Selasa, 19 Februari 2008

ANALISIS ATAS UU KPTPK
Oleh: Muhammad Lubabul Mubahitsin


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

PENDAHULUAN
Di Indonesia, korupsi telah menjadi sebuah ‘extra ordinary crime’, sehingga penanganannya pun harus lain dari penanganan kejahatan biasa. Perundangan yang mengatur kejahatan ini sendiri sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Perpu No. 24/Prp/1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 24/1960 (Era Orde Lama), UU No. 3/1971 (Era Orde Baru) yang menggantikan UU No. 24/1960, UU No. 31/1999 (Era Reformasi), sampai peraturan yang terbaru, UU No. 20/2001. Regulasi ini mengalami perubahan dari peraturan yang satu ke yang sesudahnya tujuannya adalah untuk menyesuaikan diri dengan berkembangnya modus kejahatan ini.
Akan tetapi kejahatan ini tetap saja menampakkan eksistensinya, bahkan semakin merebak. Reformasi yang pada awalnya menjadi tumpuan harapan rakyat untuk terwujudnya Indonesia yang lebih bersih dan baik, juga ternyata tidak mampu berbuat banyak. Berkaitan dengan kegagalan tersebut, yang kemudian sering dianggap sebagai faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan ini.
Pemerintah akhirnya sadar bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan ini tidak cukup hanya digantungkan pada aparat penegak hukum saja, tetapi harus disokong oleh badan-badan lain. Maka dari itu, pemerintah kemudian membentuk beberapa komisi dalam upaya membantu pemerintah melaksanakan upaya penegakan hukum. Komisi tersebut antara lain adalah Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, dan yang paling baru, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Di samping itu, sebenarnya telah ada lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP.
Diantara komisi-komisi tersebut, yang paling menarik adalah KPTPK. KPTPK menjadi menarik untuk dikaji karena, selain merupakan komisi yang paling ‘muda’, ia sangat berbeda dengan komisi-komisi lainnya, terutama dalam hal kewenangan dan tanggung jawabnya. Komisi ini seolah merupakan tumpuan akhir dari harapan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Tak heran, bila kemudian komisi ini diberi hak dan kewenangan yang sangat besar berkaitan dengan penanganan kejahatan korupsi.
Komisi ini menjadi semakin menarik untuk dikaji karena sejak sebelum lahirnya komisi ini memang sudah mengundang pro dan kontra. UU yang mengatur tentang komisi ini juga pernah dimintakan judicial review-nya kepada MA, yang kemudian melimpahkannya ke Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu, dalam makalah ini, pertama akan dibahas mengenai pro kontra eksistensi KPTPK sebagai sebuah wacana dalam penanganan korupsi di Indonesia. Setelah itu, karena keberadaan KPTPK sangat berkaitan erat dengan UU No. 30/2002 yang juga sempat ‘kontroversial’, maka makalah ini juga akan menganalisis materi UU tersebut.

PRO KONTRA SEPUTAR KPTPK
UU No. 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dalam waktu paling lama dua tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, telah dibentuk suatu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, sebelumnya sudah banyak sekali komisi-komisi yang, pada kenyataannya, ternyata juga tidak bisa berbuat banyak. Ada Komisi Ombudsman Nasional (diketuai Antonius Sujata), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (dipimpin Adi Andojo Soetjipto), dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (dengan Sekjen Amir Muin). Lalu untuk apa dibuat komisi-komisi yang baru? Rakyat sudah capek dengan komisi ini-itu, toh pada kenyataannya hasilnya juga tidak ada yang jelas.
Karena sudah banyaknya komisi-komisi penanganan korupsi yang dibentuk pemerintah – dan terbukti tidak bisa berbuat banyak, kehadiran KPTPK sebagai pemenuhan amanat UU 31/1999 akhirnya hanya mendapat sambutan dingin dari berbagai kalangan. Bukan hanya itu, komisi ini bahkan mendapatkan ‘perlawanan’ dari KPKPN.
KPKPN merasa dikebiri perannya dengan kehadiran KPTPK karena UU 30/2002 menentukan bahwa peranan KPKPN hanya menjadi salah satu urusan dalam KPTPK, yaitu hanya bidang pencegahan (Pasal 69 ayat (1)). Penurunan fungsi dan wewenang KPKPN diduga karena resistensi pihak tertentu akibat kepentingannya terusik. Apalagi dalam praktiknya KPKPN memang banyak membongkar indikasi KKN dari laporan kekayaan para pejabat. Maka dari itu, KPKPN kemudian mengajukan permohonan dilakukannya judicial review atas UU tersebut kepada MA, yang kemudian oleh MA dilimpahkan kepada MK.
Peleburan KPKPN ke dalam KPTPK adalah kerja buru-buru dan terkesan sembrono. Dalam penjelasan UU KPTPK, alinea ke enam menyebutkan, ...pengaturan kewenangan KPTPK dalam UU ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan instansi lain... Penyebutan kata "berhati-hati" itu justru semakin menegaskan bahwa DPR tidak waspada dan hati-hati. Bila prinsip berhati-hati itu dipakai, tidak mungkin muncul kalimat rancu. Misalnya, penjelasan Pasal 6 UU KPTPK menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Artinya, KPKPN masih dianggap ada oleh UU itu. Sementara, pada pasal lain menyebut KPKPN dilebur (Pasal 69).
Kontroversi seputar KPTPK terus berlanjut, dan masalahnya pun semakin melebar, bukan hanya berkaitan dengan bagaimana eksistensi KPKPN saja. Ternyata banyak juga pihak yang menyangsikan efektitas dari keberadaan komisi ini dalam penanggulangan korupsi di negeri ini. Kebanyakan dari mereka menilai bahwa langkah untuk membentuk komisi baru adalah sebuah langkah yang terlalu boros. Dari pada membentuk komisi baru, apakah tidak lebih baik memberdayakan yang sudah ada saja, seperti KPKPN misalnya? Kapan sebuah lembaga/komisi akan efektif, kalau baru kerja sedikit dan mulai mantap saja sudah langsung diganti dengan yang lainnya? Begitulah alasan mereka yang kurang setuju dengan lahirnya KPTPK.
Kesangsian beberapa kalangan tersebut kemudian agak sedikit terjawab dengan besarnya hak dan kewenangan KPTPK. KPTPK memang punya kewenangan yang sama sekali lain daripada lembaga/komisi yang telah ada sebelumnya. Agaknya, ini adalah sebuah solusi yang didapat setelah belajar dari pengalaman kinerja lemabaga/komisi sebelumnya, agar KPTPK dapat menjalankan fungsinya secara efisien.
ANALISIS ATAS UU 30/2002
1. UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998
Dalam alasan judicial review-nya, KPKPN menyatakan bahwa UU 30/ 1999 bertentangan dengan TAP. No. XI/MPR Tahun 1998. Pertentangan krusial yang menjadi alasan judicial review KPKPN adalah, UU No 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembubaran KPKPN, sedangkan TAP. MPR No. XI Tahun 1998 mengamanatkan terbentuknya suatu lembaga pemeriksaan atas kekayaan penyelenggara negara yang dibentuk oleh Kepala Negara. Maka dari itu, berdasarkan azas lex superior derogat legi inferiori dan amanat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”, KPKPN meminta agar UU No. 30/2002 dinyatakan batal demi hukum. Tapi, apakah benar demikian adanya?
Alasan tersebut tidak tepat, karena Pasal 3 ayat (2) TAP. No. XI/MPR Tahun 1998 yang diklaim sebagai dasar adanya KPKPN ternyata tidak memberikan batasan yang jelas mengenai nama lembaga yang dimaksud. Hal ini berarti bisa lembaga mana saja yang berwenang melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Kalau memang demikian maka diberlakukanlah asas “lex posteriori derogat legi priori”, dimana dalam pengaturan hal yang sama, peraturan yang muncul kemudian mengenyampingkan peraturan yang telah ada terlebih dahulu. Maka dari itu, apa yang menjadi alasan KPKPN mengajukan judicial review sebenarnya bukanlah suatu problem hukum, karena antara UU No. 30/2002 dan Tap MPR No.XI/MPR/1998 tidak ada pertentangan apapun.
2. Kerancuan dalam UU 30/1999
Sebagaimana telah disebutkan di depan, dalam UU 30/2002 terdapat pengaturan yang rancu perihal hubungan KPKPN dan KPTPK. Misalnya, penjelasan Pasal 6 menyebutkan, yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, KPKPN dan inspektorat. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ini, KPKPN jelas masih dianggap ada oleh UU itu. Tapi pasal 69 menyebutkan bahwa KPKPN dilebur.
Pasal rancu lain adalah Pasal 71 Ayat (2) yang menyatakan: “Setelah berlakunya KPTPK, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud Pasal 10 sampai 19 UU No 28/1999, dinyatakan tidak berlaku”. Padahal, inti dari Tap MPR XI ada pada pasal-pasal yang dihapus itu. Jadi, tugas dan wewenang yang diminta Tap MPR XI agar proses pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara diatur dengan UU, dianulir dan dihapus oleh perundang-undangan yang lebih rendah.
3. Kewenangan KPTPK
UU no. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dianggap sebagai sebuah ‘karya agung’ bangsa Indonesia ternyata seringkali menghambat proses penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Berkaitan dengan itu, dan dengan didasari oleh itikad baik untuk memberantas korupsi secepatnya, pemerintah kemudian mengambil kebijaksanaan untuk melakukan terobosan-terobosan yang menyimpang dari KUHAP. Terobosan ini tampak nyata, misalnya, dalam UU 30/2002 tentang KPTPK. Semua bentuk hambatan penyelesaian kasus korupsi selama ini, diterabas UU itu. KPTPK diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
KPTPK memiliki kewenangan luas mulai dari mengoordinasi penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Atas dasar undang-undang KPTPK dibentuk pula pengadilan khusus untuk menangani perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPTPK. Di samping kewenangan tersebut, komisi juga diberi kewenangan mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang diperiksa kejaksaan/kepolisian dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 9. Salah satunya, bila ada laporan masyarakat yang menyatakan suatu perkara korupsi yang tengah diperiksa kepolisian/kejaksaan penyelesaiannya berlarut-larut. Atau ada indikasi campur tangan dari pihak lain seperti eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut bisa jadi sepintas lalu akan dapat memenuhi harapan masyarakat. Namun di sisi lain timbul pula keraguan, adakah beberapa hal yang diatur dalam UU ini justru akan menjadikan makin ruwetnya proses penanganan korupsi?
Salah satu hal yang cukup penting dikaji, seberapa tinggi kualitas SDM yang dimiliki komisi sehingga dapat mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani polisi atau kejaksaan.
Ketentuan mengenai hal ini bisa jadi sedemikian bias dan tumpang tindih dalam penerapannya, terlebih apabila dihubungkan dengan kenyataan nanti masyarakat dapat melaporkan indikasi korupsi pada lembaga yang berbeda tetapi memiliki kewenangan sama, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPTPK. Apakah dalam realita pelaksanaannya tidak menambah keruwetan?
Kekhawatiran lain berkaitan dengan kewenangan KPTPK yang bombastis ini adalah adanya kewenangan komisi melakukan penyitaan tanpa seizin ketua pengadilan negeri. Bisa jadi pembuat undang-undang berpendapat, mengingat begitu berbahaya perbuatan korupsi, dilakukan penyimpangan prosedur penyitaan agar penyitaan bisa lebih cepat dilakukan. Tapi dalam pelaksanaannya nanti, justru hal ini akan sangat rawan pelanggaran HAM apabila dilakukan oleh aparat yang memiliki kecenderungan melaksanakan penyimpangan dengan memanfaatkan peraturan.
Di samping ada kekhawatiran tersebut, KPTPK ternyata juga memberikan secercah pengharapan. Sebab, komisi ini juga bertugas memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang memberikan laporan terjadinya korupsi. Selama ini, hal yang amat tragis dan sering terjadi adalah pelapor dituduh melakukan pencemaran nama baik dan diadili terlebih dulu sebelum kasus korupsi diperiksa tuntas.
4. Prediksi atas Efektifitas UU 30/2002
UU 30/2002 memang telah disahkan, KPTPK juga sudah ada dan sedang mulai bekerja. Bukan hanya itu, KPTPK, sebagaimana telah dijelaskan di depan, punya kewenangan yang sangat bombastis. Tapi, apakah itu berarti korupsi di Indonesia akan segera teratasi dengan baik??
Satu hal yang perlu dicermati adalah, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang, KPK belum menghasilkan sesuatu yang cukup signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi. Entah apa sebabnya, karena SDM yang kurang memadai atau karena hal lain, tidak ada yang tahu pasti.
Padahal, kewenangan yang dimilikinya jauh melebihi kewenangan yang dimiliki polisi atau jaksa. KPTPK kini menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab dalam pemberantasan korupsi, hal mana dapat dilihat dari kewenangan yang mencakup pencegahan, penanganan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), koordinasi, supervisi, monitoring, memberdayakan masyarakat, menyusun jaringan, serta mengambil alih wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Sampai saat ini KPTPK masih sibuk mengurusi persoalan-persoalan intern, seperti penyusunan Kode Etik, dan beberapa persoalan ekstern yang, menurut Prof. Dr. Andi Hamzah, SH., sangat sepele. Sehingga, KPTPK bisa dikatakan belum melakukan apapun yang sifatnya konkrit berkaitan dengan penanganan korupsi. Faktor yang mungkin sangat berpengaruh terhadap hal ini adalah kurangnya SDM yang dimilki KPTPK. Karena, apa artinya kewenangan yang begitu besar, bial tidak didukung oleh kualitas SDM yang memadai. Kondisi seperti ini akan terus ada selama KPTPK belum mempunyai SDM yang memadai. Ini berarti, kita tidak bisa mendapatkan kejelasan mengenai kapan kita dapat melihat hasil kerja nyata dari komisi ini.
Selain itu, susunan orang yang duduk di KPK pun mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan, yang paling keras adalah Prof. Dr. Muladi, SH. Dalam hal ini, patut kita cermati apa yang dikatakan oleh Lasswell dan Rogow, sebagaimana dikutip oleh Syed Husein Alatas: “Institutions declining in power or prestige are more likely to attract corrupt men interested in promoting their personal fortunes than ambitious men concerned with furthering their careers.” Pertanyaannya, ada apa dibalik susunan kepemimpinan KPK yang demikian itu??
Bukan hanya itu, bila tuntutan SDM yang memadai sudah terpenuhi pun, tidak kemudian berarti bahwa korupsi di negara ini dapat teratasi dengan baik. Satu hal yang perlu dicermati dari UU 30/2002 adalah bahwa UU tersebut terlalu menekankan pada tindakan represif dalam upayanya menanggulangi korupsi di Indonesia. Meskipun dalam Pasal 1 ayat (3) UU tersebut disebutkan pula mengenai tugas ‘pencegahan’, tapi secara umum UU tersebut lebih menitik beratkan perhatiannya pada tindakan represif.
Korupsi tidak akan habis hanya dengan menyeret koruptor. Korupsi tetap akan hidup dan membebani rakyat jika hanya mengedepankan langkah represif. Apabila enam bulan ke depan KPTPK berhasil menyelesaikan pengungkapan kasus kakap sebagaimana dituntut oleh masyarakat, meskipun yang terungkap berpuluh-puluh kasus, dapat dipastikan korupsi di Indonesia masih marak.
Selama era reformasi korupsi di Indonesia bukan sekadar bersifat personal (perbuatan oknum), melainkan merambah ke peringkat yang sifatnya struktural atau bahkan kultural. Dalam berbagai kasus malahan telah menjadi sistemik, hal ini dapat terlihat dari sekian ratus kasus yang melibatkan para anggota legislatif di daerah. Pada era reformasi jauh lebih banyak koruptor yang diambil tindakan secara represif melalui proses peradilan dibandingkan masa Orde Baru, namun ternyata korupsi tidak surut. Dalam beberapa kasus tidak bisa dibedakan antara proses koruptif dan proses kebijakan, sulit dibedakan antara kejahatan dan kebijakan.
Menggunakan pendekatan represif semata-mata dalam pemberantasan korupsi merupakan langkah salah arah. Apabila pendekatan represif itu menjadi visi, pasti tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Di negara mana pun yang berpengalaman menekan korupsi, langkah represif bukanlah menjadi visi, konsep, misi, rencana, dan program satu-satunya dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, apabila dalam hal menghadapi korupsi kita hanya mengandalkan UU 30/2002 dengan KPK-nya yang sudah jelas cenderung bersifat represif, tentulah korupsi tidak akan dapat diredam. UU No. 30/2002 tidak akan mungkin berlaku efektif jika tidak dibarengi dengan usaha-usaha preventif secara sistemik.

KESIMPULAN
UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah undang-undang yang kontroversial, sampai sempat dimintakan judicial review-nya oleh KPKPN pada Mahkamah Agung, yang kemudian melimpahkan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Titik utama kontroversialisme UU ini adalah berkaitan dengan posisi KPKPN pasca lahirnya KPTPK. Di dalamnya terdapat beberapa kontradiksi antara pasal yang satu dengan yang lainnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa UU ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
KPTPK sebagai sebuah komisi yang diserahi tugas sebagai pemberantas korupsi, oleh UU ini diberi kewenangan yang sangat luar biasa fantastisnya. Hal ini dapat dipahami karena korupsi memang merupakan “extra ordinary crime” yang harus ditangani secara spesial, sehingga komisi yang menanganinya pun harus spesial pula. Sayangnya, kewenangan yang sedemikian besar ini sampai saat ini belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Penyebabnya adalah kurangnya SDM yang dimiliki oleh komisi ini; kewenangan KPTPK yang besar itu tidak ditopang oleh kualitas SDM yang memadai. Akibatnya, KPTPK belum bisa menghasilkan hasil kerja yang konkrit.
Sisi lain dari kelemahan dari UU 30/2002 adalah, UU ini terlalu menekankan pada upaya represif untuk mencegah korupsi. Korupsi di Indonesia tidak bisa diatasi hanya dengan tindakan-tindakan represif saja, karena sudah menjadi kejahatan yang sifatnya sistemik. Seharusnya yang lebih dikedepankan adalah upaya preventif secara sistemik, yang kemudian diperkuat dengan upaya-upaya represif, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang tampak dalam UU tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Syed Husen Alatas, Corruption and The Destiny of Asia, Selangor: Prentice Hall (M) Sdn. Bbd. And Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd., 1999
- Makalah: Masyarakat Transparasi Indonesia, Membangun Good Governance, 2001
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Tap MPR No. XI/ MPR/ 1998 Tentang Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN
- Kompas, 15 Januari 2003
- Kompas, 25 Maret 2003
- Kompas, 8 Januari 2004
- Kompas, 6 Maret 2004
- Kompas, 3 April 2004
- Kompas, 16 April 2004
- Kompas, 7 Mei 2004

Tidak ada komentar: