Senin, 18 Februari 2008

TINJUAN ATAS AKSI PERUSAKAN OLEH FPI

ANALISIS KRIMINOLOGI ATAS AKSI BRUTAL
LASKAR ‘FRONT PEMBELA ISLAM (FPI)’ TERHADAP
BEBERAPA TEMPAT HIBURAN MALAM DI DKI JAKARTA

BY: M. Lubab al-Mubahitsin

Pada bulan Ramadlan tahun 2004, beberapa orang yang menamakan diri mereka sebagai Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi sweeping yang diikuti dengan tindakan brutal dan perusakan di beberapa tempat hiburan di ibukota. Alasannya, tempat hiburan tersebut tidak menghormati kesucian bulan Ramadlan karena buka secara penuh (full time). Padahal, Pemerintah Daerah DKI Jakarta sendiri telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang Pariwisata dan SK Gubernur No. 98 Tahun 2004 tentang Waktu Penyelenggaraan Industri Pariwisata di DKI, yang diantara isinya adalah mengatur bahwa semua bar dan tempat hiburan buka dari pukul 19.00 sampai 03.00 dini hari.
Menurut Ketua Badan Investigasi FPI, Muhammad Allawi Usman, FPI merasa kecewa terhadap beberapa tempat hiburan malam dibiarkan buka di bulan Ramadlan. Mereka sudah cukup bersabar selama 11 bulan melihat banyaknya pelanggaran yang dibiarkan oleh aparat. Dalam aksinya tersebut, mereka -- sesuai pengakuan mereka -- sebenarnya tidak berniat melakukan aksi kekerasan, hanya safari dan sweeping saja. Tapi di beberapa tempat, seperti di Kemang, mereka diserang oleh sekelompok preman, dan beberapa penyelenggara tempat hiburan malam ternyata malah menyepelekan mereka. Akhirnya, mereka pun mengamuk dan melakukan perusakan di beberapa tempat yang dianggap menjadi sarang maksiat.
Kasus ini sekarang telah ditangani oleh Kepolisian. Beberapa oknum FPI yang melakukan perusakan tersebut telah ditindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tapi yang sangat disayangkan, para preman yang melakukan aksi penyerangan pada FPI ternyata tidak ikut ditindak.
Peristiwa seperti ini sebenarnya telah terjadi berulang-ulang, hampir setiap Ramadlan. Dan anehnya, mereka yang dulunya pernah dipenjara gara-gara melakukan aksi seperti ini pada Ramadlan tahun sebelumnya, sama sekali tidak menyesal, dan kembal melakukannya pada tahun ini. “Anggaplah ini sebagai cobaan dan rintangan dalam amar makruf nahi munkar, dan kami akan tetap melakukannya lagi selama aparat tidak mau menindak tegas mereka yang telah merusak moral masyarakat,” begitu kata mereka.
Kasus aksi FPI tersebut dapat didekati dengan teori Anomi yang dikemukakan oleh Durkheim. Anomi, menurut Soerjono Soekanto, berarti keadaan tidak adanya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan tingkah laku serta tata tertib, atau keadaan dimana terjadi konflik kaidah-kaidah. Menurut Romli Atmasasmita, teori Anomi yang dikemukakan oleh Durkheim tidak selalu berarti ‘tidak adanya aturan’, tapi ‘tidak berfungsinya suatu aturan’ secara efektif pun dapat dikatakan sebagai ‘anomi’. Bila menggunakan teori ini, tampak bahwa apa yang dilakukan oleh FPI adalah karena, pertama-tama, kondisi ‘tidak berfungsinya aturan’ berupa Perda dan SK Gubernur secara efektif. Dinas pariwisata, Trantib, dan polisi yang seharusnya melaksanakan Perda dan SK Gubernur, ternyata tidak menegakkan hukum secara benar. Aparat diam saja ketika melihat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa tempat hiburan malam di bulan Ramadlan, dan juga di bulan-bulan yang lain.
Kalau di sebelas bulan selain Ramadlan FPI telah cukup bersabar dengan kondisi ‘tidak berfungsinya aturan’ tersebut, maka di bulan Ramadlan, FPI tidak mau bersikap toleran lagi. Mereka mengambil inisiatif melakukan aksi sendiri untuk ‘menertibkan’ tempat-tempat hiburan malam yang tetap beroperasi di bulan Ramadlan. Mereka sudah tidak percaya lagi pada aparat yang ‘membutakan diri’ dan pura-pura tidak tahu terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Mereka berusaha untuk menegakkan hukum dengan cara versi mereka sendiri tanpa memperdulikan keberadaan aparat yang sudah tidak mungkin lagi diandalkan karena telah buta dan tuli terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Aksi tersebut terjadi karena buntunya komunikasi antara para pihak, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman. Pihak FPI tidak pernah tahu kendala-kendala dalam penegakan hukum dan tidak mau menghargai nilai yang dianut orang lain, yang, bisa jadi, berbeda dengan nilai yang dianut FPI. Pihak aparat juga bersalah, karena tidak pernah mengajak berkomunikasi, tapi lebih memilih pendekatan yang bersifat represif, seperti yang tampak dalam kasus tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan pihak pengelola hiburan, mereka terkesan menghalalkan segala macam cara (means) untuk mencapai tujuan (goals), dengan tanpa memperhatikan beberapa, kalau tidak boleh dikatakan sebagian besar, aspirasi umat Islam yang sebenarnya tidak setuju dengan bisnis mereka yang mempertaruhkan moral masyarakat. Terlebih lagi di bulan Ramadlan, umat Islam tentu menginginkan agar bulan suci mereka dihormati, tapi para pengelola tempat hiburan tersebut tetap ‘cuek’ dan tidak pernah peduli akan itu. Pada akhirnya, kebuntuan dan kekacauan yang seperti itu meledak dan termuntahkan ke dalam sebuah perilaku, sebagaimana yang telah kita saksikan bersama.
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah disimpulkan kiranya, bahwa aksi brutal FPI terjadi karena keadaan tidak berfungsinya aturan hukum secara efektif. Keadaan tersebut kemudian diperparah oleh dua hal. Pertama, ketidakpercayaan dan kekecewaan FPI terhadap aparat penegak hukum, sehingga mereka kemudian ‘mengambil alih’ tugas aparat untuk menegakkan hukum sendiri, dan menurut cara mereka sendiri. Oleh karena itulah, agar tidak terjadi hal serupa pada waktu yang akan datang, hendaknya aparat penegak hukum dapat menegakkan hukum secara benar dan menertibkan tempat-tempat hiburan malam yang melanggar aturan yang ada, terlebih lagi pada saat bulan Ramadlan; bulan yang sangat dihormati oleh mayoritas penduduk Indonesia yang mayoritas muslim.
Hal kedua yang memperparah keadaan tersebut adalah terjadinya kebuntuan berpikir sebagai akibat tidak adanya komunikasi antara para stake holders (aparat, pengelola tempat hiburan malam, dan FPI). Masing-masing pihak merasa dirinya yang paling benar. Semestinya, aparat bisa memberikan pengertian kepada FPI bahwa sosialisasi Perda butuh waktu. Meskipun, sebenarnya dalam hal ini aparat juga salah, karena terlalu lamban dalam melakukan sosialisasi. Kesalahan lain aparat adalah tidak merata dalam melakukan sosialisasi, karena hanya dilakukan dengan menyebar ‘secarik kertas’. Bila ketiga pihak yang berkaitan itu bisa duduk bersama dan merembuk secara baik-baik, niscaya aksi sepihak seperti yang dilakukan FPI tersebut tidak akan terjadi.
Hal yang terpenting lainnya adalah, semua pihak yang melanggar harus ditindak secara adil; jangan hanya FPI saja, sedangkan preman yang menyerang mereka tidak ditindak. Siapa saja yang melanggar harus ditindak secara adil berdasarkan hukum yang ada. Bila ketidakadilan pada FPI sampai terjadi, maka FPI pasti akan lebih benci dan antipati terhadap aparat, sehingga dapat menjadi ‘modal’ legitimasi untuk melakukan kekerasan di waktu yang akan datang. Ketidakadilan yang seperti ini jelas akan semakin memperkeruh suasana yang ada, sehingga harus benar-benar dihindari. Dalam hal ini saya sangat sepakat dengan apa yang dikatakan oleh kriminolog UI, Erlangga Masudi yang mengatakan bahwa dalam hal ini, tidak ada pihak yang salah secara mutlak ataupun benar secara mutlak. Masing-masing bersalah. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah kedewasaan masing-masing pihak untuk mengakui kesalahan, dan kelapangan dada untuk mau merajut komunikasi dengan pihak lain.
Solusi yang tepat untuk mengatasi keadaan ini bukanlah dengan menghukum secara rigid dan keras terhadap laskar FPI yang terbukti bersalah. Mereka tidak akan jera dengan itu, sebab mereka hanya akan menganggap hukuman itu sebagai cobaan dalam jihad, yang akan selalu mereka lakukan demi menegakkan masyarakat yang menghormati moral.
Untuk menghindari kekerasan serupa, maka harus ada upaya untuk mengatasi akar persoalannya, yaitu dengan dengan melakukan penegakan hukum dan mencairkan komunikasi yang buntu antara ketiga belah pihak: aparat, pemilik hiburan malam, dan FPI. Dengan penegakan hukum yang benar, maka FPI menjadi tidak punya sedikit pun ‘legitimasi’ -- paling tidak, menurut subyektifitas mereka -- untuk ‘mengambil alih’ tugas aparat. Kepercayaan mereka pada aparat juga bisa pulih. Dan dengan adanya komunikasi, kesepahaman dan sikap saling menghormati antara para pihak dapat dicapai, sehingga tidak akan ada yang berperilaku seenak sendiri ataupun membuat aksi sepihak tanpa mendengar aspirasi pihak lainnya. Masing-masing pihak tentu akan bisa lebih dewasa dalam bersikap bila memang ada upaya yang benar.

Tidak ada komentar: