Selasa, 19 Februari 2008

MUSLIMAH SEBAGAI IBU IDEAL
Oleh: Muhammad Lubabul Mubahitsin
(Naskah ini dibuat untuk saudara perempuan saya
yang mengikuti lomba pidato Muslimat NU)


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

Assalamu’alaikum wr. wb.
ÃáÍãÏ ááå æÇáÕáÇÉ æÇáÓáÇã Úáì ÃÔÑÝ ÎáÞ Çááå
ÓíÏäÇ æäÈíäÇ ãÍãÏ Õáì Çááå Úáíå æÇáå æÕÍÇÈÊå æãä æÇáÇå
æÈÚÏ
Hadirin yang terhormat,
Kalau kita membaca berita, maka kita akan tahu bahwa masyarakat Barat sekarang ini sedang mengalami kepanikan melihat runtuhnya kehidupan keluarga. Menurut Ratna Megawangi, seorang doktor muslimah lulusan Amerika, kehidupan keluarga di Barat sekarang sedang menghadapi kondisi kritis. Ini karena para ibu tidak mau menjalankan perannya sesuai kodrat wanita. Waktu mereka habis untuk bekerja, sehingga hubungan anak dengan orangtua makin jauh. Anak kekurangan kasih sayang serta pendidikan orang tua. Akibatnya, timbulah masalah sosial seperti kenakalan remaja, kriminalitas, obat-obatan terlarang (narkoba) dan seks bebas.
Di Singapura misalnya, kaum wanita lebih memilih karir dibanding menjadi ibu, sehingga anak menjadi barang langka. Pemerintah Singapura yang dihantui ketakutan akan kurangnya sumber daya manusia membuat kebijakan memberikan fasilitas tunjangan bagi pasangan yang akan menikah dan ibu-ibu yang melahirkan. Hal ini dapat dimengerti mengingat negara tanpa generasi muda yang berkualitas adalah ibarat pohon tanpa tunas, tinggal menunggu kematian saja.
Krisis keluarga yang dialami masyarakat Barat dan Singapura tersebut ternyata juga mulai merasuki kehidupan keluarga di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Wanita di perkotaan lebih memilih untuk menjadi ‘wanita karir’, sehingga banyak yang melupakan perannya sebagai istri dan ibu. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, maka bukan mustahil bila krisis keluarga yang sekarang mewabah di masyarakat Barat akan benar-benar terjadi pula di Indonesia.
Padahal, sebagaimana kita tahu, sebuah keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk masyarakat suatu negara. Masyarakat suatu negara tersusun dari berbagai keluarga, dan keluarga itulah yang akan mencetak generasi selanjutnya. Bila keluarganya saja sudah bermasalah, maka masyarakatnya juga pasti akan bermasalah. Demikian juga sebaliknya. Bila keluarganya damai dan harmonis, maka masyarakatnya juga pasti akan baik. Seandainya generasi bangsa dicetak oleh keluarga yang bobrok, maka bisa dibayangkan bagaimana negara ini ke depan, tentu akan bobrok juga.
Dalam keluarga, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar, terutama dalam mendidik dan menyiapkan anak sebagai generasi bangsa dan agama. Karenanya, tidak mengherankan jika kita sering mendengar ungkapan:
ÇáãÑÃÉ ÚãÇÏ ÇáÈáÇÏ¡ ÈåÇ ÊÍíì æÈåÇ ÊãæÊ
“Wanita adalah tiang negara-negara. Dengannya negara akan hidup, dan dengannya pula negara akan mati.”


Dalam bahasa Arab, ibu disebut sebagai “umm”, dan masyarakat disebut “ummat”. Keduanya ternyata bersumber dari akar kata yang sama, sehingga menggambarkan keterkaitan erat antara keduanya. Seorang “umm” (ibu) adalah orang yang melahirkan, mendidik, dan mempersiapkan generasi untuk “ummat” (masyarakat). Tidak berlebihan kiranya jika ibu kemudian kita katakan sebagai tiang masyarakat, negara, dan agama. Apabila tiang-tiang ini tidak mampu berfungsi dengan baik, maka tentu masyarakat juga akan rapuh dan rusak.
Karena itulah, dalam kesempatan kali ini saya akan membahas sebuah tema yang semoga bisa menjadi solusi bagi krisis keluarga yang sekarang ini mulai merambah masyarakat kita, yaitu tema “Muslimah Sebagai Ibu Teladan”. Pembahasan akan saya mulai dari sosok muslimah ideal menurut Islam, kemudian bagaimana sebenarnya istri dan ibu yang ideal menurut Islam. Apa yang saya bahas nanti semoga bisa menjadi acuan bagaimana kita seharusnya bersikap di tengah-tengah era modern seperti sekarang.

A. WANITA IDEAL DALAM ISLAM
Hadirin yang mulia,
Wanita yang ideal dalam pandangan Islam adalah wanita yang diistilahkan dengan “al-mar’ah al-shalihah”. Kata “shalih” (mu’annats: shalihah) adalah kebalikan dari kata “fasid” yang berarti “rusak/kerusakan”. Melihat akar katanya, “shalih” berarti “yang pantas dan sesuai” atau “tiadanya kerusakan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa arti dari “al-mar’ah al-shalihah” adalah: wanita yang senantiasa melakukan perbuatan yang pantas, sesuai, mendatangkan manfaat, dan jauh dari kerusakan. Untuk mengukur apakah suatu perbuatan itu dikatakan sesuai, pantas, dan bermanfaat atau tidak, yang harus menjadi standarnya tentu adalah ajaran-ajaran Islam.
Wanita ideal seperti inilah yang dibanggakan oleh Islam dan bisa menjadi penghias dunia ini, seperti tampak dalam hadis nabi:
ÇáÏøõäúíóÇ ãóÊóÇÚñ æóÎóíúÑõ ãóÊóÇÚö ÇáÏøõäúíóÇ ÇáãóÑúÃóÉõ ÇáÕøóÇáöÍóÉõ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah” (HR. Muslim)

B. WANITA DALAM KELUARGA
Dalam pandangan Islam, pria dan wanita memiliki derajat kemanusiaan yang sama. Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dan yang lain, termasuk antara pria dan wanita, kecuali dalam hal ketakwaan terhadap Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al-Hujurat: 13)

Pria dan wanita memang memiliki derajat kemanusiaan yang sama dalam pandangan Islam. Akan tetapi, Allah sejak awal menciptakan keduanya dengan fitrah yang berbeda. Pria biasanya lebih kuat, perkasa, terbuka, dan berani. Sementara wanita biasanya lebih halus, dan lembut. Keduanya diciptakan secara berbeda, tujuannya adalah agar satu sama lain saling merasa butuh dan kemudian saling melengkapi. Bukankah kehidupan ini tidak bisa dihadapi dengan kekuatan, keperkasaan, dan keberanian saja, tapi juga dibutuhkan kelembutan, perasaan yang halus, dan keindahan-keindahan?
Dalam pandangan Islam, keduanya harus bekerja sama satu sama lain, agar roda kehidupan bisa berjalan seimbang. Ini tampak dalam firman Allah:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan wanita, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Taubah: 71)

Selanjutnya, karena perbedaan fitrah fisik, karakter, dan sifat-sifat antara pria dan wanita, maka Islam memberikan peran yang berbeda kepada mereka. Dalam sebuah rumah tangga, pria diberi kewajiban memimpin dan melindungi rumah tangga, bekerja mencari nafkah, dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangga. Sementara kaum wanita diberi kewajiban untuk mengurus anak dan urusan-urusan lain yang ada dalam rumah tangga.
Rumah tangga adalah sebuah ‘organisasi kecil’ yang di dalamnya harus ada pemimpin, agar perjalanan rumah tangga tersebut bisa teratur dan stabil. Dengan mengingat sifat masing-masing, maka Islam telah menentukan bahwa kepemimpinan rumah tangga adalah di pihak suami, sebab suamilah yang memang secara fisik dan kejiwaan lebih pantas untuk tugas tersebut. Ayat tentang kepemimpinan dalam rumah tangga adalah firman Allah:
Kaum pria itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (pria) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa’: 34)

Berdasar ayat tersebut, Allah memberikan kelebihan peran berupa kepemimpinan kepada pria (suami) karena dua alasan. Pertama, adalah karena Allah telah memberikan kepada kaum pria beberapa kelebihan sifat yang biasanya tidak dimiliki oleh wanita, seperti kekuatan fisik dan kekuatan akal. Kedua, adalah karena pria memberikan nafkah kepada pihak wanita.
Wanita tidak diberi peran sebagai pemimpin rumah tangga, sebab dalam hadis nabi dikatakan bahwa wanita adalah makhluk yang ‘kurang akalnya’ ( äÇÞÕÇÊ ÚÞá ). Sekilas, kalau dibaca secara dangkal, hadis tersebut memang terkesan memojokkan dan merendahkan wanita. Tapi hadis tersebut sebenarnya hanyalah ‘kiasan’ saja. Menurut salah seorang ulama dari Syiria, yaitu Dr. Sa’id Ramadlan Al-Buthiy dalam kitabnya, “Ma’an Naas: Masyuraat wa Fataawa”, maksud ‘kurang akal’ dalam hadis nabi adalah: ‘perasaan wanita seringkali lebih dominan dari akalnya’, dan ini adalah sebuah kenyataan yang telah disepakati oleh para ahli ilmu kejiwaan (psikolog) modern.
Dalam kitabnya yang lain, “Al-Mar’ah: bayna Thughyaanin Nidzaam al-Gharbiy wa Lathaa’ifit Tasyrii’ Al-Rabbaniy”, ia menjelaskan:
Ãä ÇáãÑÃÉ ÃÞæì ÚÇØÝÉ ãä ÇáÑÌá æÃÖÚÝ ÊÝßíÑÇ ãäå¡ æÃä ÇáÑÌá ÃÞæì ÊÝßíÑÇ ãä ÇáãÑÃÉ æÃÖÚÝ ÚÇØÝÉ ãäåÇ
(Sesungguhnya wanita itu lebih kuat perasaannya dari pada pria, ia tapi lebih lemah pemikirannya dari pria. Sementara pria lebih kuat pemikirannya dari wanita, tapi ia lebih lemah perasaannya dibandingkan wanita).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam tidak pernah memandang rendah wanita. Masing-masing dari pria dan wanita diberi keistimewaan sendiri-sendiri, sehingga satu sama akan saling butuh dan melengkapi. Pria bisa saja lebih dalam hal pemikiran, tapi ia kurang dalam hal perasaan. Sementara wanita boleh saja kurang dalam hal pemikiran, tapi ia memiliki kelebihan dari pria dalam hal perasaan.
Kita tahu, bahwa tidak semua persoalan dapat dihadapi dengan pemikiran, tapi terkadang juga harus dengan perasaan. Ada kisah menarik dalam salah satu hadis Nabi yang mungkin bisa menjadi bahan perenungan bagi kita. Miswar bin Makhramah dan Marwan berkata: Rasulullah keluar pada waktu peristiwa Hudaibiyah ... Setelah mengurus masalah naskah perjanjian (damai dengan orang Quraisy) Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya: “Bangkitlah kalian untuk menyembelih kurban, kemudian bercukurlah.” Miswar berkata: “Demi Allah, ternyata seruan Rasulullah itu tidak diperhatikan oleh seorang pun dari mereka, sekalipun beliau sudah mengulang-ulang seruannya itu sampai tiga kali.” Dengan perasaan kesal, Rasulullah kemudian menemui istrinya, Ummu Salamah, untuk menceritakan masalah tersebut. Dengan sabar Ummu Salamah mengatakan: “Wahai Nabiyallah, maukah engkau menerima saranku? Sebaiknya engkau keluar sendirian tanpa perlu berbicara sepatah kata pun kepada seorang pun dari mereka. Engkau sembelih sendiri hewan kurbanmu, kemudian panggillah tukang cukur untuk mencukur rambutmu.”
Saran itu kemudian dituruti oleh Rasulullah. Beliau keluar tanpa berbicara sepatah kata pun dengan salah seorang dari mereka, sampai beliau melakukan apa yang disarankan Ummu Salamah. Beliau menyembelih hewan kurbannya, lalu memanggil tukang cukur untuk mencukur rambutnya. Melihat Rasulullah melakukan yang demikian, akhirnya para sahabat bergegas bangkit untuk menyembelih hewan kurbannya, kemudian mereka saling mencukur rambut satu sama lainnya ..." (HR Bukhari)
Lihatlah bagaimana Rasulullah sempat bingung menghadapi para sahabat yang tidak kunjung menaati perintahnya. Beliau tidak tahu sebabnya apa. Tapi Ummu Salamah, karena dia seorang wanita, maka ia memiliki ketajaman perasaan untuk merasakan apa yang ada di hati para sahabat ketika itu. Para sahabat ternyata sedang kecewa dan mengalami goncangan kejiwaan. Hal ini karena dalam perjanjian tersebut diatur bahwa umat Islam tidak boleh memasuki wilayah Ka’bah. Padahal mereka sudah terlanjur membawa hewan kurban yang dijanjikan akan mendapat keberkahan ‘haji-kecil’ sejak berangkat dari Madinah. Tapi sekarang, saat sudah dekat dengan Makkah, Nabi malah menyuruh mereka menunaikan ibadah mencukur rambut dan menyembelih hewan mereka.
Ummu Salamah sangat paham, bahwa sikap sahabat itu bukanlah karena mereka tidak mencintai Nabi dan mau membangkang. Mereka justru sangat mencintai Nabi, sehingga mereka sangat keberatan untuk menerima yang namanya kekalahan berupa tidak bolehnya umat Islam masuk wilayah Makkah. Karena Ummu Salamah memahami akar persoalan ini, maka ia bisa memberikan jalan keluar yang tepat. Jalan keluar tersebut adalah agar Nabi merubah perintahnya dengan cara yang lebih menyentuh perasaan mereka, yaitu dengan memberikan contoh secara langsung. Ternyata apa yang disarankan oleh Ummu Salamah bisa mengatasi persoalan. Ini adalah bukti bahwa terkadang ‘perasaan’ lebih bisa menyelesaikan persoalan.
Karena itulah, Islam menghendaki agar masing-masing karakter dan sifat ini selalu dipertahankan, sehingga satu sama lain bisa saling melengkapi dan kehidupan bisa seimbang. Dalam suatu hadis dikatakan:
áóÚóäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇáúãõÎóäøóËöíäó ãöäú ÇáÑøöÌóÇáö æóÇáúãõÊóÑóÌøöáóÇÊö ãöäú ÇáäøöÓóÇÁö
“Nabi SAW melaknat pria yang kebanci-bancian dan wanita yang kepria-priaan” (Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, Darimi)

Khusus untuk wanita, maka ia juga hendaknya mempertahankan sifat-sifat kewanitaannya ketika menjalankan tugasnya dalam rumah tangga. Mengenai tanggung jawab wanita dalam rumah tangga, hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi:
æÇáãÑÃÉ ÑÇÚíÉñ Úáì Ãåá ÈíÊ ÒæÌåÇ ææáÏöåö æåí ãÓÄæáÉ Úäåã
“Wanita memelihara ahli rumah suaminya dan anak suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka.”(HR. Bukhari)
Mengomentari hadis tersebut, Al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya, Fathul Baari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, mengatakan: “pemeliharaan wanita adalah (dalam bentuk) pengaturan urusan rumah, anak-anak, dan pembantu, serta memberikan nasihat pada suami dalam persoalan-persoalan tersebut.” Berikut ini adalah penjelasan tentang tanggung jawab wanita dalam keluarga menurut Islam.
1. SEBAGAI ISTRI
Secara umum, gambaran istri ideal yang dikehendaki Islam terangkum dalam itstilah “al-zaujah al-shaalihah”. Lalu apa itu “zaujah shalihah”? Syaikh ‘Ali Jum’ah Muhammad, seorang doktor Fiqih dan Ushul Fiqih yang juga menjabat sebagai Mufti Mesir, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “zaujah shalihah” adalah:
ÇáÒæÌÉ ÇáÊÞíÉ ÇáãØíÚÉ áÒæÌåÇ ÇáÑÇÖíÉ ÈãÇ ÞÓãå Çááå áåÇ ÇáÞÇÆãÉ ÈÃãæÑ ÇáÃãæãÉ æãÇ ßáÝåÇ Çááå Èå
Seorang istri yang bertakwa, patuh pada suami, rela dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya, yang melaksanakan urusan-urusan keibuan dan apa yang telah Allah bebankan kepadanya.

Seperti disebutkan di depan, Islam telah menetapkan suami sebagai kepala rumah tangga, sehingga istri harus patuh pada suami. Bahkan Rasulullah sampai bersabda:
áóæú ßõäúÊõ ÂãöÑÇð ÃÍóÏÇð Ãóäú íóÓúÌõÏó áÃÍóÏò áÃóãóÑúÊõ ÇáäøöÓóÇÁó Ãóäú íóÓúÌõÏúäó áÃóÒúæóÇÌöåöäøó áöãóÇ ÌóÚóáó Çááå áóåõãú Úóáóíúåöäøó ãöäó ÇáÍóÞøö
Seandainya aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, tentu akan kuperintahkan wanita agar bersujud pada suaminya, karena besarnya hak suami atas istri. (Tirmidzi, Al-Hakim, Abu Dawud, Ahmad).

Hanya saja, yang perlu diingat, Islam menempatkan istri harus patuh pada suami bukan berarti Islam menindas kaum wanita. Sebab, kalau mau jujur, Islam sesungguhnya sangat memanjakan dan memuliakan istri. Al-Syirazi dan Imam Nawawi menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian dan yang sejenisnya bukanlah merupakan kewajiban istri. Ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya sukarela, sehingga apabila istri tidak mau melaksanakannya maka ia tidak berdosa. Bahkan Imam Malik dan Imam Syafi'i mewajibkan seorang suami menyediakan pelayan bagi istrinya apabila ia mampu.
Tapi ketentuan tersebut hendaknya jangan disalahgunakan. Meskipun istri tidak wajib memasak, mencuci, menyetrika baju, dan yang sejenisnya, tapi tidak ada jeleknya kalau istri melaksanakan tugas seperti itu, sebagai wujud kecintaannya terhadap suami dan anak-anak. Rumah tangga hendaknya dibangun atas prinsip kerjasama dalam hal tugas dan tanggung jawab, sehingga tidak benar jika masing-masing pihak bersikap egois dan ingin menang sendiri.
Akan lebih baik jika kita mencontoh rumah tangga Rasulullah SAW yang sangat harmonis dan mesra. Ketika ditanya tentang sifat Rasulullah di rumah, ‘Aisyah mengomentari: “Beliau tidak pernah memukul siapa pun, baik itu istri-istrinya maupun pembantunya”. Ketika diajukan pertanyaan apa saja yang dilakukan di rumah, ‘Aisyah menjelaskan: “Beliau selalu siap membantu istrinya. Jika tiba waktu shalat, beliau langsung beranjak untuk menunaikan shalat tersebut. Rasul sering menjahit sendiri pakaiannya yang sobek atau sandalnya, mengisi ember, memeras susu kambing, dan melayani dirinya sendiri bila mau makan. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukannya pada waktu-waktu tertentu, terkadang dikerjakannya sendiri atau bersama istrinya, meskipun dia punya pembantu.”
Lihatlah, Rasulullah saja sangat cekatan dalam menangani pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan selalu siap membantu istrinya. Apalagi kita sebagai para istri, hendaknya juga selalu siap untuk membantu suami kita di rumah. Kerjasama dan saling bantu-membantu ini tentu akan menjadi perekat hubungan rumah tangga, sehingga rumah tangga lebih harmonis dan mesra.
Kemudian, sebagai istri juga kita hendaknya selalu bisa menyenangkan hati suami. Gambaran suami-istri yang ideal dalam Islam bukanlah yang selalu basah oleh air wudlu, shalat sunat, puasa sunat, ataupun berdzikir setiap waktu, sampai melupakan kebahagiaan pasangannya. Lihatlah betapa harmonis hubungan Rasulullah dan istrinya. Pada saat mereka harus beribadah, mereka akan beribadah berjama’ah. Tapi mereka juga tidak pernah meninggalkan senda gurau, bermesra-mesraan, dan bahkan bercumbu. Cerita-cerita kemesraan Rasulullah dan istrinya bisa didapatkan dari berbagai kitab hadis.
‘Aisyah bercerita: Pada suatu hari raya orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi saw. sendiri yang berkata padaku: “Apakah aku ingin melihatnya”' Aku jawab: “Ya.” Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata: “Teruskan main kalian, wahai Bani Arfidah (julukan orang-orang Habsyah)!” Hingga ketika aku sudah merasa bosan beliau bertanya padaku: “Apakah kamu sudah puas?” Aku jawab: “Ya.” Beliau berkata: “Kalau begitu, pergilah (untuk pulang)." (HR. Bukhari dan Muslim).
Perhatikanlah kemesraan Nabi dan ‘Aisyah saat menonton pertunjukan. ‘Aisyah berada di belakang tubuh Nabi, dan pipi mereka saling menempel, kemudian mereka melihat pertunjukan secara bersama-sama sampai ‘Aisyah merasa puas. Dalam hadis lain, kita juga bisa melihat percakapan mesra antara Nabi dan ‘Aisyah. Rasulullah pernah bersabda pada ‘Aisyah: “Aku tahu, kapan saatnya kamu senang kepadaku, dan kapan saatnya tidak senang.” “Bagaimana engkau bisa tahu?”, tanya ‘Aisyah. “Jika kamu senang kepadaku, kamu akan mengatakan ‘Demi Tuhan Muhammad’. Tapi jika kamu sedang tidak senang, kamu akan mengatakan ‘Demi Tuhan Ibrahim’”, jawab Nabi. ‘Aisyah kemudian menimpalinya dengan manja, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku tidak senang kepadamu?”.
Cermatilah betapa mesra hubungan mereka. Bahkan dalam hadis-hadis lain, mereka sering terlihat kekanak-kanakan. Rasulullah pernah berlomba lari dengan ‘Aisyah, bahkan mereka sering berebut gayung dan siram-siraman ketika sedang mandi. Inilah contoh istri yang sangat ideal. ‘Aisyah adalah istri nabi yang paling keras dan pencemburu di antara yang lain, tapi ia juga yang paling manja dan mesra dengan Rasul. Di sisi lain kita bisa melihat istri Rasul yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, yang terkenal sabar, cerdas, dan sangat bijaksana.
Mereka tahu kapan harus beribadah, serius bekerja, dan kapan pula harus bergurau serta bermesraan. Sehingga salah besar kiranya, jika istri yang ideal dalam Islam digambarkan sebagai istri yang selalu serius, bermuka masam, dan beribadah terus sampai melupakan kebahagiaan suami. Dengan melihat secara dekat bagaimana kehidupan para istri Rasulullah, dapat disimpulkan bahwa istri yang ideal dalam pandangan Islam adalah istri yang patuh pada suami, selalu siap dan rela meringankan pekerjaan suami, dan senantiasa bisa menghibur hati suami. Seorang istri terkadang harus cekatan bekerja, tapi terkadang harus lembut, manja, dan bisa bercanda. Dengan demikian, pekerjaan dan persoalan rumah tangga terasa ringan, di samping rumah tangga juga akan dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan.
Sebenarnya, kalau saja seorang istri bisa bersikap dengan benar sesuai petunjuk Islam, maka tanpa perlu amal ibadah yang lain-lain pun, ia sudah cukup modal untuk masuk surga. Dalam suatu hadis dikatakan:
ÅÐÇ ÕóáøóÊö ÇáãóÑúÃóÉõ ÎóãúÓóåÇ¡ æÕóÇãóÊú ÔóåúÑóåÇ¡ æÍóÕøóäóÊú ÝóÑúÌóåóÇ¡ æÃØóÇÚóÊú ÈóÚúáóåóÇ¡ ÏóÎóáóÊú ãöäú Ãíøö ÃÈæÇÈö ÇáÌóäøóÉö ÔóÇÁóÊú
“Jika seorang wanita melaksanakan sholat lima waktu, berpuasa Ramadlan, menjaga kemaluannya, dan patuh pada suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia sukai” (HR. Ibn Hibban, Ahmad, dan Thabarani)
2. SEBAGAI IBU BAGI ANAK-ANAK
Selain sebagai istri bagi suaminya, seorang wanita juga harus bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ini adalah tugas yang sangat berat dan penting. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan tugas ini, akan menjadi penentu berhasil tidaknya pembentukan generasi bangsa yang berkualitas. Dalam Islam, ibu dianggap sebagai “al-madrasah al-ula” (sekolah yang pertama) bagi anak-anaknya. Karena dianggap sebagai orang yang paling berperan dalam mencetak generasi di masa depan, Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap peran seorang ibu, mulai dari bagaimana ia harus memperlakukan janin ketika masih dalam kandungan, sampai bagiamana ia harus mendidik ketika anaknya sudah lahir.
Ketika janin masih dalam kandungan, Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Hal ini karena kondisi fisik dan kejiwaan dari sang ibu akan sangat berpengaruh bagi janin. Demikian juga ketika bayi sudah lahir dan ibu harus menyusuinya, Islam juga masih membebaskan seorang ibu dari kewajiban puasa. Rasulullah bersabda:
Åäøó Çááøóåó æóÖóÚó Úóäö ÇáúãõÓóÇÝöÑö äöÕúÝó ÇáÕøóáÇóÉö æóÇáÕøóæúãó æóÑóÎøóÕó áöáúÍõÈúáóì æóÇáúãõÑúÖöÚö
"Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita hamil dan wanita menyusui" (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i. Al-Albani mengatakan dalam Takhrijul Misykat: "Isnad hadits inijayyid” )

Dengan diberikannya keringanan bagi seorang ibu yang hamil dan menyusui, ini berarti bahwa seorang ibu harus memperhatikan gizi untuk anak-anaknya sejak dalam kandungan sampai sesudah lahir. Penafsiran hadis ini masih dapat diperluas, sehingga seorang ibu harus memperhatikan menu makanan keluarga. Ibu harus cermat dalam memilih menu bagi keluarganya, agar mereka semua bisa sehat. Hanya saja, menu tersebut tidak harus menu yang mahal-mahal, yang penting asal mengandung gizi yang baik bagi keluarganya.
Setelah bayi lahir, maka ibu akan menunjukkan peranannya secara lebih aktif. Pertama, ia akan menyusui bayinya tersebut sampai bayinya berkembang dan siap untuk disapih. Setelah itu bayi menjelma menjadi anak kecil yang mulai aktif beraktifitas, sehingga peran ibu untuk membimbingnya mutlak diperlukan. Dalam kitab Al-Mu’atstsiraat al-Salbiyyah, ‘Aisyah ‘Abdurrahman al-Jalal, salah seorang ahli pendidikan Islam, membagi masa perkembangan anak menjadi beberapa bagian.
Pertama, adalah masa enam tahun pertama. Masa ini merupakan masa yang amat kritis dan paling penting, sebab mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadi anak. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengan nyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. Dalam periode ini ibu harus selalu membimbingnya dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan kesabaran.
Agar anaknya nanti bisa menjadi anak yang shalih dan shalihah, di antara hal-hal terpenting yang bisa dilakukan adalah:
- Dibiasakan untuk ikut melakukan kegiatan yang islami, seperti ikut melihat orang tua melakukan shalat.
- Dibiasakan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak nantinya punya kesadaran menutup aurat dan malu membukanya. Banyaknya anak-anak muda sekarang, terutama wanita, yang suka mengumbar aurat dan kehilangan rasa malu, kemungkinan besar merupakan akibat mereka tidak pernah dibiasakan berpakaian sopan sejak masih kecil.
- Dibiasakan membaca bismillah ketika akan makan dan sederhana dalam makan dan minum, serta dijauhkan dari sikap rakus.
- Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit. Ini penting agar ia nanti bisa menjadi orang bisa menghargai jasa dan kebaikan orang lain.
- Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik, agar nantinya bisa bertutur kata dengan santun dan baik pula.
- Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri. Banyaknya pencuri dan koruptor di negeri ini, bukan tidak mungkin disebabkan karena memang sejak kecil mereka tidak diajarkan dan dibiasakan untuk menghormati hak miliki orang lain, termasuk hak orang banyak.
Kedua, adalah masa enam tahun sampai menginjak remaja. Pada masa ini anak sudah lebih siap untuk belajar secara teratur dan pikirannya sudah mulai bisa mencerna dengan baik. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Masa ini termasuk masa yang paling penting dalam pendidikan dan pengarahan anak. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan, sehingga ia bisa diarahkan secara langsung.
Pada masa ini, ibu harus mengajarkanan anaknya untuk mengenal Allah dengan cara sederhana, tentang sebagian hukum halal-haram, menutup aurat secara lebih pantas, pengenalan tokoh-tokoh agung dalam Islam, etika umum, rasa percaya diri dan tanggung jawab. Bacaan dan praktek shalat serta belajar Qur’an, juga harus sudah mulai diajarkan pada masa ini. Sebab, pelajaran yang diberikan ibu pada masa-masa ini akan tertanam sangat kuat dalam diri sang anak nantinya.
Ketiga, adalah ketika anak mulai memasuki masa remaja. Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras. Masa ini merupakan pintu gerbang memasuki masa baligh. Karena itu, seorang ibu sebagai pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah remaja. Anak tidak boleh didikte lagi, tapi ia harus diarahkan secara benar. Ibu harus mengajarkan kepada anak tentang hukum-hukum akil baligh dan menceritakan kepadanya kisah dan pengalaman kehidupan yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram. Ibu juga harus berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktu anaknya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik untuk anak-anaknya, karena teman akan memberikan pengaruh yang besar bagi jalan hidup sang anak.
Ibu memang memainkan peran yang sangat penting dalam pendidikan anak. Tugas sebagai ibu dalam mendidik anak ini bukanlah tugas yang tanpa resiko. Kalau salah mengisi, maka akibatnya akan fatal, dan ibu pun akan ikut menanggung dosa karena kesalahannya dalam mendidik. Sebagaimana diketahui, dalam hadis dikatakan bahwa:
ßõáøõ ãóæúáõæÏò íõæáóÏõ Úóáóì ÇáÝöØúÑóÉö¡ ÝóÃóÈóæóÇåõ íõåóæøöÏóÇäöåö æóíõäóÕøöÑóÇäöåö æóíõãóÌøöÓóÇäöåö
“Setiap anak lahir dalam kondisi suci. Orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi”. (HR. Ahmad, Ibn Hibban, dan Al-Thabarani)

Jelaslah bahwa orang tua, terutama ibu sebagai orang terdekat dari anaknya semasa kecil, bisa membuat seorang anak menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Kalau agama saja bisa diarahkan oleh orang tua, apalagi hanya sekedar sifat dan perilaku. Apakah si anak nantinya akan menjadi pelajar atau berandal, baik atau jahat, sholih atau thalih, semua itu tidak lepas dari peran pendidikan orang tua, khususnya ibu. Dalam hal tentu akan berlaku pula hadis yang menyatakan:
ãä Óóäøó ÓõäøóÉð ÍóÓóäóÉð ÝóÚõãöáó ÈöåóÇ ßóÇäó áóåõ ÃóÌúÑõåóÇ¡ æóãöËúáõ ÃóÌúÑö ãóäú Úóãöáó ÈöåóÇ áÇó íóäúÞõÕõ ãöäú ÃõÌõæÑöåöãú ÔóíúÆÇð. æóãóäú Óóäøó ÓõäøóÉð ÓóíøöÆóÉð ÝóÚõãöáó ÈöåóÇ ßóÇäó Úóáóíúåö æöÒúÑõåóÇ æóæöÒúÑõ ãóäú Úóãöáó ÈöåóÇ áÇó íóäúÞõÕõ ãöäú ÃóæúÒóÇÑöåöãú ÔóíúÆÇ
“Barangsiapa yang mengajarkan perilaku baik, kemudian dilaksanakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala dari orang yang mengerjakan tersebut. Dan barangsiapa yang mengajarkan perilaku jelek, kemudian dilaksanakan, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengerjakan tersebut”. (HR. Muslim dan Nasa’i).

Karena itulah, ibu harus sangat cermat dan hati-hati dalam mendidik anaknya, sebab apa yang ia tanamkan akan terus tertanam sepanjang hidup sang anak. Cara mendidik juga harus dipelajari dengan baik. Sebab kalau cara dalam mendidik anak sampai salah, maka dapat berakibat fatal bagi kehidupan sang anak. Di antara cara yang salah adalah terlalu keras dan kasar dalam mendidik anak. Imam ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
ÇáÇÝÑÇØ Ýí ÇáãáÇãÉ íÔÈø äíÑÇä ÇááÌÇÌ
“Berlebihan dalam mengecam (anak) akan membangkitkan semangatnya untuk menentang.”

Seorang anak akan lebih baik jika dididik dalam buaian kasih sayang. Rasulullah sendiri adalah sosok yang sangat menyayangi anak, dan selalu menganjurkan umatnya untuk menyayangi anak-anak. Dalam sebuah hadis Shahih Bukhari diceritakan:
ÞÈøóáó ÑÓæáõ Çááøå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÇáÍÓäó Èä Úáíøò æÚäÏóåõ ÇáÃÞÑÚõ Èä ÍÇÈÓ ÇáÊãíãíøõ ÌÇáÓÇð¡ ÝÞÇá ÇáÃÞÑÚõ: Åäøó áí ÚÔÑÉð ãä ÇáæóáóÏö ãÇ ÞÈøóáÊõ ãäåã ÃÍÏÇð. ÝäÙÑ Åáíåö ÑÓæáõ Çááøå Õáì Çááå Úáíå æÓáã Ëã ÞÇá: ãä áÇ íóÑÍãõ áÇ íõÑÍóã»
“Rasulullah mencium Hasan bin ‘Ali, dan di samping beliau ada sahabat Aqra’ bin Habis Al-Tamimi yang sedang duduk. Lalu Aqra’ berkata pada Rasul: “Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.” Kemudian Rasulullah memandangnya dan bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi”.

Kalau terhadap pria saja Rasulullah sangat menekankan agar mereka bersikap penuh kasih sayang pada anak-anaknya, apalagi terhadap para wanita, tentu penekanan itu akan lebih penting lagi. Inilah cara mendidik anak yang dianjurkan dalam Islam. Tapi bukan berarti bahwa anak harus disayang terus, sebab terkadang mereka juga harus disikapi secara sedikit keras dan tegas, sepanjang tidak sampai melukai sang anak.
C. MUSLIMAH: ANTARA TUGAS DALAM RUMAH DAN DI LUAR RUMAH
Hadirin yang berbahagia,
Seperti telah dikemukakan, Allah menciptakan pria dan wanita menurut tabiat, karakter, dan sifat masing-masing. Karena perbedaan antara kedua jenis inilah, maka Islam menentukan peran yang berbeda. Masing-masing peran tersebut melahirkan hak, tanggung jawab, dan konsekuensi yang berbeda. Islam menentukan bahwa yang berkewajiban mencari nafkah adalah suami, dan istri dibebani untuk mengurusi urusan ‘dalam negeri’ sebuah rumah tangga. Dengan demikian, tugas pokok seorang istri adalah di wilayah rumah tangganya. Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al-Ahzab: 33)

Ini adalah hukum dasarnya, yang berarti bahwa tugas utama wanita adalah di dalam rumah. Tapi bukan berarti wanita (istri) tidak boleh memainkan peran di luar rumah, sebab wanita boleh saja memainkan peran di luar rumah, asalkan tidak melupakan tugas utamanya dan bisa mematuhi rambu-rambu yang diberikan Islam. Batasannya adalah: (1) sepanjang tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga tidak terbengkalai, dan (2) sepanjang ia mampu memelihara diri dan kehormatannya di luar rumah.
Meskipun kewajiban mencari nafkah ada di pihak suami, kita ternyata bisa melihat fakta sejarah bahwa para shahabat wanita seringkali membantu suaminya dalam mencari rizqi. Kita bisa melihat beberapa shahabiyah (sahabat wanita) yang menjadi ‘wanita karir’. Pertama adalah Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah, yang cukup menonjol dalam dunia perdagangan, di samping ada pula Qilat Ummi Bani Anmar. Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja, bahkan sampai menyamak kulit. Istri ‘Abdullah bin Mas’ud, yaitu Raithah, juga sangat aktif bekerja karena suami dan anaknya pada saat itu tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
Di masa Nabi, banyak pula shahabiyah yang terlihat cukup aktif ikut mengatasi masalah umat Islam. Ummu Salamah (istri nabi), Shafiyah, Layla al-Ghaffariyyah, Ummu Sinam al-Aslamiyyah, dan lain-lain, terlibat aktif membantu kaum muslimin dalam peperangan. Dalam jabatan umum, semasa Khulafa’ur Rasyidin, Khalifah ‘Umar pernah menugaskan wanita yang pandai menulis untuk menangani pasar di kota Madinah. Sangat banyak kisah-kisah para shahabiyah yang berbaur dan bekerjasama dengan para sahabat (pria) demi menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial. Mereka dengan tanpa sungkan dan tetap memelihara kehormatan masing-masing, secara bersama-sama gotong-royong memikirkan dan mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Di era sekarang, muslimah sebagai ibu yang ideal adalah muslimah yang mampu menjalankan tugas keluarga dengan baik, tapi tidak melupakan kepedulian sosial. Bagaimanapun, mereka juga harus ikut memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya. Dalam hadis Nabi dikatakan:
ãä áã íåÊã ÈÃãÑ ÇáãÓáãíä ÝáíÓ ãäåã
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan orang-orang Islam, maka bukan termasuk bagian darinya”

Sepeninggal Rasulullah, ‘Aisyah, meskipun beliau wanita, ternyata juga sangat perhatian dengan masalah keadilan yang ada di sekitarnya. Ketika melihat Khalifah ‘Ali tidak kunjung mengadili pembunuh Khalifah ‘Utsman, maka ‘Aisyah tidak bisa tinggal diam, sehingga ia sampai membentuk dan menjadi panglima gerakan melawan ‘Utsman.
Yang patut dicatat, meskipun para wanita tersebut aktif di luar rumah, mereka tidak pernah mengabaikan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang berkewajiban mengurusi urusan rumah tangga dan mendidik anaknya. Sebab inilah tugas utama seorang wanita sebagai istri dan ibu menurut pandangan Islam. Apa yang terjadi masa Nabi dan beberapa masa sesudahnya adalah gambaran utuh tentang bagaimana seorang muslimat bisa menjalankan perannya sebagai ibu dan bahkan peran sosial di luar rumah. Lalu bagaimanakah agar bisa menjadi muslimah ideal seperti itu?
Untuk mencapai gambaran ideal seperti itu, tentu pertama dibutuhkan ilmu yang mencukupi, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Kita tahu, bahwa perintah-perintah menuntut ilmu dalam Islam tertuju baik untuk pria ataupun wanita. Persoalan terbesar yang kita hadapi sekarang ini adalah banyaknya pandangan yang memenjarakan wanita sedemikian rupa dan mengatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan wanita adalah haram. Mereka dilarang terlibat ke tengah masyarakat dan dilarang menuntut ilmu karena alasan akan bercampur dengan kaum pria. Ini betul-betul aneh, sebab sangat bertentangan dengan praktek yang terjadi semasa Rasul dan di dunia Islam masa lalu.
Padahal sejak masa Rasulullah, para wanita Islam memang sudah memiliki semangat belajar tinggi dan terlihat sangat kritis. Di masa Rasulullah kaum wanita pernah menuntut kesempatan belajar pada Rasulullah. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Abu Sa'id berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki bisa berangkat mendengarkan ucapanmu (menurut riwayat lain: Kaum wanita berkata kepada Nabi: "Kaum lelaki mengalahkan kami untuk dapat bersamamu") Karena itu sediakanlah olehmu satu hari untuk kami yang pada hari itu kami datang menemuimu sehingga engkau bisa mengajarkan kepada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.” Rasulullah SAW menjawab: “Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini.” Mereka pun berkumpul. Maka datanglah Rasulullah ke tempat mereka, lalu mengajarkan kepada mereka apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.
Dalam hadis-hadis lain, kita bisa melihat bagaimana para wanita datang ke rumah Rasulullah untuk bertanya secara langsung tentang masalah yang mereka hadapi. Bahkan pernah ketika Rasulullah sedang naik unta, ada wanita muda yang mencegatnya, kemudian bertanya bagaimana hukumnya menghajikan orang tua: apakah boleh atau tidak. Dalam Shahih Muslim kita juga bisa membaca kisah bagaimana Asma binti Syakl, tanpa malu-malu bertanya langsung pada Rasulullah tentang mandi besar setelah haid. Karena sangat ingin tahu, Asma binti Syakl bahkan bertanya dengan sangat rinci, sehingga Rasulullah sampai merasa malu untuk menjawabnya.
Sikap kritis para wanita di zaman Rasul juga tampak dalam beberapa hadis. Misalnya, adalah apa yang diceritakan dalam Sunan al-Mujtaba (Nasa’i) dan Ibn Majah, bahwa ada seorang gadis yang menemui ‘Aisyah, kemudian berkata: “Ayahku telah menikahkanku dengan anak saudaranya, agar dengan begitu martabatnya terangkat, dan saya merasa keberatan”. ‘Aisyah berkata: “Duduklah dulu, sampai Rasulullah datang.” Kemudian datanglah Rasulullah dan gadis itu pun menceritakannya pada Rasulullah. Rasulullah lalu memerintahkannya kepada bapak gadis tersebut, dan ketika bapak gadis tersebut datang, Rasulullah menyerahkan urusan tersebut kepada si gadis. Gadis tersebut kemudian mengatakan: “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku setuju dengan apa yang dilakukan bapakku. Tapi aku cuma ingin memberitahukan kepada para wanita, bahwa bapak tidak memiliki sedikitpun hak dalam masalah ini (memaksakan jodoh seorang gadis).”
Lihatlah bagaimana kritisnya gadis tersebut. Sebagai seorang wanita, ia tidak mau begitu saja melihat kaumnya sekedar nrimo ing pandum dan dipaksa-paksa oleh ayahnya. Meskipun ia sebenarnya setuju dengan pernikahan tersebut, tapi ia menyempatkan diri mengadu pada Rasulullah, hanya dengan tujuan agar gadis muslimah lain tahu bahwa mereka berhak menolak ketika dijodohkan. Hadis inilah yang kemudian menjadi dasar bagi mazhab Hanafiyyah, Hadawiyyah, jumhur fuqoha’ shahabat, dan jumhur fuqoha’ tabi’in, yang mengatakan bahwa seorang gadis tidak boleh dikawinkan secara paksa, dan dia punya hak untuk menolak bila dijodohkan. Karena pernyataan terakhir wanita tadi itu begitu lantang dan jelas, maka tampak jelas pula betapa lemahnya pendapat ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah yang membolehkan bapak menikahkan anak gadisnya secara paksa.
Melihat kenyataan sifat-sifat muslimah pada masa Nabi yang seperti itu, tidaklah mengherankan jika kemudian lahir wanita-wanita cemerlang pada masa-masa awal Islam. ‘Aisyah dikenal sebagai orang yang cerdas dan sangat dalam pengetahuannya. Ia termasuk dalam “al-muktsirun fi riwayatil hadis”, orang-orang yang paling banyak meriwayatkan hadis dan ahli fikih. Al-Sayyidah Sakinah, putri Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, juga dikenal sebagai seorang yang cerdas dan pintar.
Pada generasi selanjutnya, kita tahu bahwa Imam Syafi’i bahkan memiliki guru wanita yang bernama Al-Syaikhah Syuhrah, yang bergelar Fakhr al-Nisa’ (kebanggaan wanita). Bukan hanya itu, Abu Hayyan bahkan mencatat tiga orang guru wanita dari Imam Syafi’I yang lain, yaitu: (1) Mu’nisat al-Ayyubiyyah, (2) Syamiyat Attaimiyah, dan (3) Zaynab (putri sejarawan ‘Abdul Lathif al-Baghdadiy).
Tapi fakta-fakta sejarah seperti itu seolah hilang dan disembunyikan. Yang selalu disampaikan adalah bagaimana wanita harus menutup diri, menghindari pertemuan dengan kaum pria, dan bahkan untuk keperluan belajar pun mereka tetap dikekang sedemikian ketat. Hukum tentang wanita seringkali disampaikan dengan terlalu melebih-lebihkan. Mereka tidak memiliki kebebasan sama sekali, sehingga muslimat sekarang seolah akan dibuat lebih suci dari istri-istri Nabi yang bergelar Ummahatul Mu’minin (ibu dari orang-orang Islam). Bukankah ini sangat tidak masuk akal? Padahal, sebagaimana kita lihat dalam berbagai hadis shahih, di zaman Rasul wanita begitu bebasnya untuk belajar, protes, bermusyawarah dan bahkan berdebat dengan kaum pria, dengan tetap menjaga kehormatan tentunya.
Karena adanya kesalahan dan kehati-hatian yang berlebihan dalam masalah hukum ini, maka muslimah yang dulunya memiliki kebebasan, penuh tanggung jawab, punya semangat belajar tinggi, kritis, dan cerdas dalam menanggapi persoalan umat, kemudian beralih menjadi sosok muslimah yang terbelakang, terpenjara, hanya nrimo ing pandum, dan tidak mau tahu dengan masalah sosial.
Ketika muslimah sebagai generasi pencetak umatnya saja sudah begini, maka tentu bisa dibayangkan bagaimana generasi umat yang lahir darinya. Maka tidak mengherankan, jika kemudian umat Islam yang dulunya menguasai peradaban dunia, kini menjadi umat yang selalu tertinggal dan terbelakang. Orang-orang Islam dahulu bisa menguasai peradaban dunia, karena mereka hebat. Lalu kenapa mereka bisa hebat? Jawabannya adalah karena mereka lahir dan dididik oleh perempuan-perempuan hebat. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kenapa orang-orang Islam lemah dan lembek? Siapa yang salah?
Karena itu, keadaan ini harus dirubah. Kita harus mencontoh lagi bagaimana para muslimah di masa Nabi dan masa awal Islam. Mereka tidak pernah melupakan tugas sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya, dan mereka juga sangat giat belajar serta tanpa rasa sungkan mau ikut bersama-sama memikirkan persoalan umat Islam. Hanya saja, agar tidak terjadi fitnah, setiap muslimah harus tetap menjaga batas-batas yang telah ditentukan Islam, seperti menjaga pandangan, menutup aurat, dan bersikap santun tapi tegas.
Hadirin yang terhormat,
Demikianlah penjelasan tentang peran seorang muslimah yang sejati dan ideal, dengan mengikuti Sunnah Nabi dan praktek yang dilakukan oleh generasi salaf. Semuanya berjalan seimbang dan tetap pada garis yang telah ditentukan Islam. Muslimah yang sejati harus bisa membekali diri dengan ilmu agama dan bahakn kalau perlu ilmu umum. Ketika dia sudah memasuki dunia rumah tangga, maka ia harus bisa menjalankan peran sebagai istri yang baik maupun ibu bagi anak-anaknya. Ini adalah tugas pokok seorang muslimah sebagai ibu. Tugas ini hendaknya jangan sampai dilupakan, agar krisis keluarga yang terjadi di Barat tidak terjadi juga di Indonesia.
Kemudian apabila ia masih memiliki waktu dan kesempatan untuk berkiprah di tengah masyarakat, maka ia boleh-boleh saja untuk terlibat aktif dalam mengatasi masalah sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mengabaikan keluarganya yang merupakan tugas pokok. Islam tidak pernah mengekang wanita di luar rumah, tapi Islam juga tidak memperbolehkan seorang muslimah bersikap terlalu bebas dengan lawan jenisnya. Di samping Islam memberikan kebebasan pada wanita, Islam juga telah membuatkan aturan untuknya, seperti aturan tentang aurat, menjaga kehormatan, dan bersikap santun.
Semoga dengan kembalinya kesadaran kita akan betapa besar tugas seorang muslimah sebagai ibu, kita bisa mengantisipasi krisis keluarga yang sekarang ini sudah mulai merasuki masyarakat Indonesia. Kita juga bisa mempersiapkan generasi bangsa dan agama yang lebih baik, sehingga nantinya agama dan bangsa kita bisa kembali berjaya di tengah dunia yang kian liar dan tidak beraturan ini.
Demikian, yang bisa sampaikan, semoga bisa bermanfaat, dan kurang lebihnya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Tidak ada komentar: