Selasa, 19 Februari 2008

PIDANA PENJARA DALAM PANDANGAN ISLAM
OLEH: M. LUBABUL MUBAHITSIN


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

PENDAHULUAN
Dalam buku Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul “Negara Tanpa Penjara”, ada pemikiran menarik dari Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hazairin, SH., tentang pidana penjara. Menurutnya, pidana penjara adalah sebuah pidana yang tidak jelas tujuan dan orientasinya. Kalaulah tujuan penjara adalah untuk pembalasan (retribusi) atas kejahatan pelaku, kenapa pidana ini sangat ‘memanjakan’ pelaku kejahatan, sampai kemudian layak – dan memang pada akhirnya-- disebut ‘lembaga pemasyarakatan’, bukannya ‘lembaga penghukuman’ misalnya? Tapi kalau memang tujuannya adalah untuk mendidik pelaku kejahatan agar menjadi baik, pidana ini tetap belum bisa dipersamakan dengan suatu lembaga pendidikan akhlak yang sesungguhnya. Karena itulah berarti, pidana ini ambigu dalam hal tujuan dan orientasinya. Bukan hanya itu, pidana ini juga sangat banyak menghabiskan dana negara. Padahal, manfaatnya tidak jelas sama sekali.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, beliau kemudian mengusulkan dihapuskannya jenis pidana ini dari sistem hukum pidana Indonesia. Untuk mengatasi persoalan yang dihadapi hukum pidana Indonesia, beliau menyarankan agar kita kembali kepada sistem hukum pidana Islam, yang salah satunya adalah dengan cara menghapuskan pidana penjara:
Tahukah pembaca bahwa negara tanpa penjara telah dimulai 13 setengah abad yang lalu oleh Muhammad SAW. berdasar atas kemauan Allah yang disampaiakan kepadanya mealui ayat-ayat al-Qur’an. Qur’an yang mengartur hidup kerohabian dan hidup kemasyarakatan umat Islam dan karena itu mengatur pula hukum perdata dan hukum pidana bagi mereka, ternyata sungguh tidak pernah menetapkan wajib adanya hukum penjara. Qur’an tidak pernah mewajibkan umat Islam menyediakan penjara, malahan tidak pernah menganjurkan atau mengajarkannya, karena al-qur’an tidak ada mengandung sebuah pelanggaran pun yang atasnya harus dikenakan hukuman penjara ataupun hukuman kurungan. Ini bukanlah disebabkan, karena Qur’an tidak mengenal pengertian penjara. Bahwa Qur’an mengenal penjar terbukti dari Surat 12 (Yusuf) dimana kita mendapat tahu bahwa dalam negara Fir’aun penjara telah bertebaran sebagai alat penjara. Karena tu dapatlah kita simpulkan bahwa Qur’an tidak mau memilih penjara sebagai alat hukuman.
Beliau sangat gigih untuk memperjuangkan penghapusan pidana penjara dari sistem hukum pidana Indonesia. Karena menurut beliau, selain pidana ini tidak jelas tujuan dan orientasinya, pidana ini juga tidak dianjurkan oleh Islam. Lebih dari itu, beliau bahkan terkesan meyakini bahwa pidana ini sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana tampak pernyataannya ketika memberi pengantar “konsep negara tanpa penjara”-nya:
Paling utama pula saya tujukan tuliwsan ini kepada semua orang yng sungguh beriman, begitu pula kepada mereka yang beriman dengan bibirnya tetapi fasik dalam hati dan perbuatannya, dan juga kepada orang-orang yang mengaku beriman kepeda pujaannya tetapi tidak menghiraukan sebagian dari suruhan dan larangannya; kepada mereka ini termasuk mereka yang giat menyerukan secularisme.
Pemikiran Prof. Hazairin ini tentunya bukanlah sebuah ‘harga mati’ yang tidak boleh dikritisi, karena apa yang ia kemukakan ini masih termasuk dalam ‘medan fiqih’, yang di dalamnya dimungkinkan dan diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Apalagi, masih ada pula pemikir lain yang tidak sependapat. Prof. Dr. Jimly Asshidiqiqe misalnya, ia mengatakan bahwa meskipun gagasan ‘kepenjaraan’ itu dewasa ini tengah menghadapi gelombang kritik di mana-mana, termasuk di dalam dunia ilmiah, tetapi – paling tidak—dapat dikatakan bahwa gagasan kepenjaraan itu cukup mempunyai dasar yuridis dalam al-Qur’an untuk diterapkan dalam kebijaksanaan kriminal suatu negara.

PEMBAHASAN
A. JENIS PIDANA DALAM ISLAM
Jenis-jenis pidana dalam Islam dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Dari segi obyek ancamannya:
a. Pidana atas jiwa, terdiri dari:
i. Pidana mati dengan pedang
ii. Pidana mati dengan digantung di tiang gantungan salib (disalib)
iii. Pidana mati dengan dilempari batu (rajam)
b. Pidana atas harta kekayaan, yang meliputi:
i. Pidana diyat ganti rugi
ii. Pidana ta’zir sebagai tambahan
c. Pidana atas anggota badan, berupa:
i. Pidana potong tangan dan kaki
ii. Pidana potong tangan atau kaki
iii. Pidana pemukulan atau penamparan yang merupakan variasi bentuk pidana ta’zir sebagai peringatan dan pengajaran
d. Pidana atas kemerdekaan, berupa:
i. Pidana pengusiran dan pembuangan
ii. Pidana penjara seumur hidup
iii. Pidana penahanan yang bersifat sementara
e. Pidana atas rasa kehormtan dan keimanan, terdiri dari:
i. Pidana teguran atu peringatan
ii. Kaffarah sebagai hukuman yang bersifat religius
2. Dari segi tingkat bahaya kejahatan yang diancamnya:
a. Bentuk pidana qishash dan diyat
b. Bentuk pidana hudud
c. Bentuk pidana ta’zir
3. Dari segi bentuk hakikinya:
a. Pidana mati
b. Pidana ganti rugi
c. Pidana potong tangan dan/atau kaki
d. Pidana penjara
e. Pidana teguran atau peringtan
f. Pidana religius (kaffarah)
g. Pidana ta’zir yang dapat merupakan:
i. Pidana tambahan (pemberatan)
ii. Bentuk-bentuk inovatif terhadap bentuk-bentuk yang sudah ditentukan.
B. PIDANA PENJARA DALAM PANDANGAN ISLAM
1. Pidana Penjara
Sebelum membahas tentang pidana penjara dalam pandangan Islam, harus diketahui dulu apa yang dimaksud dengan pidana penjara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.
Pidana penjara sangat mirip dengan pidana kurungan, karena tempat pelaksanaannya sama, yaitu di Lembaga Pemasyarakatan. Tetapi bila dilihat dari segi operasionalisasi / praktek pelaksanaannya berbeda, yaitu:
- Pidana penjara biasanya diancamkan pada kejahatan yang sifatnya serius/berat, sedangkan pidana kurungan biasanya diancamkan pada delik-delik yang bersifat ringan;
- Orang yang menjalani pidana penjara dapat dipindahkan ke LP lain sesuai dengan keperluan pembinaan/alasan tertentu, sedangkan ormng yang menjalani pidana kurungan tidak;
- Pekerjaan orang yang dipidana penjar lebih berat dari pekerjaan orang yang dipidana kurungan;
- Pakaian orang yang dipidan penjara hrus seragam, sedangkan orang yang dipidana kurungan tidak;
- Orang yang dipidana penjara tidak memiliki hak Pistole (hak memperbaiki kondisi, sarana/fasilitas di LP dengan biaya sendiri), sedangkan orang yang dipidan kurungan memiliki hak itu;
- Dalam pelaksanaan pidana penjara, dimungkinkan pelaksanaan konsep Pidana Penjara Bersyarat, sedang dlam pidana kurungan tidak.
Dalam pembahasan ada tidaknya pidana penjara dalam Islam, perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan tersebut tidaklah menjadi persoalan penting. Karena yang menjadi titik tekan pembahasan disini adalah apakah Islam menganjurkan, atau setidak-tidaknya mengizinkan, pelaksanaan pidana dengan cara mengurung terpidana dalam suatu bangunan tertentu ataukah tidak. Dan kalau seandainya Islam memang menganjurkan/mengizinkan pidna yang demikian itu, prinsip-prinsip apa saja yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya.
2. Pidana Penjara Dalam Perspektif Hukum Islam
A. Pandangan Hukum Islam Atas Pidana Penjara
Hukum Pidana Islam mempunyai berbagai jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatannya, diantaranya adalah ta’zir. Ta’zir sendiri secara bahasa berarti pencegahan, pertolongan, dan kemudian kata ini sering digunakan untuk menunjukkan arti pendidikan dan pengajaran. Menurut Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhailiy, ta’zir secara syara’ berarti hukuman yang disyari’atkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak ada had dan kafarat didalamnya. Baik itu jinayah terhadap hak Allah, seperti makan di siang hari bulan Ramadhan, ataupun jinayah terhadap hak hamba, seperti pencurian yang tidak mencapai satu nishab, pencurian yang barangnya tidak diambil dari al-hirz, dan tuduhan yang bukan tuduhan zina . Sedangkan menurut Dr. Musthafa al-Rafi’i, ta’zir adalah hukuman yang ukurannya tidak dijelaskan oleh nash syara’ dan untuk menentukannya diberikan pada waliy al-amri dan qadli .
Berdasarkan konsep pidana ta’zir diatas, maka jelaslah bahwa dalam hal nash-nash syara’ belum mengatur tentang suatu kejahatan atau pidana, seorang imam/hakim, bila memang perlu, punya kewenangan dan boleh untuk melakukan kriminalisasi dan penalisasi sendiri. Menurut jumhur ulama (selain Malikiyyah), disini qadli punya kewenangan bebas untuk menentukan jenis pidananya (äæÚ ÇáÚÞæÈÉ), tetapi tidak untuk kadar pidananya (ãÞÏÇÑ ÇáÚÞæÈÉ ( , karena ada batas maksimum untuk pidana ta’zir. Apalagi menurut Al-Qarrafiy, pidana ta’zir dapat saja berbeda-beda, sesuai dengan tempat dan waktu. Para fuqoha berpendapat bahwa jenis pidana ta’zir tidak terbatas. Adapun jenis pidana ta’zir yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih, maka hal itu hanyalah penyebutan beberapa contoh saja, dan sama sekali bukan penyebutan secara keseluruhan.
Bila kita mencermati beberapa pendapat ulama tersebut di atas, jelaslah bahwa sebenarnya Hukum Islam tidak pernah menutup kemungkinan diadakannya pidana penjara, sepanjang itu memang diperlukan. Apalagi dalam masa Rasulullah pernah dipraktekkan suatu jenis ta’zir yang esensinya sangat mirip dengan pidana penjara, yaitu ta’zir berupa pembuangan (al-nafyu, al-ib’ad) terhadap orang-orang yang menyerupai wanita (ÇáãÎäËíä). Karena itulah mungkin, maka Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Orang laki-laki yang menyerupai perempuan (hukumannya adalah) dilenyapkan (diasingkan), karena ia tidak mendatangkan apa-apa kecuali kerusakan. Imam berhak untuk membuangnya ke daerah yang penduduknya dipandang aman darinya, atau jika imam takut akan itu, penjarakanlah dia”.
Esensi dari ta’zir pembuangan ini adalah untuk mengisolir pelaku kejahatan dari masyarakatnya agar ia tidak mempengaruhi yang lainnya, sebagaimana tampak dalam pernyataan Imam Ahmad diatas. Itu berarti bahwa esensi dari ta’zir tidak berbeda dengan esensi pidana penjara. Leonard Orland, dalam buku Prisons: Houses of Darkness, menyebutkan beberapa justifikasi teoritis diadakannya pidana penjara, yaitu: (a) The problem of recidivism (masalah residivis), (b) Retribution (pembalasan), (c) Deterrence (pencegahan), dan (d) Isolation (mengisolir terpidana dari masyarakat).
Menurut Dr. Jimly Asshidiqie, SH., pidana ta’zir pembuangan yang dipraktekkan pada zaman dahulu sekarang ini perlu dipertanyakan relevansinya. Di zaman sekarang, dimana perhubungan dan transportasi sudah tidak menjadi masalah berarti, pidana pembuangan bisa dikatakan tidak punya arti sama sekali. Karena itu, mengingat esensi dari pembuangan dan penjara adalah sama, yaitu isolasi dan pelajaran bagi pelaku kejahatan, pidana pembuangan/pengasingan yang sudah tidak efektif ini perlu diganti dengan pidana penjara. Pidana penjara adalah bentuk pengembangan lebih lanjut dari pidana ta’zir berupa pembuangan/pengasingan. Karena yang terpenting adalah, bagaimana agar pidana ta’zir yang dijatuhkan punya efektivitas.
Berdasarkan pemaparan diatas, jelas kiranya bahwa hukum Islam tidak pernah melarang diadakannya pidana penjara. Bahkan Rasulullah pernah membuat suatu pidana ta’zir yang bisa dianggap mengindikasikan legalitas pidana ini dalam Islam.
B. Pidana Penjara dalam Konsep Islam
A. Definisi Penjara (al-Habsu, al-Sijnu)
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan secara terminologi berarti “menahan atau mencegah seseorang pelaku kejahatan dari pergaulan dengan masyarakat”.
B. Dasar-dasar Diadakannya Pidana Penjara Dalam Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai legalitas pidana penjara. Sebagian golongan Hanbali dan yang lainnya berpendapat bahwa pidana penjara tidak pernah disyari’atkan dalam Islam. Alasannya, di zaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak ada lembaga penjara, dan keduanya juga tidak pernah memenjarakan seorang pun, tetapi mengasingkannya di suatu tempat. Padahal, mereka sudah tahu pidana penjara karena pidana ini sudah ada sebelum masa mereka.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah ini tidaklah berarti bahwa pidana penjara tidak disayari’atkan dalam hukum Islam, karena saat itu memang belum membutuhkan adanya pidana penjara. Sampai kemudian tiba pada masa ‘Umar, dimana penduduk semakin banyak dan kian menyebar sehingga muncul kebutuhan diadakannya pidana penjara, pidana penjara pun mulai tampak. Berikut ini adalah dasar-dasar yang memperkuat pendapat yang mengatakan dianjurkannya pidana penjara dalam Islam.
1. Dasar dari al-Qur’an
Ayat al-Qur’an yang bisa dianggap menjadi dasar pidana penjara diantaranya adalah QS. Al-Nisa’: 5 yang artinya: “Maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain padanya”. Ayat ini menunjukkan perintah untuk menahan dan memenjarakan dalam rumah, sehingga dapat diartikan pula sebagai pensyari’atan diadakannya pidana penjara. Ayat kedua adalah QS. 5: 33, yang artinya: “Atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. Imam Malik dan ulama Kufah mengatakan bahwa membuang berarti memenjarakan, sehingga dibuang dari keluasan dunia ke sempitnya dunia. Ketika dipenjara, maka seolah-olah ia telah dibuang dari luasnya dunia ke dalam sempitnya penjara yang menjadi tempatnya berada.
2. Dasar dari Sunnah
Imam Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, dan Nasa’I meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menahan seorang tertuduh, kemudian meninggalkan orang tersebut. Al-Hakim pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah pernah menahan seorang tertuduh selama sehari semalam. Apa yang dilakukan Rasulullah ini menunjukkan disyari’atkannya pidana penjara.
3. Dasar Dari Ijmak Sahabat
Adapun dasar dari ijmak sahabat tampak ketika khalifah ‘Umar dan Utsman menerapkan pidana penjara. Dan tidak satupun sahabat yang mengingkarinya ataupun protes.
4. Dasar dari Praktek Sejarah dan Pendapat Ulama
Dalam beberapa buku, kita bisa mendapati bahwa pidana penjara pernah dipraktekkan dalam beberapa Daulah Islamiyyah. Syed Hussein Alatas misalnya, ketika menjelaskan contoh sikap konsistennya Imam Ahmad, mengatakan: “He was beaten and imprisoned by the Caliph for refusing to agree on some theological points (Imam Ahmad pernah dipukul dan dipenjara oleh Khalifah al-Mu’tashim karena menolak untuk menyetujui beberapa pemikiran teologis)”.
Itu adalah contoh dari penerapan pidana penjara di negara Islam pada zaman dahulu. Sedangkan contoh dari penerapan pidana penjara di negara Islam saat ini adalah Pasal 1 UU Pemberantasan Suap Saudi Arabia yang menyatakan:
ßá ãæÙÝ ÚÇã ØáÈ áäÝÓå Çæ áÛíÑå Çæ ÞÈá Çæ ÇÎÐ æÚÏÇ Çæ ÚØíÉ áÃÏÇÁ Úãá ãä ÇÚãÇá æÙíÝÊå Çæ íÒÚã Çäå ãä ÇÚãÇá æÙíÝÊå æáæ ßÇä åÐÇ ÇáÚãá ãÔÑæÚÇ íÚÏ ãÑÊÔíÇ æíÚÇÞÈ ÈÇáÓÌä ãä ÓäÉ Çáì ÎãÓ ÓäæÇÊ æÈÛÑÇãÉ ãä ÎãÓÉ ÇáÝ ÑíÇá Çáì ãÇÆÉ ÇáÝ ÑíÇá Çæ ÈÇÍÏì åÇÊíä ÇáÚÞæÈÊíä
(Setiap pejabat publik yang meminta untuk dirinya sendiri atau orang lain, atau menerima atau mengambil sesuatu janji atau pemberian untuk melakukan tindakan tertentu yang termasuk dalam pekerjaan jabatannya, atau patut diduga termasuk dalam pekerjaan jabatannya, meskipun pekerjaan tersebut diperintahkan, dianggap sebagai penerima suap dan dipidana dengan pidana penjara satu sampai lima tahun dan pidana denda sebanyak lima ribu sampai seratus ribu riyal, atau salah satu dari keduanya)
Selain itu, banyak ulama yang dalam buku-bukunya menyebutkan secara eksplisit pidana penjara. Contohnya Imam Ibnu Taimiyyah, beliau menuliskan:
Apabila hanya mengancam dengan senjata, namun tidak sampai membunuh dan mengambil harta, kemudian memasukkan senjata kembali, maka hukumannya adalah diasingkan dari tempat kediamannya. Ada yang mengatakan pengasingannya adalah dengan cara mengarantinanya ke tempat tertentu, maka mereka tidak ditinggal begitu saja untuk meminta-minta di negara lain. Pendapat lain mengatakan, pengasingannya dengan cara dipenjara.
Contoh dari ulama kontemporer adalah Dr. Muhammad Al-Zuhaily. Dekan dan Guru Besar Hukum Islam dari Fakultas Syari’ah Damascus University yang juga murid Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaily ini, dalam buku Al-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah (Teori-teori Fiqih) menuliskan: ”Pidana ta’zir banyak dan bermacam-macam. Ada yang menimpa badan, seperti pidana mati dan jilid…………….Ada yang menimpa badan dan jiwa, seperti penjara dan pengasingan (al-habsu wa al-nafyu), …….”.
Apabila kita mencermati peta perbedaan pemikiran di kalangan ulama seputar legalitas pidana penjara dalam hukum Islam, maka yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pidana penjara diperbolehkan dan disyari’atkan dalam hukum Islam. Dasar dari mereka yang menolak hanya satu, yaitu Rasulullah dan Abu Bakar tidak pernah mempraktekkannya. Sedangkan dasar mereka yang berpendapat bahwa pidana penjara disyari’atkan dalam hukum Islam sangat banyak dan kuat. Karena itu, dapatlah kita simpulkan kiranya bahwa pidana penjara dipebolehkan dan disyari’atkan dalam hukum Islam sebagai salah satu jenis pidana ta’zir.
C. Aturan Penerapan Pidana Penjara Menurut Islam
Meski pidana penjara dimungkinkan dalam hukum Islam, dalam penerapannya tetap ada batasan dan aturan. Pidana ini termasuk pidana ta’zir, sehingga untuk aturan penerapan dan pelaksananya harus mengikuti kaidah-kaidah umum penjatuhan pidana ta’zir. Diantara azas-azas umum pidana ta’zir yang paling penting adalah:
1. Berbeda dengan pidana hudud, qishash, dan diyat yang ukurannya sudah ditentukan, pidana ta’zir adalah pidana yang tidak ada ketentuan kadarnya. Karena itu, imam/hakim dalam penjatuhan pidana penjara haruslah menentukan kadar yang pantas dan adil bagi semua pihak: masyarakat, pelaku, dan korban.
2. Dalam ta’zir harus diperhatikan kondisi pelaku dan jenis perbuatannya. Ini berbeda dengan pidana hudud, qishash, diyat, dan kafarat yang hanya melihat jenis kejahatan saja; sepanjang unsur delik telah terpenuhi, pidana harus dijatuhkan tanpa melihat kondisi pelaku. Karena itu, dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara (yang sudah jelas merupakan bagian dari ta’zir), kondisi pelaku harus dipertimbangkan juga. Kadar pidana penjara untuk orang yang bandel dan sehat harus berbeda dengan kadar untuk mereka yang penurut dan lemah fisiknya.
3. Tujuan utama pidana ta’zir adalah untuk pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Karena itulah, pidana penjara, mengingat termasuk pidana ta’zir yang diantara tujuannya adalah untuk pembalasan, bagaimanapun juga, harus mengandung unsur nestapa bagi pelaku dan jangan terlalu ‘memanjakannya’, tapi juga jangan terlalu menyengsarakannya secara berlebihan. Inilah yang mungkin sering dilupakan dalam konsep pidana penjara barat, dimana seringkali pidana penjaranya terlalu mengedepankan unsur pendidikan an sich, sampai kemudian penjara dianggap sebagai ‘lembaga pemasyarakatan’ dan ‘sekolahan para napi’ semata, yang didalamnya sangat minim penderitaan. Pola penjara seperti di barat ini sangat memperhatikan -- bahkan memanjakan -- posisi pelaku (offender), dan sangat mengabaikan posisi korban (victim).
4. Harus diperhatikan efektifitas dari penjatuhan pidananya. Apabila pidana penjara diperkirakan justru akan menjadi madlarat, seperti menjadi ajang berbagi ilmu kejahatan antara para napi misalnya, maka pidana ini harus dihindari dan diganti dengan jenis ta’zir lainnya.


KESIMPULAN
Para ulama berbeda pendapat mengenai status pidana penjara dalam hukum Islam. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pidana penjara sama sekali tidak diajarkan dalam Islam. Alasannya adalah karena pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak pernah ada penjara, padahal mereka tahu jenis pidana ini. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa pidana ini disyari’atkan dalam hukum Islam berdasarkan dalil Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sahabat.
Apabila kedua pendapat tersebut dibandingkan, yang lebih kuat dan lebih patut dijadikan pegangan adalah pendapat yang mengatakan bahwa pidana ini dianjurkan dalam hukum Islam. Apalagi, di zaman sekarang ini pidana penjara seolah menjadi kebutuhan mutlak. Bisa dikatakan, sekarang ini tidak ada negara yang tidak punya lembaga bernama penjara.
Karena itu, pidana penjara sebaiknya tetap dipertahankan eksistensinya. Hanya saja, dalam penerapannya harus diperhatikan aturan dan batasannya. Diantara yang harus selalu diingat adalah bahwa pidana ini intinya merupakan pembalasan, pelajaran, dan pencegahan. Selain itu, karena pidana penjara termasuk dalam jenis ta’zir yang menimpa badan dan jiwa, pidana ini juga harus selalu memperhatikan kondisi jasmani dan rohani terpidana.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Zuhaily, Muhammad, Al-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah, Damascus: Dar al-Qalam, t. t.
- Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu Juz 6¸ Beirut: Dar al-Fikr, 1989
- Orland, Leonard, Prisons: Houses of Darkness, New York: The Free Press, 1975
- Jacob, James B., New Perspective On Prisons and Imprisonment, London: Cornell University Press, 1983
- Alatas, Syed Hussein, Corruption and The Destiny of Asia, Selangor: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd., 1999
- Al-Rafi’i, Musthafa, Ahkam al-Jara’im fi al-Islam, al-Qishash wa al Hudud wa at-Ta’zir, t. tempat: al-Dar al-Afriqiyah al-‘Arabiyyah, 1996
- Al-Buthiy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut: Mua’ssasah al-Risalah, 1986
- Al-Thariqiy, Abdullah, Jarimah al-Rasywah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Riyadh: tanpa penerbit, 1986
- Taimiyyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlahi al-Raa’I wa al-Ra’iyyah, terj. Rofi’ Munawwar, Lc. , Surabaya: Risalah Gusti, 1995
- Hazairin, Tujuh Serangka Tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1981
- Asshidiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Hukum Pidana Dalam Tradisi Fiqih dan Relevansinya bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Bandung: Penerbit Aksara
- Kholiq, Abdul AF., Buku Pedoman Hukum Pidana, Yogyakarta: FH-UII, 2002
- Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1991

3 komentar:

BECK_MEN mengatakan...

saya Bekti..

skedar ingin bertanya dan bertukar pikiran . .

1. bila mengkaji artikel tersebut, apakah prinsip-prinsippidana pengasingan dalam islam, baik pengasingan secara komunikasi, kultural, dan geografis dapat diterapkan sebagai pemberharuan pidana penjara di Indonesia???
apa dasarnya??

trims

Abdullah mengatakan...

Setiap bentuk kesalahan ada tipe hukumannya Pak BECK MEN.
Jalan (agama) Islam tidak main pukul rata seperti sistem hukum jahiliyah yang masih diterapkan sampai sekarang.
Perlu dilihat kasus per kasus dan juga tergantung situasi.

Contohnya, jika mencuri hanya karena nafsu, perlu di porong tangan.
Tapi, jika mencuri karena tidak ada lagi yang akan dimakan, maka YANG SALAH adalah PEMIMPIN (IMAM) nya. Pencurinya dibebaskan dari segala bentuk hukuman itu.
Jika sistem Islam benar-benar dijalankan dengan baik, hampir pasti tidak akan ada lagi yang akan mencuri karena kebutuhan hidup sudah terselesaikan dengan baik oleh sistem. Kondisi sejahtera seperti ini sangat terkenal di kalangan muslim pada zaman "DUA UMAR", dimana orang-orang tidak ada lagi yang mau (malu) untuk menerima zakat karena sudah berkecukupan.

Lapas Sarolangun mengatakan...

Mantap artikelnya perlu kajian lebih dalam, diangkat public dicourse, salam Lapas Sarolangun