Selasa, 19 Februari 2008

NUSAKAMBANGANISASI KORUPTOR
OLEH: M. LUBABUL MUBAHITSIN


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

PENDAHULUAN
Dalam salah satu wawancara di SCTV, Menteri Kehakiman dan HAM yang baru dari kabinet SBY, Hamid Awaluddin, melontarkan sebuah terobosan yang mencengangkan sebagai salah satu program seratus hari pertamanya. Terobosan tersebut adalah berupa kebijakan untuk me-Nusakambang-kan semua koruptor yang kasusnya telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrahcht van gewijsde). Tujuannya adalah untuk memberikan efek moral bahwa koruptor itu bersalah dalam perspektif hukum dan harus diisolasi dari masyarakat. Itu pula yang, menurutnya, diinginkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya, kan, pembantu presiden," kata Hamid. Bahkan ia menantang masyarakat untuk menyaksikan bagaimana ia akan merealisasikan janjinya. “Keep my words”, tantangnya.
Terbukti, tidak lama setelah itu, Hamid segera merealisasikan janjinya. Satu persatu dari koruptor yang perkaranya telah mendapat kekuatan hukum tetap mulai dipindahkan ke Nusakambangan, sebuah pulau indah yang selama ini dikenal dengan sebutan “pulau penjara”. Dipilihnya pulau Nusakambangan sebagai tempat untuk kejahatan yang terorganisir dan berbahaya, misalnya teroris, koruptor, kelompok separatis dan lain-lain, adalah mengingat kondisi geografis pulau ini yang dapat menyebabkan terpidana menjadi benar-benar terisolasi dari masyarakat. ''Ini bukan terapi kejut tetapi menjadi keyakinan saya bahwa koruptor harus diisolasi dari masyarakat agar mereka jera,'' katanya menambahkan.
PEMBAHASAN
Sebagai salah seorang pakar hukum, Hamid Awaluddin tidak perlu lagi diragukan kemampuannya. Apalagi disertasinya di American University Washington DC memang khusus membahas tentang narapidana, yaitu “Hak Asasi Napi dan Tapol”. Sehingga keilmuannya dalam masalah penanganan narapidana bisa dibilang sangat mumpuni. Tapi kebijakannya untuk me-Nusakambang-kan para koruptor ini tetap layak untuk dikritisi. Karena kebijakan ini terlampau cepat dikeluarkan; tanpa pertimbangan dan sharing dengan berbagai pihak terlebih dahulu, sehingga seolah terkesan hanya merupakan terapi kejut (shock therapy) saja.
I. Memahami Tipologi Kejahatan Korupsi
Selama ini masyarakat lebih suka memahami kejahatan hanya sebatas pada pembuhuhan, pencurian, pemerkosaan, dan yang sejenisnya, yang sebenarnya tidak memakan korban banyak. Tetapi jenis kejahatan yang lebih luas lingkupnya, dan dalam banyak hal lebih merusak, hanya sedikit mendapat perhatian. Jenis kejahatan ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh “orang-orang berdasi” atau penyalahgunaan kepercayaan oleh orang yang pada umumnya dipandang sebagai warga jujur dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kerugian yang ditimbulkan oleh para penjahat berdasi, terkadang jauh lebih merusak daripada kejahatan-kejahatan konvensional yang ditakuti oleh masyarakat. Salah seorang ahli sosiologi Edwin H. Sutherland pada tahun 1940, mengistilahkan kejahatan jenis ini dengan sebutan ‘white collar crime’, sebagai pembeda dengan kejahatan tipe ‘blue collar crime’ atau ‘street crime’ yang biasanya beraroma kekerasan.
Korupsi yang saat ini telah menjadi sebuah “extra ordinary crime” di negara ini, tentu sangat berbeda karakteristiknya dengan kejahatan biasa, baik dalam modus operandinya, pelakunya, maupun penanganannya. Bila mengikuti pembagian kejahatan yang dilakukan oleh Sutherland diatas, maka kejahatan korupsi termasuk ke dalam kategori ‘white collar crime’ atau ‘kejahatan kerah putih’. Istilah ‘white collar crime’ ini selalu disebut untuk membedakan dengan street crime, yakni jenis kejahatan yang sering diartikan menggunakan kekerasan atau crime using force dan sering terjadi di jalanan. Modus operandi kejahatan ini diwarnai dengan kekerasan. Salah satu ciri yang membedakan kejahatan orang berdasi dengan crime using force adalah penjahat berdasi selalu membutuhkan ilmu pengetahuan untuk merekayasa dan bergerak pada jenis kejahatan mereka.
Di satu sisi, karena kejahatan korupsi biasa melibatkan kaum intelektual, maka, dalam perspektif kriminologi, penanganannya tidaklah sama dengan kejahatan yang biasa melibatkan penjahat konvensional. Akan tetapi, di sisi yang lain, masyarakat kita menghendaki agar para koruptor yang telah menjadi terpidana diperlakukan secara sama rata dengan, atau bahkan jauh lebih berat dibandingkan maling ayam dan penjahat-penjahat biasa lainnya. Oleh karena itu, untuk menangani kejahatan jenis ini, dibutuhkan suatu formula ekstra yang harus dirancang secara cermat, agar tujuan berupa aspek keadilan di mata masyarakat dan kemanfaatan bagi diri pelaku dapat tercapai secara bersamaan.
II. Nusakambanganisasi Koruptor Sebagai Cara Pemberantasan Korupsi
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Hamid Awaluddin untuk me-Nusakambang-kan para koruptor sudah bisa dibilang bagus. Hal ini bisa menjadi efek penjeraan bagi terpidana sendiri, sebab ia akan merasakan kehidupan yang benar-benar terisolasi dari keluarga dan masyarakat. Hal ini tercermin, misalnya, dari pernyataan Pande N Lubis, mantan wakil ketua BPPN yang kesandung kasus korupsi dana cessie Bank Bali Rp. 546 miliar, pindahan dari Lapas Cipinang dan kini menghuni salah satu sel di LP Permisan, Nusakambangan. Ia benar-benar merasa kesepian dan terpukul dengan kebijakan Hamid tersebut, sebab keluarga yang dulunya menjenguk seminggu dua kali saat di LP Cipinang, kini menjadi sangat jarang sekali, karena faktor jauh dan sulitnya Nusakambangan untuk dijangkau. Apalagi, selain HP-nya telah disita oleh petugas, di situ juga memang tidak ada signal untuk HP, HT, dan televisi. Jadi, ia benar-benar merasa terisolasi dan sengsara.
Selain itu, kebijakan tersebut juga bisa memberikan fungsi preventif, agar pejabat lain menjadi takut untuk berbuat korupsi karena takut untuk di-Nusakambang-kan seperti yang sudah-sudah. Bagaimanapun, selama ini Nusakambangan masih memiliki ‘image’ yang sangat menyeramkan di mata masyarakat, meskipun pada kenyataannya belum tentu demikian. Terpencilnya pulau, banyaknya hewan liar, sulitnya melarikan diri, kerasnya para sipir penjara, dan ‘image’ negatif lainnya tentu membuat bulu kuduk siapapun akan bergidik bila kemudian harus tinggal di sana. Kabar yang beredar bahwa “Nusakambangan bukan hanya penjara bagi terpidana saja, tapi juga para petugas penjara”, jelas akan menambah bayangan betapa seramnya pulau tersebut. Bahkan Johny Indo yang sudah sangat kaliber pun harus takluk dan menyerah menghadapi seramnya pulau itu.
III. Menimbang Efektivitas Program ‘Nusakambanganisasi’ Koruptor
Bila dilihat dari sudut pandang daya isolasi-nya dari keluarga dan masyarakat, Nusakambangan memang sangat menjanjikan. Hal ini jelas akan sangat membuat mental para koruptor tertekan dan karenanya diharapkan ia jera. Tapi ini juga dapat menciptakan hal yang bersifat kontra produktif. Yaitu jika akses wartawan untuk mempublikasikan mereka menjadi terbatas. Wartawan, tentunya, tidak akan merasa leluasa lagi untuk meliput mereka, mengingat kondisi geografis dan ketatnya pengamanan pulau tersebut. Sedangkan, hal yang paling menakutkan bagi para pejabat yang berbuat korup, adalah jika mereka dipublikasikan secara luas ke masyarakat. Mereka sangat takut namanya tercemar, sebab selama ini mereka umumnya adalah termasuk golongan orang terhormat dan berkedudukan.
Sikap Duryani (korupsi kredit macet Koperasi Usaha Tani sebesar Rp 979 juta) dan Dedi Abdul Kadir (mantan Kacab PT Pertani/Persero Sukabumi yang dipidana karena korupsi Rp 2,45 miliar) yang mau diwawancarai tapi ketakutan saat akan difoto, jelas menunjukkan betapa tertekannya perasaan mereka jika sampai dikenal keluarga dan masyarakat sebagai koruptor. “Malu kalau dilihat anak cucu”, kilah mereka. Mengingat hal yang paling menakutkan bagi mereka pada hakikatnya adalah publikasi, maka sikap para petugas yang kurang memberi akses pada wartawan untuk meliput mereka, dapat menjadi faktor yang sangat signifikan dalam mengurangi efektifitas penjeraan bagi para koruptor itu.
Publikasi para koruptor (terutama sekali tindakan korupsinya itu), akan dapat efektif untuk memberantas perilaku korupsi yang saat ini telah merasuki hampir semua lapisan masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori ‘reintegrative shaming’, yang dikemukakan oleh J. Braithwaite. ‘Shaming’ yang dimaksud oleh Braithwaite di sini bukanlah sekedar rasa malu saja, sebab ‘shaming’ yang dikehendaki adalah: “all social processes of expressing disapproval which have the intention of effect of invoking remorse in the person being shamed and/or condemnation of others who became aware of the shaming.” Dalam hal ini, yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang dikutuk bukanlah koruptornya, tapi tindakan korupsinya. Sehingga apa yang dikatakan Awaluddin bahwa tujuan dari Nusakambanganisasi adalah untuk “memberi efek moral bahwa koruptor itu bersalah dalam perspektif hukum dan karenanya harus diisolasi dari masyarakat”, menjadi kurang tepat.
The distinction Braithwaite makes between stigmatic shaming and reintegrative shaming is crucial. Braithwaite is firmly opposed to stigmatic shaming and sees it as likely to be counter-productive. Reintegrative shaming, on the other hand, is seen as likely to be effective in controlling crime. It means that the offence rather than the offender is condemned and the offender is reintegrated with rather than rejected by society. The problem here is the difficulty of putting this ideal of reintegrative shaming into practice.

Dengan adanya publikasi tersebut (yang berisi kecaman terhadap korupsi), maka keadaan beberapa anggota masyarakat yang telah menganggap korupsi sebagai hal yang wajar, dapat diluruskan kembali.
Selain itu, seramnya ‘image’ Nusakambangan yang sempat menurun drastis saat Tommy dan Bob Hasan mendapatkan fasilitas istimewa, hendaknya dipulihkan kembali. Agaknya, pengakuan Duryani yang mengatakan bahwa Nusakambangan ternyata tidak seseram yang ia bayangkan, bahkan ia merasa ‘enak’, patut untuk digaris bawahi. Sebab jika pulau Nusakambangan sampai berubah ‘image’-nya, maka fungsi preventif dari kebijakan Hamid tersebut bisa dipastikan akan hilang. Jangan sampai masyarakat berpikiran bahwa Lapas Nusakambangan dan Lapas lainnya sama saja. Karena jika masyarakat sampai berpikiran demikian, kebijakan pemindahan tersebut tidak akan ada artinya, selain hanya untuk ‘sensasi’ semata.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pola pembinaan bagi para pelaku kejahatan korupsi yang merupakan “white collar crime” dan pelaku kejahatan lainnya haruslah dibedakan. Edi Wahyu Nugroho, Kepala Keamanan LP Batu, menyatakan:
"Aturannya sama, mereka akan dikurung di sel hingga setengah hukuman dijalani, setelah itu model pengamanan masuk tahap medium security. Jika sudah menjalani 2/3 masa hukuman, akan pula berkesempatan keluar dari tembok penjara untuk menjalani pembinaan ketrampilan seperti membuat batu akik atau bertukang kayu dan sebagainya. Yang khusus itu pengamanannya, sedangkan hak-hak lainnya sama dengan napi lain.

Apa yang dikatakan Edi di atas, sangat perlu untuk ditinjau ulang. Contohnya, pembinaan ketrampilan berupa “pembuatan batu akik” bagi para koruptor yang umumnya adalah pejabat, tentu sangat menggelikan dan bisa dipatikan tidak akan ada manfaatnya sama sekali sekembalinya ia nanti dari tahanan. Untuk perlakuan boleh sama, tapi tidak dalam hal pola pembinaannya, sebab tipikal kejahatannya memang berbeda. Oleh karena itu, sebelum para koruptor itu dipindahkan, sebenarnya masih perlu persiapan konsep dan program yang matang terlebih dahulu. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa kebijakan Hamid adalah sebuah kebijakan yang tergesa-gesa dan lebih terkesan hanya mencari sensasi saja.
Selain itu, agaknya perlu dicermati pula bahwa korupsi adalah masalah yang multi komplek. Pemindahan para napi koruptor ke Nusakambangan, bila tidak diikuti oleh upaya penanggulangan lainnya yang bersifat “non-penal policy”, jelas tidak akan ada artinya. Prof. Sudarto pernah menyatakan:
Suatu “clean government”, dimana tidak terdapat atau setidak-tidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bisa diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Karena itulah, penanganan korupsi tidak mungkin dilakukan dengan perangkat hukum saja. Yang jauh lebih penting adalah justru penciptaan budaya tanggung jawab dan transparansi (culture of responsibility and transparency) dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya terakhir ini akan semakin tampak urgensinya, jika kita mengingat teori ‘Differential Association”-nya Sutherland yang menegaskan bahwa tingkah laku kriminal -- termasuk korupsi -- dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
Sutherland’s theory put forward the notion that criminal behavior is learned behavior. In simply terms, Sutherland’s theory of differential association classifies all forms of criminal behavior as learned and copied. Public officials learn to be corrupt by observing their coworkers and justifying their acts as being normal behaviour in their particular environments.

Korupsi adalah kejahatan yang timbul karena konstruksi sosial yang memang bersifat kondusif bagi perkembangan kejahatan itu. Karena itu, dalam penanganannya, hendaknya lebih difokuskan pada penciptaan iklim anti korupsi, yang nantinya dapat mengikis kejahatan tersebut dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan sekedar memindahkan napi koruptor ke Nusakambangan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara umum, apa yang dilakukan Hamid Awaluddin untuk me-Nusakambang-kan koruptor bisa dikatakan sudah baik. Kebijakan tersebut, selain dapat memberikan fungsi pembalasan dan penjeraan bagi terpidana, juga memiliki fungsi preventif (general prevention of crime). Kebijakan tersebut akan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat yang selama ini menghendaki agar para koruptor dihukum yang seberat-beratnya, bahkan kalau perlu hukuman mati. Tapi, meskipun tempat dan hukumannya sama dengan kejahatan lain sama, hendaknya pola pembinaan untuk para koruptor dibuat lain, mengingat karakter kejahatan ini yang termasuk “white collar crime” yang tentunya membutuhkan penanganan dan pembinaan yang berbeda dari kejahatan biasanya.
Tapi kebaikan dari kebijakan ini dapat berubah menjadi keburukan, jika sampai akses masyarakat dan wartawan untuk mengetahui kehidupan mereka di sana menjadi terbatas, atau bahkan sengaja dibatasi. Sebab, yang sesungguhnya paling menakutkan bagi para koruptor yang umumnya merupakan pejabat, adalah jika nama mereka tercemar, sehingga kedudukan mereka yang tadinya terhormat di mata masyarakat dapat berubah menjadi sangat hina. Inilah momok dan tekanan psikologis terbesar bagi mereka. Seandainya akses wartawan menjadi terbatas, maka para koruptor justru akan bisa mendapatkan ketenangan dengan pemindahan mereka, sebab tidak lagi diliput oleh wartawan.
B. SARAN
Berdasarkan paparan diatas, agar kebijakan tersebut bisa efektif dalam rangka menganggulangi korupsi, hendaknya diupayakan langkah-langkah berikut:
Ø Harus ada persiapan matang dari segala aspek, baik tempat, petugas, maupun sistemnya secara umum.
Ø Akses masyarakat, khususnya wartawan, untuk mengontrol dan mengetahui kehidupan para koruptor di Nusakambangan harus diperluas, agar mereka bisa merasa malu. Bahkan kalau perlu, ada publikasi berkala di media massa tentang data-data lengkap beserta foto pejabat yang terbukti korup. Akses ini, selain dapat memberikan tekanan mental bagi koruptor, juga dapat mencegah terjadinya ‘secondary corruption’ berupa ‘perlakuan istimewa’ bagi koruptor.
Ø Pola pembinaan yang diberikan untuk para koruptor harus dibedakan dengan pembinaan yang diberikan pada penjahat lainnya.
Ø Jangan ada perlakuan istimewa bagi para koruptor, baik dalam hal pidana maupun pelaksanaan pidananya, sebab dapat mengakibatkan timbulnya “disparitas pidana.”
Ø Kebijakan ini harus ditopang dengan tindakan-tindakan dan upaya-upaya lain yang bersifat ‘non-penal approach’.

Tidak ada komentar: