“ The Client “
oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
A. RINGKASAN CERITA FILM
Seorang bocah bernama Mark bersama adiknya, Ricky, pada saat main-main ke hutan, tanpa sengaja melihat orang yang akan bunuh diri dengan cara mengunci diri dalam mobil yang dimasuki slang berisi gas beracun dari knalpot . Melihat itu, Mark berusaha menggagalkannya dengan cara mencabut slang penyalur gas tersebut dari knalpot yang menjadi sumbernya. Tapi sayang, usaha Mark tersebut ketahuan dan ia akhirnya ia dipaksa masuk ke dalam mobil oleh orang tersebut untuk mati bersama-sama. Sebelum gas beracun tersebut bereaksi, sempat terjadi dialog antara keduanya.
Dalam dialog tersebut, orang tersebut memperkenalkan dirinya bernama Romey, berprofesi sebagai pengacara, dan menjelaskan alasan mengapa ia sampai nekat mau bunuh diri. Romey mengatakan, ia berniat bunuh diri karena bila dia sampai kalah di pengadilan, dia akan dibunuh oleh kliennya, Muldano. Hal ini karena Romey sudah terlanjur mengetahui dimana Muldano menyembunyikan mayat orang yang telah dibunuhnya, Senator Boyd Boyette. Padahal, mayat senator tersebut merupakan bukti kunci yang saat ini sedang dicari-cari oleh pihak Jaksa untuk menjerumuskan Muldano ke penjara.
Pada saat Romey terlena bercerita, Mark berhasil mengambil pistol yang ada di dekat Romey dan menodongkannya. Tapi Romey justru senang dan minta ditembak, karena dia memang ingin mati. Mark tidak berani menembak kepala Romey dan gemetaran memegang pistol. Saat itulah, Romey berhasil merebut pistol dan menodongkannya pada Mark. Mark berhasil keluar dari mobil dan lari sambil menggandeng adiknya. Romey yang bertubuh gendut itu, kesulitan mengejar Mark sehingga Mark serta adiknya pun lolos. Frustasi dengan itu, Romey bunuh diri dengan cara menembakkan pistol ke mulutnya sendiri.
Investigasi pun dilakukan atas kasus bunuh diri tersebut. Karena putung rokok Mark ada di Tempat Kejadian Perkara, maka Mark dipanggil oleh FBI untuk jadi saksi, sekaligus akan dimintai informasi dimana mayat Senator disembunyikan, karena dia sempat berdialog dengan almarhum Romey berdasarkan bukti sidik jarinya yang ada di pistol Romey (sidik jari tersebut menunjukkan bahwa sebelum mati, Romey sempat berinteraksi dengan Mark). Mark ketakutan, ia mendatangi pengacara yang bernama Reggie Love. Love ternyata bersedia membantu Mark meski hanya dibayar 1 dollar.
Disitulah polemik dimulai. Di satu sisi, bila Mark tidak mau memberi informasi pada aparat (FBI) tentang dimana mayat tersebut berada, ia dianggap menghalangi proses ditegakkannya keadilan. Tapi disisi lain, Mark sudah diancam akan dibunuh oleh sindikat Muldano bila ia sampai mengatakan pada orang lain informasi apapun yang didapat dari Romey. Bukan hanya Mark yang menghadapi kesulitan, tapi juga Love, pengacaranya, yang berada dalam posisi dilematis. Love berada dalam posisi dilematis karena, bila ia menyuruh Mark memberikan informasi pada FBI tentang tempat mayat Senator, konsekuensinya adalah Mark bisa dibunuh anak buah Muldano. Tapi bila ia melarang Mark memberi informasi, Mark akan terus ditahan sampai kasus tersebut selesai. Padahal Mark tidak mau masuk tahanan sehari pun; Mark sangat ketakutan dan bisa depresi berat.
B. ANALISIS
§ Masalah Kewajiban Menjadi Saksi dan Perlindungan Saksi
Berdasarkan film tersebut, tidak berlebihan kiranya bila kemudian dikatakan bahwa dalam semua sistem hukum, persoalan saksi memang belum bisa teratasi dengan sempurna. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika – yang konon ceritanya lebih maju, pun demikian adanya. “Seseorang yang mengetahui adanya kejahatan, tapi tidak melapor pada polisi/FBI, maka dapat dihukum karena pelanggaran federal”, itulah yang biasa dikatakan Jaksa (prosecutor) terhadap saksi. Selain itu, ada juga ketentuan bahwa “berbohong pada polisi/FBI dalam pemeriksaan adalah pelanggaran federal”.
Demi lancarnya penyidikan dan proses penegakan hukum, saksi memang harus mau untuk bersaksi dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi disisi lain, program perlindungan terhadap saksi ternyata belum bisa memberikan ketenangan pada saksi untuk memberikan kesaksian. Bila memang terancam, di Amerika, saksi biasanya dijaga ketat atau diasingkan ke suatu daerah dan dirubah penampilannya, agar pihak yang dirugikan tidak bisa membalas dendam padanya.
Tapi siapakah yang dapat menjamin, bahwa setelah ‘program perlindungan’ tersebut, pihak yang dirugikan akan melupakan dendamnya pada saksi dan tak akan menuntut balas lagi?? Dalam kondisi yang seperti demikian, siapa pun pasti enggan untuk mengambil resiko dengan menjadi saksi atas suatu kejahatan. Menjadi saksi berarti menceburkan diri ke dalam masalah. Akan tetapi, bila kita tidak mau bersaksi, kita dianggap melanggar peraturan dan menghalangi proses keadilan.
Masalah tersebut menjadi semakin pelik bila kita kaitkan dengan kondisi riil di negara kita, Indonesia, yang perlindungannya terhadap saksi masih sangat minim. Bahkan, di negara kita, saksi seolah tak dihargai sama sekali. Baginya tidak pernah diberikan kompensasi yang memadai atau penghargaan lainnya atas kesaksian yang telah diberikan. Padahal, menjadi saksi resikonya sangat berat. Dalam kondisi yang seperti ini, janganlah kita menyalahkan begitu saja mereka yang lebih memilih diam, acuh, dan pura-pura tidak tahu daripada memilih bersaksi di pengadilan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dengan kesadaran mau mengajukan diri menjadi saksi.
Padahal, Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan: “Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli”. Mengingat beratnya beban dan besarnya resiko seorang saksi kejahatan, sudah semestinya sistem hukum kita memberi penghormatan, perlindungan yang serius, dan kompensasi yang memadai atas jasa saksi dalam proses peradilan. Bila sistem hukum kita belum mampu bersikap demikian, maka Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP tersebut perlu kiranya untuk ditinjau ulang. Patut pula direnungkan apa yang dikatakan pengacara Reggie Love dalam film The Client tersebut, “Kenapa ia (saksi) harus bicara, kalau kita tidak bisa melindunginya ???”
§ Pengacara yang Berada dalam Dilema
Dalam film tersebut, kita menemukan dua dilema dari pengacara, yang itu sangat mungkin terjadi dalam kehidupan setiap orang yang memilih profesi sebagai pengacara. Pertama, apa yang dihadapi oleh Romey, pengacara Muldano. Kalau Romey sampai kalah dalam kasus tersebut, dia pasti akan dibunuh oleh kliennya sendiri, Muldano, karena dia sudah terlanjur tahu rahasia-rahasia kejahatan Muldano. Bila berada dibawah ancaman seperti ini, salahkah bila kemudian Romey berusaha mati-matian dengan segala cara agar bisa menang di persidangan, demi untuk menyelamatkan diri dari ancaman kliennya?? Karena bingung, pada akhirnya Romey lebih memilih untuk bunuh diri.
Yang kedua, apa yang dihadapi oleh Reggie Love, pengacara dari Mark, bocah yang kebetulan menyaksikan kejahatan bunuh diri dan mengetahui dimana mayat korban kejahatan Muldano disimpan. Sebagai pengacara, Love tidak mungkin menyuruh Mark memberikan informasi keberadaan mayat tersebut pada polisi, karena bila Mark sampai melakukan itu, Mark akan dibunuh oleh anak buah Muldano. Namun bila Mark tidak mau memberi keterangan dimana lokasi mayatnya, Mark akan ditahan sampai kasus tersebut selesai, dan itu berarti masa depan bocah bernama Mark akan hancur dalam tahanan.
Bukan hanya itu, sukses tidaknya kasus tersebut sangat tergantung pada Mark sebagai satu-satunya orang yang tahu dimana lokasi bukti kunci berupa mayat. “Tak ada mayat maka tak ada kasus”, begitu kata Jaksa pada Love. Dengan melindungi Mark untuk tidak memberi informasi pada polisi, berarti ia menghalangi proses penegakan hukum terhadap kejahatan pembunuhan yang dilakukan Muldano. Disini dia berada di “wilayah abu-abu” (grey area), yaitu antara keinginan membantu proses penegakan keadilan hukum di satu sisi, dan kewajiban melindungi saksi Mark dari ancaman pembunuhan di sisi yang lain.
Di mata orang awam, Love tentu akan dianggap sebagai seorang “pengacara busuk”, karena ilmu hukum yang ia miliki justru ia gunakan untuk mempersulit dan menghalang-halangi proses peradilan. Padahal, di balik itu, sebenarnya ada dilema besar yang sedang ia hadapi; dua pilihan berat dan beresiko yang tidak mungkin dikatakan pada siapapun.
Dilema-dilema seperti tersebut sangat mungkin dihadapai oleh seorang pengacara dalam menjalankan profesinya. Dilema-dilema mereka kebanyakan tidak dipahami oleh masyarakat umum (karena biasanya merupakan sesuatu yang harus dirahasiakan). Akibatnya, yang selalu diterima oleh pengacara adalah cemoohan, “orang salah kok dibelain !!!!”, sama seperti cemoohan yang diterima oleh Mahendradhatta cs pada saat membela para terdakwa kasus bom Bali. Padahal, orang yang di mata masyarakat salah, belum tentu pada kenyataannya salah. Dan bila memang benar salah, seorang yang salah pun tetap masih punya hak yang perlu dilindungi. Inilah yang tidak pernah dipahami oleh masyarakat luas.
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar