Selasa, 19 Februari 2008

RASULULLAH SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]


BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan keluarga, disadari atau tidak, merupakan sebuah kehidupan yang meskipun berskala kecil, mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat secara umum. Seorang suami atau istri, ketika mereka keluar untuk berinteraksi dalam kehidupan sosial secara umum, pasti akan terpengaruh oleh apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Kalau rumah tangga mereka kacau, maka yang akan mereka bawa keluar adalah kekacauan pikiran, dan begitu juga sebaliknya. Selain itu, keluarga juga menjadi “pabrik” yang akan mencetak generasi-generasi suatu masyarakat. Apabila dalam suatu negara, “pabrik-pabrik” yang akan menghasilkan generasinya ternyata tidak dikelola dengan baik, hasilnya tentu akan tidak baik pula.
Oleh karena itulah, pengelolaan keluarga harus dilakukan sebaik mengkin. Salah satu contoh pengelolaan rumah tangga yang sangat baik untuk diikuti adalah rumah tangga Rasulullah. Rumah tangga Rasulullah adalah sebuah rumah tangga yang berjalan sesuai prinsip pembinaan keluarga menurut Islam. Meskipun istri Rasulullah sangat banyak, beliau ternyata mampu untuk me-manage sedemikian rupa sehingga tujuan pembentukan rumah tangga sesuai ajaran Islam pun dapat dicapai olehnya.
Pola pembinaan keluarga Rasulullah sangat penting untuk dipelajari dan dicontoh oleh mereka yang akan, maupun yang sedang membina kehidupan berumah tangga. Dengan mencontoh pola pembinaan rumah tangga Rasulullah, masalah-masalah yang sedang marak terjadi dalam keluarga modern diharapkan dapat teratasi. Teratasinya permasalahan-permasalahan keluarga yang ada dalam masyarakat akan bernilai sangat penting bagi kehidupan sosial secara umum, karena yang demikian itu sedikit banyak pasti akan membantu menghilangkan krisis-krisis sosial yang ada saat ini.
Lalu apa rahasia Rasulullah dalam mengelola rumah tangga ??
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana sikap seorang Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai seorang suami dan bagaimana rahasia beliau dalam mengelola rumah tangganya. Selain itu, tulisan ini akan menceritakan cara Rasulullah dalam mengatasi kemelut rumah tangga, disamping akan membahas juga persoalan poligami Rasulullah dan tuduhan para orientalis bahwa Rasululah adalah seorang sex maniac.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ‘IBRAH
A. ISTRI-ISTRI NABI
Sebagaimana diketahui, nabi beristri tidak hanya satu orang saja. Setelah kematian istri pertamanya, Khadijah, nabi memperistri sejumlah wanita yang jumlahnya lebih dari empat orang. Diperbolehkannya nabi memperistri lebih dari empat orang ini merupakan salah satu kekhususan yang hanya berlaku baginya, dan tidak untuk umatnya. Nabi mempunyai ketentuan khusus karena beliau adalah seorang yang ma’shum dari berbuat aniaya (tidak adil) dan kejelekan; suatu hal yang karenanya, umatnya hanya diperbolehkan beristri maksimal empat.
Karena bagi nabi tidak berlaku ketentuan batasan istri empat, maka wajarlah kalau istri nabi pun banyak. Sayangnya, mengenai berapa jumlah pasti dari istri-istrinya, para ahli berbeda pendapat didalamnya. Perbedaan pendapat diantara mereka menjadi semakin tajam ketika mereka merinci dan menentukan jumlah istri yang pernah dipergauli nabi dan jumlah istri yang belum pernah dipergauli.
Banyaknya perbedaan pendapat diantara mereka dapat dipahami mengingat hukum perkawinan yang berlaku bagi nabi sangat bebeda dengan hukum yang berlaku bagi umatnya. Hukum perkawinan yang berlaku baginya jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan yang berlaku bagi umatnya. Sebagai contoh, untuk nabi tidak ada batasan jumlah istri, sehingga memungkinkan baginya untuk beristri sebanyak yang ia kehendaki. Selain itu, proses akad perkawinannya pun sangat sederhana. Bagi nabi, dihalalkan wanita yang dihibahkan padanya tanpa mahar. Pernikahan nabi tetap sah meskipun tidak ada saksi dan tanpa wali. Dari proses pernikahan yang sangat sederhana dan dapat terjadi dengan begitu mudahnya itulah, wajar sekali kalau kemudian banyak ulama yang kurang tahu mengenai tiap detail perkawinannya dan pengetahuan mereka berbeda-beda didalamnya.
Selain pendapatnya berbeda-beda, ketika menyebut jumlah istri nabi, para ulama juga seringkali tidak merinci apakah angka itu merupakan jumlah istri yang ditinggal wafat, istri yang pernah seranjang, ataukah jumlah keseluruhan wanita yang pernah diperistrinya. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa jumlah istri nabi adalah sebelas orang. Dr. Muhammad Nur al-Fadani, dalam tahqiq-nya terhadap kitab Nihayatus Suul fi Khasha’ishir Rasul mengatakan, dalam Isnadul ‘Uyun disebutkan bahwa jumlah istri yang pernah seranjang dengan nabi ada 12 orang. Sedangkan menurut Muhamad Sayyid Kailani, jumlah istrinya adalah 13 orang. Begitu juga pendapat Al-Mubarakfury, sebagaimana dikutip oleh Sa’id Hawwa. Al-Mubarakfury menyatakan bahwa istri nabi berjumlah 13 orang, dengan rincian: yang ditinggal wafat oleh nabi 9 orang, yang meninggal dunia 2 orang, dan yang belum pernah dipergauli oleh nabi 2 orang. Lain lagi pendapat Imam Majd al-Din, dia mengatakan bahwa jumlah keseluruhan istri nabi ada 22 orang.
Meskipun jumlah yang dikatakan para ulama sangat beragam, ternyata ada juga jumlah yang mereka sepakati. Jumlah yang mereka sepakati, sebagaimana dikatakan dalam Al-Anwar Al-Saniyyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah, adalah 11 orang. Artinya, untuk jumlah sebelas ini, tidak ada ulama yang menyangkal, meskipun banyak yang kemudian menambahinya. Nama kesebelas istri nabi tersebut adalah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Huzaimah, Ummu Salmah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti al-Harits, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, Shafiyah binti Huyayy, dan Maimunah binti al-Harits. Diantara nama-nama tersebut, yang paling terkenal dan seringkali menjadi pembicaraan dalam buku-buku sirah nabi adalah Khadijah dan ‘Aisyah.
Khadijah adalah istri pertama dari nabi yang paling dicintai olehnya dan paling berkesan di kehidupan nabi. Ia adalah seorang janda yang kaya, kuat kepribadiannya, cerdas, paling mulia – baik nasab maupun kedudukannya, dan cantik. Ketika menikah dengannya, umur nabi sekitar 25 tahun dan umur Khadijah terpaut jauh diatasnya, 40 tahun. Sehingga jelaslah bahwa yang menjadi titik berat tujuan nabi menikah bukanlah persoalan seks. Selain merupakan orang yang pertama kali beriman dengan risalah nabi, dia adalah istri yang paling banyak membantu nabi dalam masa-masa sulit tugas kenabian dengan kebijakan serta kedewasaannya. Maka wajarlah bila kemudian, setelah meninggalnya Khadijah, meskipun nabi menikah dengan banyak wanita, nabi tidak pernah bisa melupakannya dan selalu terkenang akannya.
Satu-satunya istri nabi yang perawan adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar. Dia dinikahi oleh nabi pada umur 7 tahun dan dipergaulinya pada umur 9 tahun. ‘Aisyah merupakan istri nabi yang paling pintar dan paling banyak meriwayatkan hadis. Dalam sejarah, ia dikenal berwatak keras dan sangat pencemburu, terutama terhadap kecintaan nabi terhadap Khadijah. ‘Aisyah ternyata juga merupakan orang yang paling sering bercanda dengan nabi, dan nabi pun selalu melayaninya. Hal ini mungkin karena dia adalah istri nabi yang paling muda, sehingga tidak sedewasa istri-istri nabi yang lainnya.
Sedangkan putra-putri nabi jumlahnya 7 orang, tiga laki-laki dan empat perempuan. Nama ketujuh putra nabi tersebut, sesuai urutan kelahirannya adalah, Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fatimah, Umu Kultsum, Abdullah, dan Ibrahim. Semuanya dilahirkan oleh Khadijah, kecuali Ibrahim karena ia dilahirkan oleh Mariyah al-Qubthiyyah.
B. BENARKAH NABI SEORANG PEMBURU SEKS ???
Dalam beberapa karya kaum orientalis maupun para penginjil seperti Muir, Dermenghem, Washington Irving, Weil, Sprenger, Lammens, dan lainnya, banyak sekali kita jumpai pendeskreditan Muhammad melalui cerita perkawinan dan poligaminya. Cerita ini, meskipun begitu rapi dibungkus dengan slogan atas nama ilmu pengetahuan yang mengedepankan obyektifitas, sangat tampak sekali bahwa tujuan utamanya adalah mencoreng Islam dan nabinya, karena cerita-cerita mereka ini sebenarnya sangat tidak masuk akal dan sama sekali jauh dari yang kualifikasi penelitian ilmiah. Disitu Muhammad digambarkan sebagai seorang tokoh yang tadinya ketika di Makkah mampu menahan diri, tetapi setelah di Madinah dia berubah menjadi seorang yang selalu diburu nafsu syahwat, air liurnya selalu mengalir bila melihat wanita, dan tidak pernah puas meski sudah beristri banyak.
Salah satu tuduhan yang paling sering mereka ulang-ulang adalah bahwa dalam rangka memuaskan nafsunya, Muhammad tidak hanya mengawini wanita yang tak bersuami saja, tetapi ia ternyata juga jatuh cinta dengan Zainab binti Jahsy yang masih berstatus sebagai istri dari anak angkatnya, Zaid bin Haritha. Suatu waktu, Muhammad mengunjungi rumah Zainab ketika Zaid sedang tidak berada dirumah. Ketika itu Zainab yang menyambutnya mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikannya tersebut sangat mempesonakan Muhammad. Melihat kecantikan yang ada padanya, Muhammad berkata: “ Maha Suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia”. Tentu Zainab merasa bangga, sehingga ketika Zaid pulang, dia menceritakan hal itu pada suaminya. Mendengar itu, Zaid langsung menemui nabi dan mengatakan dia bersedia untuk menceraikannya. Lalu nabi berkata: “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut pada Allah”.
Zainab akhirnya memang bercerai dengan Zaid dan kemudian menjadi istri nabi. Orang-orang seperti Voltaire dan Pordeaux melihat insiden ini sebagai demonstrasi selera seks Muhammad yang tak pernah habis, dan manipulasi buatannya atas wahyu demi melanjutkan kehendak-kehendaknya sendiri. Meski pada akhirnya Zainab menikah dengan nabi, tuduhan orientalis bahwa nabi merusak rumah tangga orang demi mengejar kepuasan birahi tetap tidak tepat. Alasannya: Pertama, karena hubungan Zainab dan Zaid memang pada dasarnya sudah sangat tidak harmonis. Sejarah mencatat bahwa sebelum bercerai, Zaid sering menghadap nabi dan menceritakan sikap istrinya yang menurutnya kurang baik sehingga dia merasa tidak cocok. Menanggapi itu, nabi selalu menasihatinya untuk mempertahankan rumah tangganya dan berkata: “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut pada Allah”. Tetapi, Zaid tetap tidak tahan, sehingga pada akhirnya menceraikan Zainab. Kedua, fakta menunjukkan bahwa Zainab adalah putri Umaima binti Abdul Mutallib, bibi nabi sendiri, dan nabi sering membantu mengasuhnya. Dengan begitu, sejak semula nabi sudah tahu benar dia cantik atau tidak karena dia tahu pertumbuhan Zainab semenjak bayi sampai besar. Sehingga sangat konyol bila nabi baru tahu bahwa dia cantik terjadi pada saat dia menjadi istri Zaid. Ketiga, kalaulah perasaan cinta dan kekaguman pada kecantikan Zainab tersebut sedikit banyak ada pada diri nabi, tentu dia akan melamar pada keluarga Zainab untuk dirinya, bukan untuk Zaid. Tetapi, bukankah kita tahu bahwa yang melamarkan Zaid tidak lain dan tidak bukan adalah justru nabi sendiri ?? Apakah mungkin, pada saat nabi melamarkan untuk Zaid, nabi tidak tahu Zainab cantik, padahal saat itu Zainab sedang berada di usia matangnya, dan setelah lama berumah tangga dengan Zaid, kecantikan Zainab baru diketahui oleh nabi dan menggetarkan hatinya, yang hal ini justru terjadi saat Zainab berumur 39 tahun ??
Dalam kitabnya, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthiy secara sangat logis mampu mematahkan klaim-kalim kaum orientalis yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang sex maniac tersebut. Dia menuliskan, seorang pemburu seks tidak akan mungkin hidup bersih dan suci dalam lingkungan Arab Jahiliyah seperti itu tanpa terbawa arus kerusakan yang mengelilinginya. Seorang pemburu seks tidak akan pernah bersedia menikah dengan seorang janda yang lebih tua darinya, kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik wanita-wanita lain yang menginginkannya, sampai menghabiskan masa mudanya, lalu masa tua dan memasuki pasca tua. Adapun pernikahannya setelah itu dengan ‘Aisyah serta yang lainnya, maka masing-masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahannya mempunyai hikmah dan sebab sendiri-sendiri, yang hal itu dapat menambah keimanan seorang Muslim pada keagungan Muhammad SAW dan kesempurnaan akhlaknya. Mengenai hikmah dan sebabnya, yang jelas penikahan tersebut bukanlah untuk melampiaskan dorongan seksual. Sebab, seandainya demikian, tentu beliau sudah melampiaskannya pada masa-masa sebelumnya. Apalagi pada masa-masa tersebut pemuda Muhammad SAW belum memikirkan hal yang dapat memalingkan kebutuhan nalurinya, yaitu da’wah dan permasalahannya.
Yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan mengenai banyaknya istri nabi adalah bahwa yang demikian itu tidak tampak dalam hari-harinya bersama Khadijah dan nabi pun tidak melakukan poligami kecuali setelah wafatnya. Hal itu tidak lain karena pada saat itu tanggung jawab dan tugas nabi belum begitu kompleks. Kemudian, pada saat nabi hijrah ke Madinah, disitu nabi menemui banyak sekali permasalahan dan tanggung jawab, seperti menyelamatkan wanita dan anak-anaknya dari keterpurukan, banyaknya suku-suku Arab yang bergabung, meringankan permusuhan dari beberapa kelompok, menegakkan syariat Islam, dan lain sebagainya. Faktor kompleksnya permasalahan dan tanggung jawab inilah yang kemudian menjadi sebab dan pendorong utama bagi nabi untuk berpoligami. Dengan banyaknya istri, diharapkan nabi akan mempunyai banyak teman untuk berbagi suka duka dan membantunya dalam mengurusi berbagai persoalan.
Dari berbagai kejadian yang terjadi di rumah tangga nabi, sangat tampak nyata bahwa diantara kesekian banyak istri-istri nabi, ternyata Khadijah tetap merupakan istri yang paling dicintai dan selalu dikenang olehnya. Khadijah tetap menjadi yang paling utama di mata nabi meskipun istri-istrinya yang lain banyak yang lebih muda dan cantik bila dibandingkan dengannya. Fakta ini tentu sangat tidak sejalan dengan klaim kaum orientalis bahwa nabi adalah seorang pemburu seks. Kalaulah dia memang seorang pemburu kepuasan birahi, mengapa istri yang paling berkesan justru Khadijah yang sudah tua, bukannya mereka yang lebih muda dan cantik, atau bahkan yang perawan, seperti ‘Aisyah misalnya ??
Akhirnya, jelaslah bahwa tuduhan mereka sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun.
C. TUJUAN DARI BEBERAPA PERNIKAHAN RASULULLAH SAW
Setiap pernikahan Rosulullah diketahui banyak mengandung ajaran dan hikmah yang mendalam bagi kepentingan dakwah Islam. Setiap pernikahan Rasulullah dengan masing-masing istrinya juga juga mengandung alasan, tujuan, dan keistimewaan sendiri-sendiri. Berikut adalah contoh beberapa rahasia yang terkandung dibalik pernikahannya dengan para istrinya.
a). Pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zaimah
Saudah adalah seorang mu’minah yang teguh hatinya. Ia keturunan dari Bani Abdu Syam yang memusuhi Bani Hasyim. Bani Abdus Syam pada waktu itu masih musyrik dan sangat benci terhadap dakwah Nabi. Pada saat hijrah ke Madinah, Saudah ikut bersama Rasulullah dan para sahabat, dan Rasulullah kemudian menikahinya supaya ia terlindung dari keluarganya yang memaksanya untuk kembali ke ajaran nenek moyang. Disamping itu, pernikahan ini juga untuk melunakakan hati Bani Abdu Syam yang memusuhi Bani Hasyim.
b). Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah
Pernikahan nabi dengan ‘Aisyah merupakan wujud penghargaan tinggi nabi pada sahabatnya, Abu Bakar, yang telah ikhlas dan penuh cinta kasih dalam menjalin persaudaraan dengan beliau sebelum Nubuwwat. Perkawinan ini juga dapat dipahami sebagai upaya nabi untuk mempererat persaudaraannya dengan Abu Bakar. ‘Aisyah pada akhirnya menjadi jantung hati bagi Rasulullah dan perantara terbaik dalam upaya penyebaran sunnah dan keutamaan Nabi dalam kehidupan berumah tangga.
c). Pernikahan Nabi dengan Hafsah
Hafsah adalah anak dari Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang paling gigih membelanya. Dengan dinikahinya Hafsah, maka jalinan persahabatan akan semakin erat, tidak hanya sebagai sahabat tetapi sebagai jalinan menantu dan mertua, dan itu artinya kedudukan Umar dan Abu Bakar adalah sama.
d) Pernikahan Nabi dengan Zainab Binti Jahsy
Ia adalah istri dari Zaid bin Haritsa, anak angkat beliau. Ketika kedua pasangan tersebut terjadi cekcok dan akhirnya cerai, maka Nabi menikahinya. Hal ini dilakukan karena pada jaman jahiliyyaah adat hukum waris membolehkan anak angkat mewarisi seluruh harta kekayaan bapak angkatnya. Dengan kata lain, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Dengan dinikahinya Zainab maka adat yang demikian secara otomatis telah gugur dan digantikan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa antara bapak dan anak angkat tidak ada hubungan waris dan hubungan darah. Tegasnya, pernikahan nabi dengan Zainab lebih bertujuan untuk menjelaskan dan mempraktekkan hukum baru yang mungkin masih janggal dalam tradisi orang Arab saat itu.
Secara umum, tujuan beliau menikahi banyak istri adalah untuk menunjang dakwah yang beliau lakukan. Rasulullah diperintahkan untuk mendidik suatu kaum yang tidak mengenal sedikitpun tentang etika budaya dan peradaban agar bisa berandil dalam membangun masyarakat. Namun disisi yang lain, prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat Islam tidak memperkenankan kaum lelaki untuk bercampur baur dengan kaum wanita, sehingga nabi tidak mungkin mendidik kaum wanita secara langsung. Padahal kebutuhan mendidik kaum wanita tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan mendidik kaum laki-laki, bahkan lebih penting.
Jadi tidak ada jalan lain bagi Nabi saw kecuali memilih wanita yang memiliki cukup umur dan kemampuan yang beragam untuk mencapai tujuan ini. Beliau mendidik mereka dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum dan syariat serta pengetahuan Islam, sehingga mereka siap mendidik kaum wanita, baik yang tinggal di pedalaman maupun yang tinggal di kota, yang tua maupun yang muda. Mereka sudah cukup mewakili untuk tugas dakwah kepada seluruh kaum wanita. Ummahatul Mu’minin (istri-istri Rosulullah saw) mempunyai jasa besar dalam mentransfer keadaan rumah tangga beliau, terutama yang berumur panjang, seperti Aisyah. Dia telah banyak meriwayatkan perbuatan dan perkataan beliau.
D. SISTEM PEMBINAAN RUMAH TANGGA NABI
Kebiasaan rasul pada waktu pagi adalah mengunjungi istri-istrinya untuk memberikan petuah dan menanamkan ajaran agama. Sedangkan waktu untuk mengobrol atau bercumbu, beliau biasa melakukannya pada malam hari. Kalau sedang berada di rumah, beliau sering membantu istrinya. Tentang sifatnya di rumah, ‘Aisyah mengomentari: “ Beliau tidak pernah memukul siapa pun, baik itu istri-istrinya maupun pembantunya”. Ketika diajukan pertanyaan apa saja yang dilakukannya di rumah, ‘Aisyah menjelaskan: “ Beliau selalu siap membantu istrinya. Jika tiba waktu shalat, beliau langsung beranjak untuk menunaikan shalat tersebut. Rasul sering menjahit sendiri pakaiannya yang sobek atau sandalnya, mengisi ember, memeras susu kambing, dan melayani dirinya sendiri bila mau makan. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukannya pada waktu-waktu tertentu, terkadang dikerjakannya sendiri atau bersama istrinya, meskipun dia punya pembantu.” Selain itu, Rasulullah juga ternyata sering bercanda dengan istrinya, terutama dengan ‘Aisyah.
Adapun mengenai keadilan terhadap istri-istrinya, hal itu tampak sekali dalam beberapa kejadian. Misalnya, apabila rasul akan bepergian (yang tidak mungkin dilakukan dengan semua istri-istrinya), beliau mengundi mereka. Tak pernah sekalipun beliau menentukan langsung atau memilih salah seorang diantara mereka. Keadilan rasul juga tampak dalam hal menggilir istri-istri. Riwayat yang bersumber dari ‘Aisyah menyebutkan bahwa beliau tidak pernah megistimewakan sebagian mereka dalam hal giliran. Selain itu, beliau juga selalu adil dalam pemberian nafkah dan membagi cinta kasihnya pada para istri
Rasulullah memang merupakan profil seorang suami dengan sifat-sifatnya yang utama, penuh keteladanan, berwibawa, dan sangat santun. Tetapi itu bukan berarti dalam rumah tangga nabi sama sekali tidak pernah terjadi konflik. Rumah tangga nabi, sebagaimana rumah tangga yang lain, sering diwarnai gejolak konflik, seperti kemarahan salah satu pihak atau kecemburuan. Abu Dawud dan An-Nasa’I meriwayatkan bahwasanya ‘Aisyah becerita: “Aku belum pernah menemukan orang yang pandai memasak ( untuk nabi, dan disuruhnya seseorang untuk mengantarkannya pada beliau ) kecuali Shafiah, padahal nabi sedang gilirannya di rumahku. Darahku naik bagaikan memenuhi rongga dadaku sampai terasa sesak dan tubuhku gemetar. Akibat perasaan cemburu yang tak terkendalikan itu, maka segera kubanting mangkoknya yang berisi makanan itu.” Menanggapi kecemburuan ‘Aisyah itu, nabi dengan sangat bijak hanya berkata dengan tenang: “Piring harus diganti piring, makanan harus diganti makanan”.
‘Aisyah memang sangat pencemburu, terutama dengan Khadijah yang selalu disanjung nabi. ‘Aisyah bercerita: “Pernah suatu kali nabi menjanjung Khadijah di depanku. Maka meledaklah lahar cemburu dalam hatiku. Lalu akau mengatakan kepadanya: Bukankah dia hanya seorang perempuan tua bangka tak bergairah ?? Kelebihan apakah yang dimiliki perempuan itu ?? Padahal Allah telah meberikan gantinya untukmu yang lebih dalam segala-galanya dibanding dia ?? Mendengar ucapanku, Rasul marah tak terkira, sampai anak rambut di bagian dahinya meremang lantaran kemarahan yang luar biasa itu. Kemudian beliau berkata: Tidak !! Demi Allah tidak ! Allah tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan lain yang lebih baik dari Khadijah. (Tahukah kau) dia beriman kepadaku tatkala orang lain menentang risalahku. ( HR. Ibnu Atsir)
Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, konflik yang sangat besar terjadi ketika para istri nabi mengelompokkan diri menjadi dua kubu yang salaing bermusuhan satu sama lain. Kelompok pertama ialah ‘Aisyah beserta sekutnya, yaitu Hafsah, Shafiyah, dan Saudah. Sedangkan kelompok yang kedua dipimpin oleh Ummu Salamah dengan para anggota: Zainab, Ummu Habibah, dan Juwairiyah. Dua kelompok ini timbul karena api cemburu dan berbagai latar belakang lainnya. Terhadap hal ini, nabi pun menyikapinya dengan sangat bijak dan sabar hingga akhirnya dua kubu tersebut dapat diperdamaikan.
Begitulah, dalam membina rumah tangganya, fungsi seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga sangat nyata dipraktekkan oleh rasul. Beliau selalu mendengar aspirasi para istrinya, tetapi pengambilan keputusan tertinggi dan kewenangan mengatur rumah tangga tetap ada padanya. Acap kali istri-istri beliau mempergunakan kebebasan dalam berbicara, sedangkan beliau mendengarkan, menjawab, dan menyampaikan pendidikan. Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, rasul selalu berusaha membimbing dan mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk bertakwa kepada Allah. Inilah mengapa rumah tangga rasul, meskipun sering terjadi konflik intern, tetap utuh dan stabil. Pemandangan ini sangat kontras perbedaannya dengan apa yang terjadi dewasa ini sebagai akibat arus feminisme ajaran barat, dimana fungsi kepemimpinan suami sudah tidak ada lagi dalam rumah tangga. Akibat hilangnya fungsi kepemimpinan suami itu, maka dalam rumah tangga tidak ada lagi pihak yang punya kewenangan untuk mengambil keputusan tertinggi. Rumah tangga pun menjadi sangat tidak stabil dan konflik yang terjadi seringkali berakhir perceraian.
Bagaimanapun, keluarga adalah sebuah organisasi kecil yang, mau tidak mau, pasti akan butuh adanya pemimpin. Ini bukan persoalan bias gender atau tradisi patriarkhi, tetapi kenyataan watak kebutuhan dari sebuah organisasi bernama keluarga yang tak mungkin bisa kita pungkiri. Oleh karena itu, sangat tepat sekali ajaran Islam yang mengajarkan dan menetapkan bahwa suami berfungsi sebagai pemimpin rumah tangga. Hanya saja, dalam hal menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang suami harus mampu bersikap bijak dan adil, sebagaimana yang tampak dalam pribadi rasul. Suami juga tidak boleh menindas istrinya, membuatnya tertekan, apalagi sampai menyakitinya secara fisik. Apabila kita mampu menerapkan prnsip-prinsip pembinaan rumah tangga nabi dalam kehidupan rumah tangga modern, maka maraknya persoalan pertikaian dan perceraian dalam kehidupan berkeluarga akan dapat teratasi
Abu Ya’la meriwayatkan dari Aisyah RA. Ia pernah berkata
“Aku mendatangi Rasulullah sambil membawa tepung yang sudah kumasak, lalu aku berkata kepada Saudah, dan beliau berada diantara diriku dan Saudah. ”Makanlah?, namun Saudah enggan. Maka aku berkata lagi “kamu makan atau harus aku polesi wajahmu dengan tepung ini !, saudah tetap enggan. Tiadk mau makan ! ? maka kuletakkan tangunku didalam tepung dqan kupolesi wajah saudah dengannya, Rosulullah tertawa melihat tingkaha kami berdua. Beliau meletakkan tangannya didalam tepung seraya berkata “ ayo polesi wajah Aisyah !”, saambil tertawa kepada Saudah.
KEADILAN ROSULULLAH DALAM NAFKAH LAHIR DAN BATHIN
Rosulullah adalah profil manusia dengan-sifat-sifatnya yang utama,penuh keteladanan terpuji untuk kemanusiaan dalam hal perlakuan terhadap para istri sercara bijak dan adil dalam memberikan gilirankepada mereka pada waktu malam,adil dalampemberian nafkah,cinta kasih serta sikap santundan sabar ketika menghadapi mereka yang sedang marah atau cemburu. Kondisi apapun yang dihadapinya ,selalu diterima denganpembawaan tenang dan penuh kasih seraya menasehati mereka dengan baik.
Adapun mengenai sifat keadilanterhadap istrinya, tampak sekali dalm beberapa kejadian,umpamanya apabila rosul akan bep-ergian(yang tidak mungkin dilakuakan dengan semua istrinya) beliau mengundi mereka.tidak pernah beliaumenentukan langsung atau memilih mereka untuk menemaninya dalam perjalannya.walaupun ada yan g mencalonkan diri secara loangsung kepada nabi,Belia tetap menoloknya. Tetapi bila musim haji datang maka Nabi mengajak mereka semua bersama-sama.
Ketika Nabi menderita sakit,dan itulah sakit yang terakhir bagi Nabi,beliau tetap menggilir para istrinya setiap hari sebagaimana biasanya. Tetapi ketika semakin parah dan nabi tidak terlalu ingt lagi harus kepada siapa tiba gilirannya untuk istrinya, maka nabi memutuskan untuk tinggal disalah satu rumah istrinya dengan cxara meminta ijin terlebih dahulu pada para istri yang akhirnya di ijinkan yaitu tinggal di rumah Aisyah dan Nabi meninggal dunia disitu pula.
Riwayat lain yang bersumberkan dari Aisyahm menyebutkan bahwa Rosulullah tidak mengistimewakan sebagian mereka dari sebagian yang lain dalam hal bergilir. Pada waktu sehat Nabi selalu mengunjungi mereka walaupun tidak keperluan tertentu.
Beliau juga tidak memberikan hak-hak istimewa terhadap Aisyah dibandingkan dengan istri-istri yang lainnya,baik dari segibelanja maupun bergilir,walaupun diantara mereka ada perbedaan tingkah laku,penampilan,kecerdasan dan keturunan. Dalam hal gilir tersebut Rosulullah berkata “Ya Alloh, hanya inilah kemampuankudalam membasgi secara adil.janganlah Engkau menganggapku jahat dengan apa yang Engkau mi8liki,sedangkan aku tidak memilikinya”.
Sudah menjadi tabiat manusia bahwa keadilan yang dimiliki orang lainpun dapat menimbulkan iri dan dengki,dengan pengajuan yang lebih banyak dibandingkan dengan Hak mereka.padahal pada sisi yang lain tindakan kelaliman telah menyebabkan mereka terdiam,terutama kaum perempuan.
Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah tatkala para istri menuntut nabi untuk menaikkan taraf pemberian nafkah, yang mana hal itu menyebabkan Nabi terasa tersiksa dengan sikap mereka. Maka turunlah Wahyu Alloh yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab :28-29.
Artinya “ wahai Nabi beritahukan kepada istri-istrimu ! jika kamu menginginkan kehidupan dunia dengan segala bentuk perhiasannya,silakan ! akan aku berikan kepadamu hadiah (mut’ah)tetapi aku akan menceraikan kamu dengan baik.dan jika kamu mengharapkan Ridho Alloh SWT dan Rosul-NYA serta kesengan di negrti akhirat, maka sesungguhnya Alloh menyediakan pahala yang besar bagi siapapun yang berbuat baik diantara kamu”.
Nabi tidak pernah membedakan antara istri-istrinya dalam soal apapun.namun dalam hal ada orang yang memberi hadiah kepadanya,dan kebetulan Nabi sedang berada dirumah Aisyah,maka seolah Aisyah lebih istimewa.kebetulan hal ini diketahui istri yang lain dan dianggap hal ini adalh tidak adil dalam hak dan kehormatan.padahal pembedaan dan pengurangan hahk-hak ini terjadi bukan dilakukan Nabi dengan sengaja,melainkan orang yang ingin memberikan hadiah ini sengaja menunggu sampai Nabi berada dirumah Aisyah.Namun betgitu Nabi tetap memberikan bagian kepada yang lainsecara adildan merata.diantara istri-istri beliau terkadang ada juga yang menuntut bagiaqnnya dengan mengeluarkan perkataan yang kasar,sehingga acap kali Nabi mendiamkannya dengan cara yang tidak mereka sukai.
BAB III
KESIMPULAN
Rumah tangga yang dibina oleh nabi adalah sebuah cermin rumah tangga yang ideal. Rasulullah sebagai suami selalu bersikap sabar, arif, dan bijaksana kepada para istrinya. Demikian pula para istri beliau, sebagai istri, mereka sangat setia, qana’ah, sabar, tawadlu’, dan selalu memenuhu hak-hak suaminya. Kedua pihak, suami dan istri, bekerjasama dengan sangat solid dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keluarga Rasul dapat hidup secara stabil dan solid karena yang menjadi pijakan beliau dan para istrinya dalam membina rumah tangga adalah nilai-nilai Islam.
Rasulullah mempunyai istri sebelas orang, dan putra-putri beliau berjumlah tujuh orang. Meskipun nabi beristri banyak, beliau dapat bersikap adil pada mereka, baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, maupun dalam hal meberikan nafkah lahir dan batin. Tuduhan yang dilontarkan para orientalis bahwa Muhammad adalah seorang sex maniac, tak pernah puas meski sudah beristri banyak, dan air liurnya selalu mengalir bila melihat wanita adalah merupakan tuduhan yang bukan hanya tidak ilmiah, tapi juga sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun. Tuduhan itu gugur dengan sendirinya karena sejarah membuktikan secara jelas bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh Rasulullah mempunyai tujuan dan hikmah sendiri-sendiri, yang kesemuanya itu berpulang pada tujuan untuk menunjang dakwah Islam yang diemban olehnya, bukan untuk tujuan sex saja.
Dalam rumah tangganya, Nabi adalah seorang pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Sebagai pemimpin rumah tangga, beliau tidak pernah bertindak semena-mena kepada para istrinya, apalagi sampai yang menjurus ke fisik. Beliau juga mampu dengan sangat baik menunaikan tugas utama kepemimpinan suami, yaitu membimbing seluruh anggota keluarganya menuju ketakwaan pada Allah SWT. Bukti kesuksesannya dalam membina rumah tangga adalah stabilitas rumah tangga yang beliau bina. Sebagai pemegang keputusan tertinggi rumah tanggnya, Rasulullah selalu bersikap sangat aspiratif, arif, bijaksana, dan adil. Hal ini tampak misalnya saat beliau menyelesaikan konflik internal keluarga.
Sistem pembinaan rumah tangga beliau ini sangat baik bila dijadikan contoh bagi pembinaan keluarga-keluarga modern yang mengalami krisis. Sebab utama dari maraknya family conflict yang terjadi dalam rumah tangga-rumah tangga modern saat ini adalah karena semakin jauhnya sistem pembinaan keluarga dari nilai-nilai keislaman. Padahal, baik tidaknya kehidupan rumah tangga dapat menjadi penentu baik tidaknya kehidupan masyarakat secara umum. Sehingga solusi yang paling tepat untuk mengatasi itu semua adalah dengan menerapkan kembali secara utuh prinsip-prinsip pembinaan rumah tangga menurut Islam sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah.
Pelajaran-pelajaran (‘ibrah) yang bisa kita petik dari studi terhadap rumah tangga Rasulullah untuk kita terapkan dalam mengatasi krisis keluarga modern diantaranya adalah:
1. Tujuan utama membentuk rumah tangga adalah untuk mencari keridhaan Allah dan menciptakan pola hidup yang islami secara bersama-sama. Dengan memahami prinsip ini, rumah tangga yang dibina insya Allah akan sakinah, mawaddah wa rahmah, dan akhirnya akan dapat menghasilkan generasi berikutnya yang terdidik baik, punya integritas tinggi, dan bermoral.
2. Tujuan membentuk rumah tangga bukanlah untuk pemenuhan kebutuhan seks atau materi semata. Banyak orang-orang sekarang yang ketika mencari istri atau suami pertimbangan utamanya adalah aspek-aspek seksualitas dan materinya saja, sedangkan aspek-aspek lainnya, seperti agama dan akhlak seringkali dilupakan. Akibatnya, rumah tangga yang dibangun pun menjadi sangat rapuh dan rentan konflik.
3. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga yang wajib memberi nafkah, melindungi, dan membimbing anggota keluarganya menuju ketakwaan pada Allah dan Rasul-Nya. Meskipun begitu, suami tidak boleh bertindak semena-mena, karena baik suami, istri, maupun anak, masing-masing mempunyai hak sendiri-sendiri, yang hak itu harus dihormati oleh pihak lain.
4. Pihak istri, walaupun dia berhak atas nafkah dari suami, tidak boleh terlalu mementingkan kehidupan duniawi. Dia harus mau mensyukuri hasil kerja maksimal suami meskipun itu sedikit. Istri yang terlalu menuntut suami dalam hal materi dapat menyebabkan pihak suami akhirnya mencari jalan pintas dengan mencari materi melalui cara-cara yang tidak halal.
5. Rumah tangga berjalan diatas prinsip-prinsip keadilan, kerja sama, saling menasehati, dan saling melengkapi satu sama lain. Kedua belah pihak harus senantiasa saling bantu-membantu dan bahu-membahu dalam mengarungi suka duka kehidupan rumah tangga secara bersama-sama.

DAFTAR PUSTAKA
- Sa’id Hawwa, Al-Asas fi al-Sunnah wa Fiqhiha, al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz 3, Kairo: Dar al-Salam, 1995
- Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthiy, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Dirasah Manhajiyyah ‘Ilmiyyah li Sirat al-Musthafa ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam wa Ma Tanthawi ‘alaihi min ‘Idzat wa Mabadi’ wa Ahkam, Kairo: Dar al-salam, 1997
- Karen Armstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet (terj.) Sirikit Syah, Muhammad sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2002
- Abdullah Najib Salim, Mawaqif Insaniyyah fi al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1994
- Muhammad Sayyid Kailani, ‘Ain al-Yaqin fi al-Sirati Sayyidi al-Mursalin, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t. t.
- Imam Majd al-Din Ibnu Dihyah, Nihayat al-Suul fi Khasha’ishi al-Rasul, Qatar: Idarah al-Syu’un al-Islamiyyah, 1995
- Al-Syaikh Abdul Hamid al-Khatib, Al-Anwar al-Saniyyah ‘ala al-Durar al-Bahiyyah, Jeddah: Al-Haramain, t. t.
- Muhammad Husain Haekal, Hayatu Muhammad, (terj.) Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 1990
- Musthafa al-Siba’i, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Durus wa ‘Ibar, t. t. : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, t. t.
- Shafiy al-Rahman al-Mubarakfury, Al-Rahiq al-Makhtum (terj.) Aunur rafiq Saleh, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 1998

2 komentar:

mas_fahmi mengatakan...

wooooww..nduwe blog juga tho..ora ngomong-ngomong..kunjungi blogku mas...http://masfahmi.blogspot.com/

Unknown mengatakan...

ijin share kang , buat tugas :D