PERGULATAN AKAL DAN TEKS DALAM EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
OLEH: M. LUBAB AL-MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa abad yang lalu, Rene Descartes mengatakan: “Cogito Ergo Sum” (kurang lebih berarti, aku berpikir maka aku ada). Ungkapan inilah yang kemudian menjadi spirit bagi perjalanan pemikirannya dan mampu mengantarnya menjadi seorang filsuf besar. Bahkan ungkapan tersebut pada hakikatnya telah menjadi spirit bagi sekian banyak, kalau tidak boleh dikatakan semua, filsuf-flisuf besar lainnya yang bermunculan baik sebelum maupun setelah Descartes. Persetubuhan ungkapan tersebut dengan pemikiran filsuf dari periode awal sampai kontemporer telah melahirkan “bayi” yang menjadi ksatria-ksatria bagi setiap zamannya. Spirit ini mengajarkan agar setiap manusia, khususnya para filsuf, selalu berproses untuk mencarai kebenaran, dan jangan sampai berhenti memikirkan, terutama hal-hal yang oleh kebanyakan manusia dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.
Dalam dunia filsafat, sebuah kebenaran akan terus mengalami falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar sehingga membentuk sebuah lingkaran ilmiah (scientific circle). Sehingga, kebenaran-kebenaran, dalam pandangan filsafat semuanya bersifat nisbi, yang suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa merubah secara radikal, menambahkan, melengkapi argumen yang ada, tambal-sulam, atau bahkan meruntuhkan sama sekali. Bagi filsuf, semua kebenan hanyalah menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge) yang suatu saat akan mengalami proses falsifikasi. Dengan bahasa yang sederhana, tidak akan ada kebenaran yang bersifat absolut dalam filsafat, karena bila seorang filsuf telah terjebak pada ‘kebenaran absolut’, maka percayalah, pada saat itu ia sesungguhnya sedang mengalami ‘sekarat’ dalam hal pemikiran filsafatnya.
Maka tidak heran, bila dalam filsafat, pikiran harus ditempatkan pada ruangan yang ‘steril’ dari berbagai asumsi dan apriori. Karena hanya dengan kondisi yang seperti itulah, pikiran manusia tidak akan pernah bisa dijebak dan dikurung dalam penjara yang bernama kebenaran absolut atau kemapanan (establishment); hal yang selalu akan menjadi musuh utama dunia filsafat. Apalagi kemapanan yang sifatnya dibuat-buat, seperti kemapanan yang dihasilkan dari perselingkuhan dunia kekuasaan dan dunia ilmiah, dimana dunia kekuasaan ikut bermain dalam wilayah ilmiah dengan melegitimasinya menjadi mazhab resmi bagi semua orang. Ketika sudah seperti ini, tentu kebenaran-kebenaran lain akan terpinggirkan dan bahkan mungkin ‘disembelih’, agar tidak mengganggu kebenaran yang telah dilegitimasi dan melembaga tersebut.
Pelembagaan kebenaran yang menjadi musuh utama filasafat ternyata sangat tampak marak dalam masalah agama, termasuk agama Islam. Pelembagaan ini bukan hanya mengenai ‘produk’-nya saja, tapi juga metodologi. Kita bisa mencatat, bahwa dalam pemikiran Islam, banyak sekali terjadi hal-hal yang menurut filsafat harus disebut sebagai sebuah ironi atau tragedi. Pada awal perkembangan pemikiran Islam pasca wafatnya Muhammad, kita bisa melihat beberapa aliran yang dianggap sesat, seperti Muktazilah, Khawarij, dan Jabariyah. Pelembagaan kebenaran dan penjustifikasian sesat terus mengalir seiring dengan perjalanan sejarah agama ini, bahkan sampai saat ini.
Di era sekarang kita bisa mencatat nama-nama seperti Rifa’at Bek al-Thahtawi, Thaha Husain, ‘Ali Abd al-Raziq, Mahmud Abu Rayya, Arkoun, Fazlurrahman, Nashr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, dan yang lainnya yang oleh mayoritas ulama dianggap sebagai ‘orang-orang sesat’. Untuk konteks mikro, di Indonesia, baru-baru ini kita melihat fenomena takfir atas Ulil Abshar Abdalla. Mereka itu semua yang dianggap sesat, tidak lain adalah orang-orang yang pada dasarnya sedang berusaha ‘menggeliat’ dari kungkungan kemapanan pemikiran yang ada. Mereka sedang berusaha untuk bersikap rasional ilmiah diantara hegemoni mazhab tektualis yang sampai saat ini masih menguasai.
Dengan adanya fenomena yang seperti itu, berarti ada perbedaan dalam pemikiran hukum Islam berkaitan dengan peran akal dan wahyu (baca: teks). Ada yang beranggapan bahwa akal berada dibawah teks yang merupakan wujud konkrit wahyu, dan ada pula yang beranggapan bahwa akal bisa melampaui apa yang tertulis dalam teks. Sehingga, permasalahannya pun sebetulnya sederhana: sejauh mana akal dapat bermain dihadapan teks, dan sebesar apa pengaruh teks menurut Islam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena akan sangat berpengaruh bagi hukum Islam, terutama berkaitan dengan kepastian hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUKTAZILAH VERSUS SUNNI: AWAL PERGULATAN
Persoalan-persoalan teologi, pada awal perkembangan Islam, telah memunculkan beragam aliran. Sebutlah nama-nama seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, sampai Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Meskipun munculnya aliran-aliran tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak pihak, berlatar belakang masalah politik, tapi bahwa mereka telah ikut meramaikan perdebatan dalam ilmu Kalam, adalah sebuah hal yang tak terpungkiri lagi. Diantara aliran-aliran tersebut, yang perlu untuk digali lebih jauh adalah Muktazilah dan Ahlu al-Sunnah. Karena dua aliran inilah yang telah secara serius berbicara tentang wahyu dan akal secara mendalam, yang pembicaran tersebut akhirnya berdampak pada masalah epistemologi hukum Islam.
Kaum Muktazilah adalah golongan yang dalam pembahasannya lebih mengutamakan akal dengan nuansa filsafat, sehingga lebih dikenal dengan sebutan kaum rasionalis. Sedemikian filosofisnya pemikiran mereka, sampai-sampai A. Hanafi mengatakan, bagi siapa yang ingin belajar filsafat Islam, harus menggali buku-buku yang dikarang oleh Muktazilah terlebih dahulu, sebelum menekuni buku filosof muslim lainnya. Diantara pemikiran terpenting Muktazilah yang kemudian berpengaruh pada pemikiran hukum Islam adalah pendapat bahwa Qur’an adalah makhluk, yang dijadikan oleh Tuhan pada waktu yang dibutuhkannya. Golongan ini sangat mengagungkan akal, sehingga kemudian berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui manusia tanpa wahyu, hanya dengan kekuatan akal saja. Begitu juga perbuatan baik dan buruk. Aliran ini pernah menjadi mazhab resmi negara pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun di tahun 827 M.
Bertentangan dengan aliran Muktazilah yang mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan berpikir manusia, muncul aliran yang melawannya: aliran Sunni, yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk yang bersifat hadits. Pada waktu itu, aliran Muktazilah tidak begitu banyak berpegang pada Sunnah atau tradisi, sehingga aliran yang berseberangan dengannya -- yang berpegang teguh pada Sunnah, kemudian disebut dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran ini pada akhirnya banyak mendapatkan tempat di hati kalangan rakyat biasa, karena kebanyakan rakyat awam tidak mampu memahami dan menyelami ajaran Muktazilah yang bersifat rasionil dan filosofis. Keadaan ini terus bertahan sampai pada akhirnya aliran Muktazilah hilang.
Menurut Harun Nasution, aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Muktazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali hanya dalam sejarah. Yang masih ada saekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariyah umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya memalui kebudayaan Yunani klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Muktazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan intelegensia Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neo-Muktazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.
B. AKAL DAN TEKS YANG TERUS BERGULAT
Kelompok yang dianggap sesat oleh kelompok mayoritas, tidak lain, karena mereka telah memasuki ‘wilayah-wilayah tabu’ yang menurut mayoritas tidak boleh untuk dijadikan obyek akal secara bebas. Mereka dianggap telah ‘menginjak-injak’ sakralitas dan keabsolutan teks. Sementara, mereka yang dianggap sesat, berpikiran bahwa kaum ‘pemuja teks’ yang menganggapnya sesat, adalah manusia-manusia yang tidak memanfaatkan anugerah paling berharga yang telah diberikan oleh-Nya, yaitu akal. Pemuja teks bukan hanya orang-orang yang tidak ‘mensyukuri’ anugerah akal, tapi, lebih jauh, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas ‘kematian’ peran agama dalam kehidupan modern, disebabkan oleh tindakannya yang telah ‘mematikan’ teks.
Akibat adanya perubahan kondisi sosial masyarakat, reformasi hukum Islam merupakan hal yang terelakkan dan menjadi sebuah tuntutan. J. N. D. Anderson mengatakan tiga kategori dalam tuntutan perubahan hukum Islam: pressure for a return to Islamic law, pressures for certain relaxation in the scope of Islamic law, dan pressure for a more radical approach to Islamic law as a whole. Dalam realisasinya, tuntutan perubahan hukum Islam ini, khususnya tekanan yang ketiga, menghasilkan epistemologi baru dalam hukum Islam, yang merupakan jawaban atas terlalu rigidnya epistemologi klasik yang diikuti oleh mayoritas ulama. Epistemologi baru tersebut sangat kental akan nuansa filsafat dan lebih memilih pendekatan rasional-ilmiah ketimbang pendekatan tekstual.
Dalam filsafat Islam, akal memang bukan tanpa batas sama sekali, karena ia masih harus berkompromi dengan teks, atau setidak-tidaknya, dengan Tuhan. Dr. Haidar Bagir, seorang pakar filsafat Islam, menyebut filsafat agama -- termasuk filsafat Islam -- sebagai filsafat yang percaya pada batas tertentu “independent reasoning”, sehingga produknya tetap tertransendensikan. Pelaku filsafat adalah akal, dan musuh (atau partner)-nya adalah hati. Sehingga, filsafat Islam, yang didasari oleh keimanan, harus bisa seimbang dalam menyikapi dua hal yang ‘bertentangan’ tersebut. Dengan kondisi yang seperti ini, filsafat Islam justru berada dalam problem besar yang terus berpolemik di dalamnya, yaitu tarik ulur antara akal yang harus independent di satu sisi, dan teks sebagai sesuatu yang harus diiimbangi di sisi yang lain. Pergumulan pada ‘wilayah dasar’ ini membawa akibat yang tidak kecil di ‘wilayah permukaan’, termasuk dalam masalah hukum sebagai salah satu bentuk ‘permukaan Islam’.
Mengenai posisi akal di depan teks dan peran teks atas akal dalam epistemologi hukum Islam, ada dua mainstream. Dua aliran ini, diakui atau tidak, muncul sebagai kelanjutan dari perdebatan antara aliran teologi Islam masa lalu, khususnya Sunni dan Muktazilah. Pemikiran kaum Sunni melahirkan model epistemologi hukum Islam yang bercirikan pengormatan atas teks, sehingga dalam epistemologi yang seperti ini, teks lebih dominan daripada akal. Aliran ini, selanjutnya lebih terkenal dengan sebutan aliran tekstualis. Sedangkan aliran Muktazilah melahirkan model epistemologi hukum Islam yang sangat menghormati akal, sehingga dalam epistemologi model seperti ini, akal berada diatas redaksi literal teks. Aliran ini, kemudian lebih sering disebut aliran rasionalis, atau, menurut beberapa orang, aliran liberal.
C. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB TEKSTUALIS
Sebagaimana telah disebutkan diatas, mazhab Tekstualis adalah mazhab yang ‘lahir’ dari aliran Sunni. Sunni meliputi empat mazhab besar dalam pemikiran hukum: Syafi’I, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Masing-masing aliran tersebut memang punya epistemologi hukum yang berbeda, tapi dalam hal memposisikan teks dan akal, secara umum, mereka punya pandangan sama. Pandangan ini terdokumentasikan dalam berbagai kitab ushul fikih, yang ditulis oleh ulama-ulama selama sekian abad dan jumlahnya ratusan, atau bahkan mungkin, ribuan jilid. Sehingga untuk melacak bagaimana pandangan aliran tekstualis ini terhadap posisi akal dan teks, tidak begitu sulit, karena telah didokumentasikan secara jelas dan sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih.
Persoalan teks mendapatkan perhatian khusus oleh para ahli ushul fikih dan dibahas dengan sangat detail. Secara umum, teks, bila dilihat dari segi keotentikannya, dibagi menjadi dua: qath’iy al-tsubut dan dzanniy al-tsubut. Qur’an adalah sumber hukum yang qathiy al-tsubut, artinya pasti otentitasnya. Sedangkan Sunnah sebagai sumber hukum ada dua, ada yang qath’iy al-tsubut dan ada pula yang dzanniy al-tsubut. Sunnah yang bersifat qath’iy al-tsubut adalah sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan sunnah yang dianggap dzanniy al-tsubut adalah sunnah yang dalam proses transmisinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Bila dilihat dari segi kejelasan penunjukan maksud, masing-masing teks Qur’an maupun Sunnah dibagi menjadi dua: qath’iy al-dalalah (penunjukannya bersifat pasti, fixed, dan strict) dan dzanniy al-dalalah (penunjukannya tidak bersifat pasti, karena ada beberapa ihtimal, sehingga membuka peluang penafsiran). Terhadap teks yang otensitas dan penunjukan maknanya bersifat pasti, maka wajib untuk melaksanakan apa kata teks. Lahirnya teks memang biasanya terkait dengan dengan suatu konteks tertentu, tapi dalam hal ini, teks harus dianggap sebagai bahasa undang-undang yang mengandung ‘kepastian hukum’, sehingga harus dilaksanakan apa adanya. Kaidah yang cukup terkenal sehubungan dengan ini adalah: al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdzi, la bi khusus al-sababi (yang diperhitungkan adalah lafalnya yang umum, bukan sebab yang sifatnya khusus).
Ijtihad hanya diperbolehkan atas teks yang mengandung dzanniy al-tsubut dan/atau dzanniy al-dalalah. Dalam kondisi yang seperti ini, akal baru berperan secara optimal. Tapi peran akal disini pun tetap ada batasannya, yaitu tidak boleh keluar dari semangat hukum teks-teks yang lain secara umum. Bahkan, Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang terkenal dengan gaya legisme, mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh lepas sama sekali dari teks, dan setiap pendapat hukum harus selalu ada dasar teksnya, baik langsung maupun tidak langsung – dengan qiyas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut epistemologi hukum Islam versi mazhab tekstualis, akal berada di bawah teks dan tidak boleh bersifat otonom. Bahkan dalam teks yang sifatnya qoth’iy al-tsubut dan qoth’iy al-dalalah, akal benar-benar harus kalah. Ia harus tunduk pada apa kata redaksi teks, meskipun rasio tidak bisa menerima. Contohnya adalah dalam ayat waris laki-laki perempuan yang jumlahnya adalah dua banding satu. Ketentuan tersebut harus tetap diikuti, meski akal saat ini tidak bisa menerimanya.
Pandangan yang seperti itu bukannya tanpa alasan filosofis sama sekali. Al-Ghazali, tokoh yang pernah berkecimpung dalam dunia filsafat dan ahli di bidang fikih, menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Dr. Said Ramadlan al-Bouti dalam disertasinya, bahwa apa yang dihasilkan oleh akal kebenarannya bersifat relatif, sedangkan nash (teks) kebenarannya bersifat mutlak, karena datangnya dari Al-Syari’ (pembuat hukum; Allah). Oleh karena itu, bila akal dan teks sampai berbenturan, akal harus dikalahkan dan teks harus dimenangkan.
Dalam mazhab tekstualis, akal memang berada di bawah teks, tapi bukan berarti akal kehabisan peranan. Hal ini karena, teks-teks yang sifatnya qathiy al-tsubut dan qathiy al-dalalah, jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan teks-teks yang yang tidak qath’iy. Bahkan dalam teks yang qath’iy pun akal sebenarnya masih berperan, yaitu dalam hal penerapan teks tersebut. Kesimpulan dari peran akal dan teks menurut mazhab tekstualis adalah bahwa akal mempunyai peranan sangat besar dalam epistemologi hukum Islam, tetapi dalam hal akal berhadapan dengan teks yang sifatnya qath’iy, akal harus tunduk sepenuhnya pada teks tersebut, demi kepastian hukum.
D. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB RASIONALIS
Pandangan-pandangan hukum yang lahir dari mazhab tekstualis, dalam perjalanannya sering dianggap terlalu rigid dan kaku, terutama ketika dihadapkan pada kehidupan dunia modern. Berangkat dari fenomena yang seperti ini, muncul epistemologi baru hukum Islam yang diusung oleh kaum moderat, yang diharapkan akan mampu menghasilkan hukum Islam yang lentur, ‘manusiawi’, humanis, dan egaliter. Berbeda dengan pandangan mazhab tekstualis yang mudah dilacak karena telah terdokumentasikan secara sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih, pandangan ‘baru’ tentang posisi akal dan teks dari aliran moderat yang rasionalis ini sukar untuk dilacak, karena masih tersebar dalam berbagai tulisan dan buku-buku. Sekedar sebagai gambaran, dalam makalah ini akan diungkapkan beberapa pandangan dari tokoh-tokoh, atau setidak-tidaknya, penganut aliran ini, yang, semoga, bisa dianggap sebagai representasi dari pandangan mazhab rasionalis ini.
Pandangan rasionalis sangat kental dengan nuansa filsafat, sehingga jelas mementingkan posisi akal. Aliran ini sangat menghendaki kebebasan akal manusia dalam penafsiran atas teks (wahyu), tidak peduli apakah teks tersebut qath’iy atau dzanniy. Karena, kebenaran adalah bersifat relatif, tergantung pada rasio. Ulil Abshar mengatakan, wahyu (teks) adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.
Lebih tegas lagi, Ali Harb, pemikir yang kental dengan filsafat postmodernisme, dalam kritik nalar (naqd al-‘aql)-nya mengatakan bahwa nalar adalah tabir (hijab), dimana nalar yang satu akan menutupi atau menghegemoni nalar yang lain. Nalar murni berarti melepaskan nalar intuisi dan empiris, nalar ilmiah menutupi nalar dongeng atau hikayat, nalar arab menutupi nalar bukan arab, nalar islami menutupi nalar bukan islami, nalar tauhid menutupi nalar atheisme, nalar barat menutupi nalar yang bukan barat, dan seterusnya. Dalam memandang teks, Ali Harb tidak membedakan antara teks Qur’an, Hadis, ataupun yang lain, karena sama-sama berbentuk bahasa yang disusun dalam realitas yang dialogis/dialektis dengan realitas dan sama-sama berpotensi mengandung penilaian, sehingga karenanya juga berpotensi menghijab nalar (kebenaran) yang tidak diungkap dalam teks tersebut. Padahal, nilai (kebenaran) yang tidak dimuat teks tersebut dikandung oleh teks lain.
Sedangkan Mohammed Arkoun, berpandangan bahwa agar hukum Islam lebih dinamis, maka harus ada dekonstruksi terhadap epistemologi abad pertengahan yang cenderung ortodok dan kental dengan dogmatisme. Berkaitan dengan teks, khususnya Qur’an, Arkoun berpandangan bahwa Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity). Baginya, lantaran As-Syafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal “yang tak terpikirkan”. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Pandangan Arkoun bahwa teks tunduk pada sejarah, mirip dengan pendapat Nashr Hamid Abu Zaid yang menganggap al-Qur’an sebagai produk peradaban (al-Muntaj al-Tsaqofiy). Pesan inti dari pandangan seperti ini adalah bahwa teks tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Sehingga, jika konteks dimana teks diturunkan sudah berbeda dengan konteks sekarang, maka ketentuan redaksi teks tersebut tidak harus ditaati. Bagi mazhab rasionalis, tidak ada perbedaan antara teks yang qoth’iy maupun yang tidak, redaksi dari keduanya sama-sama bisa disimpangi bila memang sudah tidak lagi sesuai dengan konteks saat ini. Yang tidak boleh disimpangi adalah ‘semangat hukum’ dari teks tersebut (seperti keadilan, kesetaraan, dll.). Untuk menentukan apakah suatu teks masih relevan dengan konteks saat ini dan apa ‘semangat hukum’ dari teks, kuncinya ada pada akal.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam epistemologi hukum Islam versi mazhab rasionalis, akal berada diatas teks. Akal akan menentukan berlaku atau tidaknya redaksi teks, baik itu yang qath’iy maupun dzanniy. Tapi bukan berarti teks dikesampingkan sama sekali, karena ada yang harus dipatuhi, yaitu ‘semangat hukum’ dari teks tersebut. Sehingga, karena tidak ada keharusan untuk patuh atas redaksi teks qath’iy, maka menurut mazhab ini, kebenaran bersifat relatif, tergantung pada alasan-alasan rasional yang diajukan.
E. ANALISIS
Bila diperbandingkan, baik epistemologi yang diajukan oleh mazhab Tekstualis maupun epistemologi yang dibagun oleh mazhab Rasionalis, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Epistemologi mazhab tekstualis yang memandang keharusberlakuan teks qath’iy, kelebihannya adalah adanya kepastian hukum (rechtszekerheid). Tapi epistemologi yang seperti ini, dalam beberapa hal, memang terkesan kaku dan kurang dinamis, yaitu dalam hal yang sudah dijelaskan secara tegas dan pasti oleh syara’ ketentuan hukumnya.
Sebenarnya kekakuan dari hukum yang dihasilkan dari epistemologi seperti itu, tidak bersifat mutlak, karena ternyata, dalam beberapa hal, epistemologi tersebut juga mengakui pengaruh konteks atas teks, seperti yang tercermin dalam kaidah mereka: taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah (berubahnya hukum karena perubahan tempat dan waktu). Tapi pemberlakuan kaidah ini ada batasannya yang sangat jelas, tidak bebas sama sekali. Karena itu, sejatinya, hukum yang dihasilkan dari epistemologi tersebut, dalam beberapa hal, akan mengikuti laju peradaban dan kebudayaan manusia, tapi, dalam beberapa hal yang lain, redaksi teks berlaku mutlak, sehingga peradaban atau kebudayaan harus tunduk padanya.
Sedangkan mazhab rasionalis yang berpandangan bahwa akal berada diatas teks, kelebihannya adalah adanya hukum Islam yang dinamis, humanis, emansipatoris, egaliter, dan tidak akan pernah lapuk bila dihadapkan dengan modernitas dan dunia Barat. Namun, epistemologi mazhab ini juga ada kekurangannya, kalau tidak boleh dikatakan banyak, yaitu tidak adanya ketegasan dan kepastian hukum. Hukum Islam akan tunduk dengan peradaban, atau bahkan, bisa jadi, hukum Islam akan ‘diseret’ oleh laju peradaban ke arah yang tidak jelas batasannya. Hal ini karena, dalam epistemologi yang mereka bangun tidak ada ketentuan tegas kapan peradaban harus tunduk pada teks hukum, dan kapan teks hukum dapat berkompromi dengan realitas, sehingga fungsi kontrol sosial hukum Islam bisa dikatakan nihil.
Bila sudah seperti ini, hukum Islam sebagai sebuah bangunan ‘sistem hukum’ akan runtuh tinggal puing-puing. Tapi memang runtuhnya ‘sistem hukum Islam’ ini bukanlah hal yang menakutkan bagi para pengusung epistemologi mazhab ini, karena, menurut mereka, yang terpenting dari Islam bukan hukumnya, melainkan pesan-pesan moral. Mereka lebih senang untuk memandang Islam sebagai ‘agama moral’ daripada melihatnya sebagai ‘agama hukum’. Maka dari itulah, epistemologi yang seperti mereka bangun ini, bila dilihat dari konsekuensi yang mungkin timbul, terlalu berbahaya untuk dimainkan dalam pembentukan hukum Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam rangka pengembangan hukum Islam, epistemologi hukum Islam yang terbaik untuk digunakan, sampai saat ini, adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis. Epistemologi model inilah yang telah diikuti oleh mayoritas ulama selama sekian abad lamanya. Sekilas, epistemologi yang lebih mendahulukan teks daripada akal ini memang terkesan rigid dan kaku, tapi itu jauh lebih baik dari epistemologi yang mengakibatkan kekacauan dan ketidakpastian hukum Islam. Epistemologi mazhab rasionalis, meskipun sepintas kelihatannya fleksibel, humanis, dan sangat ‘manusiawi’, tapi, bila dicermati secara mendalam, akan membawa konsekuensi yang sangat berbahaya bagi hukum Islam; hukum Islam sebagai sebuah ‘sistem hukum’ bisa runtuh dan porak poranda karenanya.
Untuk menanggapi kenyataan bahwa masyarakat sudah banyak mengalami perubahan dan banyak yang menjauh dari ‘rel syari’at’, solusi yang terbaik bukanlah dengan cara menyesuaikan hukum Islam secara bebas dengan kondisi tersebut, karena perubahan tersebut disebabkan oleh sikap umat muslim sendiri yang dalam mengamalkan agamanya tidak secara utuh, tapi sebagian-sebagian. Dalam beberapa hal, hukum Islam tetap harus tegas dan kokoh -- dan masyarakat muslim harus tunduk padanya, tapi dalam beberapa hal yang lain, hukum Islam boleh untuk lentur -- mengikuti perubahan masyarakat tersebut. Epistemologi yang mampu melahirkan hukum Islam yang demikian adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis, bukan epistemologi mazhab rasionalis yang tidak jelas batasannya.
‘Semangat hukum’ dari semua sistem hukum yang ada di dunia ini bisa dikatakan mirip, kalau tidak sama persis. Tapi, sistem hukum tersebut pada akhirnya harus dikatakan berbeda, karena dalam merelisasikan ‘semangat hukum’ tersebut memang mereka tidak sama. Contohnya, sistem hukum pidana Islam dan sistem hukum pidana barat punya ‘semangat hukum’ yang sama, yaitu sama-sama menghendaki keadilan dan ketertiban umum. Tapi dalam merealisasikan ‘semangat hukum’ tersebut, keduanya berbeda. Sistem hukum pidana Islam melarang zina (karena dianggap menganggu moral publik), sedangkan sistem hukum pidana barat melegalkannya asalkan dilakukan suka sama suka (karena tidak dianggap menganggu ketertiban). Apabila epistemologi hukum mazhab rasionalis digunakan, maka batas tegas antara sistem hukum Islam dan sistem hukum lainnya akan menjadi kabur, atau bahkan hilang sama sekali, akibat tidak adanya kepastian dan ketegasan ketentuan hukum.
Akal memang harus dioptimalkan penggunaannya, tapi bukan dengan cara ‘memperkosa’ teks, karena akal bukanlah satu-satunya sumber kebenaran. Sebagai penutup, ada baiknya kita ingat kembali pesan filosof Muslim masa lalu, Ibnu Sina yang mengatakan: “The human being is incapable of understanding the truth of things. They only know the khawaas (propers), aarad (accidents), and lawazim (corollaries), but not the corrective measures for it. Alla they know is that they are khawaas and aarad”. Maka, sangat perlu bagi kita untuk kembali pada kebenaran sesungguhnya dari wahyu, bukan kebenaran yang dipaksa-paksakan melalui cara-cara, yang memang terkadang, rasional dan ilmiah, tapi sejatinya akan membahayakan Islam.
Disinilah kejujuran kita dituntut…..
DAFTAR PUSTAKA
- Listiyono Santoso, Sunarto dkk., Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003
- Prof. Dr. Ahamad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003
- Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthiy, Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut: Mua’ssasah al-Risalah, 1986
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: Hukmuhu, Syara’ithuhu, Hujjiatuhu, Aqsamuhu, Atsaruhu, makalah dari www.bouti.com
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-‘Ilmu wa Mada Hurriyat al-Bahtsi al-‘Ilmiy fi al-Islam, makalah dari www.bouti.com
- Akhmad Minhaji, Modern Trend in Islamic Law, Notes on J. N. D. Anderson’s Life and Thought, dalam Al-Jami’ah Jornal of Islamic Studies Vol 39, Yogyakarta: IAIN, 2001
- Dr. S. Ali Shahrestani, The Crisis of Contemporary Civilization and the Prospects for Salvation, dalam Islamic University Quartely Academic Jornal Vol. (1) No (2), London: International Colleges of Islamic Science, 1994
- Dr. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perkembangan, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, t. t.
- A. Hanafi, MA., Pengantar Theology Islam, Jakarta: Djajamurni, t. t.
- Abdul Karim Tatan dan Muhammad Adib al-Kailany, ‘Aun al-Murid li Syarh Jauharat al-Tauhid fi ‘Aqidat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, Damascus: Dar al-Basya’ir, 1999
- Dr. Haidar Bagir, Akal adalah Rasul dalam Diri Manusia, artikel dalam www.islamlib.com
- Ulil Abshar Abdalla, Agama, Akal, dan Kebebasan, artikel dari www.islamlib.com
- M. Kholidul Adib Ach, Menggugat Teks dan Kebenaran Agama, Analisa Pemikiran Ali Harb tentang Relativitas Kebenaran Agama, artikel dari www.islamlib.com
- Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara Membaca Al-Qur’an, artikel dari www.islamlib.com
- Pradana Boy ZTF, Dimensi Filsafat dalam Wahyu, artikel dari www.islamlib.com
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar