu mengakui kelemahan dan kehinaan kita sebagai hamba. Itu saja, tidak lebih. Prosesi dari pengakuan kelemahan dan kehinaan ini kemudian dikenal dengan istilah ‘ibadah’. Sebaliknya, Tuhan sangat tidak suka jika kita sampai bersikap arogan, sombong, dan berbesar diri, baik terhadap-Nya maupun terhadap mahkluk-Nya.
Oleh karena itu, sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan kembali firman Allah dalam salah satu hadis qudsi: Kemuliaan adalah selendangKu dan kesombongan adalah sarungKu. Maka barang siapa yang mengambilnya dariKu, Aku pasti memberikan azab padanya. Karena itu, marilah kita tata kembali ibadah kita, agar ibadah yang kita lakukan jangan sampai membuat kita berbesar hati dan merasa mulia, sehingga malah menimbulkan murkaNya. Wallahu a’lamu bish shawab.
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar