KRIMINALISASI MARXISME-LENINISME
OLEH: M. LUBABUL MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
PENDAHULUAN
Komunisme, suatu paham yang seringkali diidentikkan dengan Marx dan Lenin, telah berkembang menjadi ideologi politik nasional di berbagai negara, khususnya negara yang menganut paham sosialisme. Komunisme sebagai sebuah paham berhadapan secara konfrontatif dengan paham lainnya, kapitalisme, yang berkembang di beberapa negara maju seperti Amerika. Ketika komunisme mengalami puncak kejayaannya seiiring dengan berkibarnya Uni Soviet, maka saat itu dengan sendirinya kapitalisme sebagai ‘lawan’ dari komunisme mengalami ‘niedergang’, atau penurunan kualitas dan citra.
Keadaan kemudian berbalik pada saat Uni Soviet bubar. Kapitalisme kembali berkibar, dan lawannya, komunisme, secara otomatis langsung menerima giliran untuk mengalami ‘niedergang’. Komunisme tampaknya memang akan sulit berkembang, karena mempunyai banyak ‘musuh’. Musuh dari komunisme bukan hanya kapitalisme saja, tapi juga paham-paham lain yang menjadi paham resmi berbagai negara, khususnya negara yang religius. Negara-negara yang religius biasanya sangat anti dengan komunisme, marxisme, dan leninisme karena paham-paham tersebut terlanjur terkenal sebagai paham yang bersifat atheis.
Di Indonesia, komunisme mulai masuk pada masa pemerintahan Soekarno, presiden pertama RI. Setelah berhasil masuk ke tubuh bangsa Indonesia, komunisme kemudian pada tanggal 30 September 1965 mencoba melakukan makar, tapi dapat digagalkan. Komunisme ingin mengganti ideologi negara Indonesia, namun ideologi Pancasila yang telah ditetapkan sebagai ideologi bangsa Indonesia ternyata tak bisa diruntuhkan. Berangkat dari pengalaman sejarah ini, pemerintah Indonesia saat itu kemudian langsung mengambil inisiatif untuk membersihkan hal-hal yang berbau komunisme.
Pembersihan hal-hal yang berbau komunisme ini lalu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan. Kita bisa melihat, betapa banyak paraturan-peraturan yang didalamnya terkandung semangat anti komunisme. Salah satu peraturan yang berkaitan dengan fenomena paham komunisme adalah UU No. 27 Tahun 1999. UU ini dianggap bermasalah oleh banyak orang, sehingga memunculkan dua golongan: yang pro dan yang kontra.
Makalah singkat ini akan membahas UU yang, menurut beberapa kalangan, bermasalah tersebut dari perspektif hukum pidana. Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah tentang kebijakan kriminalisasi yang ada di dalamnya, dan analisis atas materi UU.
PEMBAHASAN
A. ANALISIS ATAS KEBIJAKAN KRIMINALISASI ‘KEJAHATAN IDEOLOGI’ DALAM UU NOMOR 27 TAHUN 1999
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Ideologi ini merupakan ideologi yang telah disepakati bersama oleh para founding fathers dan semua elemen bangsa, sehingga tidak boleh dirubah-rubah. Tidaklah berlebihan kiranya, apabila dikatakan bahwa berubahnya Pancasila berarti berubahnya bangsa Indonesia. Bila Pancasila sampai dihapuskan maka bangsa Indonesia pun akan ikut terhapus juga, karena Pancasila merupakan dasar, falsafah hidup, dan pondasi bangsa ini.
Pancasila terdiri dari lima sila yang saling berkaitan satu sama lain dan harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Sila yang pertama dalam Pancasila adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dari sila ini, diantaranya, adalah bahwa di dalam wilayah Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan perkataan lain, di dalam negara Indonesia tidak ada dan tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme).
Adalah sebuah fakta yang diterima umum, bahwa komunisme sebagai sebuah paham sangat identik dengan ateisme. Kita tentu masih ingat perkataan dari sang pendiri paham komunisme, Karl Marx, yang menyatakan: “religion is an opium of people !!” Maka dari itu, paham komunisme jelas bertentangan dengan ideologi yang dianut oleh bangsa ini, ideologi Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejarah juga telah membuktikan bahwa komunisme pernah merongrong bangsa ini melalui organisasinya yang bernama PKI. Untunglah, usaha PKI untuk merongrong dan mengganti ideologi bangsa ini dengan ideologi selain Pancasila dapat digagalkan.
Berangkat dari pengalaman sejarah tersebut, dan juga dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia yang semuanya beragama – atau setidak-tidaknya percaya pada Tuhan YME, maka pemerintah Indonesia sejak dulu sampai sekarang bersikap antipati terhadap paham komunisme/Marxisme-Leninisme. Sikap yang anti pati ini diwujudkan, misalnya, dalam UU No. 27 Tahun 1999 yang menjadikan penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai sebuah kejahatan yang atasnya dapat djatuhi pidana.
Komunisme memang tidak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Indonesia yang ber-Tuhan. Komunisme juga pernah terbukti menjadi ancaman bagi keselamatan bangsa ini. Namun apakah hanya karena alasan itu, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat begitu saja untuk dikriminalisasikan?
Secara teoritis, untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai sebuah kejahatan, menurut Prof. Sudarto, SH. dan Bassiouni, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
§ Harus sesuai dengan fungsi hukum pidana sebagai ‘ultimum remidium’ dalam penanggulangan kejahatan.
§ Harus mempertimbangkan kemampuan SDM aparat penegak hukum yang akan melaksanakan penegakan hukumnya.
§ Harus didasarkan atas kalkulasi tentang biaya dan hasil yang akan dicapai (cost-benefit principle).
§ Harus mempertimbangkan efek yang akan timbul (baik terhadap pelaku, korban, maupun masyarakat), termasuk jika perbuatan tersebut tidak dikriminalisasi.
§ Harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga efek ‘general preventive’ akan tercapai.
§ Harus merupakan perbuatan yang imoral (bersifat merusak/tidak sesuai dengan susila, mendatangkan kerugian materiil/spiritual atas warga masyarakat/harm to society).
§ Harus tidak sekedar sebagai reaksi atas suatu masalah atau bahkan politisasi hukum pidana.
Berdasarkan kriteria kriminalisasi diatas, maka kebijakan kriminalisasi paham Komunisme/Marxisme-Leninisme masih dapat dipertanyakan ketepatannya. Komunisme adalah sebuah paham yang tempatnya berada dalam hati atau pikiran seseorang, sehingga sangat sulit diukur dan tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan hukuman-hukuman fisik (memakai pendekatan penal). Dengan kata lain, kriminalisasi terhadap paham tersebut tidak akan mungkin efektif untuk meredamnya.
Tapi, jika sampai tidak dikriminalisasi, pada kenyataannya negara ini membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum dari kemungkinan rongrongan ideologi lain, yang itu bisa terjadi kapan saja bila tidak diantisipasi sejak awal. Jalan tengah yang mungkin bisa diambil adalah dengan cara mengkriminalisasi “penyebaran atau pengembangan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme”, bukan “paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” itu sendiri.
Dalam konsiderans UU No. 27 tahun 1999 dinyatakan: merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen.
Rongrongan terhadap ideologi dan dasar negara dapat terjadi kapan saja. Bila tidak diantisipasi sejak awal, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebagai upaya preventif atas terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, yaitu peristiwa G30S/PKI, maka “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” memang perlu untuk dikriminalisasi. Namun begitu, kriminalisasi saja tidak cukup untuk meredam penyebaran paham ini, sehingga harus dilakukan juga upaya-upaya lainnya.
Dalam hukum pidana, untuk mengatasi suatu kejahatan, ada dua cara: penal dan non-penal. ‘Kejahatan ideologi’ seperti penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme tidak akan mungkin bisa dihadapi dengan kebijakan penal saja, tapi harus didampingi dengan kebijakan non-penal. Atau bahkan mungkin, kebijakan non-penal adalah yang harusnya lebih diutamakan.
Mengenai caranya, karena paham Komunisme/marxisme-leninisme adalah sebuah wacana, maka jika ingin meredamnya, haruslah dengan cara memunculkan kontra-wacana. Tentu bukan hal yang sulit bagi sebuah institusi bernama negara, kalau hanya sekedar melakukan propaganda anti-komunisme dan mempengaruhi opini warga negaranya. Tanpa adanya hal ini, maka seberat apapun hukuman yang ada dalam pendekatan penal, hasilnya tidak akan mungkin efektif, mengingat ‘kejahatan ideologi’ kaitannya adalah dengan pikiran dan hati.
B. ANALISIS ATAS MATERI UNDANG-UNDANG
Ketentuan dalam UU No. 27/1999 yang menjadi masalah adalah beberapa pasal berikut ini:
Pasal 107 a UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 193 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 b UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 194 RUU KUHP
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 195 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/Marxisme- Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 107 d UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 196 RUU KUHP
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 e UU No. 27 Tahun 1999 / Pasal 197 RUU KUHP
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal-pasal tersebut dirumuskan dalam bentuk delik formil, sehingga bila ingin menjerat dengan pasal-pasal tersebut, semua unsur-unsur dari masing-masing pasal harus terpenuhi. Yang kemudian menjadi masalah adalah, unsur-unsur dari rumusan pasal-pasal itu ternyata sangat lentur dan sangat luas artinya.
Kelemahan paling utama dalam UU No. 27/1999 adalah tidak adanya definisi dan batasan yang jelas mengenai apa itu paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Tidak adanya definisi atau batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ‘penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme” dan “dalam segala bentuk dan perwujudan’ dalam ketentuan tersebut diatas, sangat membuka peluang untuk disalahgunakan oleh penguasa.
Yang menjadi masalah lagi adalah ketentuan bahwa organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dapat dikenai pidana juga. Pertanyaannya, apa standar untuk mengetahui atau menduga bahwa suatu organisasi menganut paham tersebut?
Harus diakui, rumusan yang ada dalam Pasal 107 a sampai 107 e merupakan rumusan yang sangat abstrak dan lentur, sehingga dapat ditafsirkan dengan sangat luas. Kalau sudah seperti ini, penguasa (pemerintah) dapat seenaknya menggunakan pasal tersebut untuk menjerat pihak-pihak yang tidak disukainya dengan dalih menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Maka dari itu, rumusan pasal-pasal tersebut harus dirubah atau dilengkapi agar tetap bisa melindungi negara dari bahaya laten komunisme, tapi juga dapat menutup diri dari kemungkinan disalahgunakan oleh penguasa.
KESIMPULAN
Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah paham yang bertentangan dengan Pancasila dan terbukti pernah merongrong bangsa Indonesia melalui G30S/PKI, meskipun tidak berhasil. Oleh karena itu, adalah sangat wajar bila pemerintah Indonesia sangat antipati dengan paham ini dan berusaha mematikannya. Akan tetapi, mengingat Komunisme/Marxisme-Leninisme merupakan sebuah paham yang letaknya ada dalam pikiran manusia, paham ini tidak pantas untuk dikriminalisasi, karena isi pikiran sesorang sangat sulit dideteksi. Selain itu, pemikiran tidak akan mungkin bisa diredam/diberangus hanya dengan hukuman-hukuman (kebijakan penal) saja.
Yang mungkin untuk dilakukan adalah kebijakan kriminalisasi atas penyebaran paham tersebut. Kriminalisasi penyebaran dan pengembangan paham ini memang perlu, sebagai upaya perlindungan terhadap ideologi negara, Pancasila, yang merupakan sendi pokok bangsa ini. Secara teoritis, kriminalisasi atas paham ini juga sudah mencukupi kriteria-kriteria kriminalisasi. Namun begitu, kebijakan tersebut tidak akan ada artinya bila tidak diimbangi dengan kebijakan lainnya.
Perwujudan dari kriminalisasi tersebut dapat dilihat dalam UU No. 27/1999. Sayangnya, UU ini mengandung banyak sekali kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol dalam UU ini adalah tidak adanya definisi atau batasan yang jelas mengenai apa itu itu “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Rumusan pasal-pasal dalam UU ini terlalu luas dan lentur, sehingga sangat berpotensi untuk disalahgunakan oleh penguasa.
Maka dari itulah, perlu diadakan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa pasal-pasal yang ada dalam UU ini, agar bisa memberikan kepastian hukum. Terutama sekali mengenai definisi dan batasan istilah “penyebaran paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya”. Sehingga, nantinya UU ini diharapkan bisa meng-cover kepentingan melindungi ideologi bangsa, tapi juga tidak mudah disalah gunakan oleh penguasa.
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar