ANALSIS ATAS
KASUS PENGANIAYAAN POLISI TERHADAP MAHASISWA ‘UMI’ MAKASAR
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Kasus Posisi:
- Ada dua kelompok mahAsiswa yang melakukan unjuk rasa pada waktu yang bersamaan. Yang satu mengangkat tema kasus Ba’asyir dan yang lainnya mengusung tema Anti Militerisme.
- Dalam aksi tersebut, pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia menangkap beberapa orang mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
- Karena ada temannya yang ditangkap, para mahasiswa melakukan pembalasan dengan menyandera salah seorang anggota kepolisian republik indonesia yang kebetulan sedang melewati kampus UMI sendirian dengan sepeda motor.
- Mengetahui hal itu, pihak kepolisian langsung berekasi. Mereka menyerbu ke kampus UMI dan melakukan serangkaian kebutralan yang tidak pantas dilakukan oleh aparat penegak hukum. Diantara kekerasan yang mereka lakukan adalah penganiayaan, pemukulan kepala beberapa mahasiswa dengan gagang pistol dan pentungan sampai berdarah, dan serangan-serangan yang didasari oleh emosi lainnya.
Analisis:
Pasal 2 UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa fungsi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan.
Ketentuan mengenai fungsi tersebut dikonkritkan dalam bentuk tugas. Pasal 13 UU Kepolisian menyatakan: tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan hukum, dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada masyarakat. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama-sama penting. Dalam penjelasan juga ditentukan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, anggota Polri harus menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa ketiga tugas pokok polisi harus dilaksanakan secara seimbang dan tidak boleh terlalu memprioritaskan salah satu dengan mengesampingkan yang lainnya. Dalam konteks universal pelaksanaan fungsi dan tugas, polisi mempunyai karakter budaya tersendiri. Robert Reiner dalam bukunya The Politics of The Police, mengambil ide-ide Skolnick mengenai karakter budaya polisi yang menyatakan bahwa budaya polisi diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan dan yang diwarnai oleh lingkungannya (the policeman's "working personality" and society generated culture). Masih menurut Skolnick, pelaksanaan tugas polisi menganut dua variabel prinsip, yaitu bahaya dan kewenangan (danger and authority) serta lingkungan yang membangun budaya polisi adalah the pressure put upon individual policeman to produce to be efficient rather than legal when two norms are in conflict (Bibit S Rianto, 1999 dalam Kompas, 6 November 2003).
Bagi polisi, penggunaan kekerasan dan senjata api diizinkan dalam kerangka melindungi nyawa orang lain dan untuk membela diri. Cara-cara tersebut dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam posisi yang demikian polisi menghadapi kondisi yang paradoksal. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya polisi harus memperhatikan penghormatan terhadap HAM dan standar universal yang berlaku bagi aparat penegak hukum. Standar tersebut antara lain adalah code of conduct for law enforcement officials, termasuk bagaimana penggunaan kekerasan dalam tugasnya. Atas dasar kondisi faktual inilah rekrutmen dan edukasi bagi polisi merupakan langkah strategis Polri (Kompas, 6 November 2003)
Bila kondisi ideal polisi ini kita kaitkan dengan kasus UMI, maka akan tampak berbeda kontras. Dalam kasus UMI, beberapa aparat polisi justru menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk melakukan pembalasan secara emosional dan diluar kewajaran atas ‘penyanderaan’ yang telah dilakukan terhadap rekannya. Dalam upayanya membebaskan rekannya yang disandera, mereka lupa akan batasan kewenangan, tugas, dan etika mereka sebagai polisi. Tindakan yang seperti ini jelas bertentangan dengan hukum disiplin dan Kode Etik Polri.
Pasal 3 PP. No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa: dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (f) menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan dalam Pasal 4 dinyatakan: dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (a) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya Kepolisian Negara Republik Indonesiaada masyarakat (d) melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh beberapa anggota Polri di kampus UMI jelas telah melanggar hukum disiplin mereka, juga etika profesi mereka sebagi anggota Polri. Karena itu, wajarlah jika beberapa diantara mereka kemudian dijatuhi hukuman displin anggota Polri. Dalam hal ini, pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menunjukkan itikad baiknya dengan benar-benar menghukum mereka menurut hukum disiplin, dan nantinya akan diproses pidananya juga. Berdasarkan Pasal 12 ayat ayat (1), penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana. Akan tetapi, bila fenomena ini tidak ditindak lanjuti dengan perbaikan sitem di tubuh Polri, maka hanya akan menjadi langkah setengah hati. Yang harus dipikirkan dan menjadi agenda besar adalah, bagaimana agar hal yang seperti itu tidak terulang kembali dalam sejarah bangsa yang sedang menjalani proses demokratisasi ini.
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar