Selasa, 19 Februari 2008

ANALISIS FILM
“AND THE JUSTICE FOR ALL”
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin


[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]

A. HAK SUBSTITUSI DALAM DUNIA KEPENGACARAAN
Dalam film tersebut dikisahkan bahwa Atur, seorang pengacara yang sebenarnya berdedikasi tinggi, pada suatu waktu sedang menangani kasus kliennya yang sedang memasuki tahap pembuktian di pengadilan. Tapi karena ia juga harus menghadiri persidangan kasus lainnya yang menurutnya lebih penting, maka ia menggantikan/mensubstitusikan posisinya pada rekan seprofesinya, Jai.
Sayangnya Jai tidak melaksanakan tugas yang telah dipercayakan oleh Atur padanya dengan baik. Jai terlambat mengajukan barang bukti pada hakim Flemming yang terkenal sangat disiplin, sehingga barang bukti tersebut ditolak oleh Flemming. Padahal, barang bukti tersebut adalah bukti kunci yang bisa menjelaskan tidak bersalahnya kliennya.
Akibatnya, kliennya tersebut dihukum penjara tiga tahun. Kliennya tersebut kemudian depresi, karena merasa tidak bersalah tapi dihukum, sehingga gantung diri di penjara. Mengetahui itu, Atur sangat kecewa dan marah-marah pada Jai, sekaligus merasa sangat berdosa pada kliennya. Kliennya tersebut telah mempercayainya, tapi dia kemudian memberikan kepercayaan kliennya tersebut pada orang lain.
Persoalan substitusi seperti itu memang sangat sering terjadi dalam dunia kepengacaraan. Dalam bagian akhir surat kuasa biasanya disebutkan “kuasa ini diberikan Hak Substitusi kepada orang lain apabila berhalangan”. Format yang seperti itu hampir ada dalam semua surat kuasa, kecuali dalam surat kuasa dimana klien telah menyatakan secara tegas bahwa ia hanya mau ketika yang mejadi pengacaranya adalah si Fulan saja, dan melarangnya untuk mewakilkan pada siapapun.
Persoalan substitusi memang pelik. Di satu sisi, ketika seorang klien mendatangi seorang pengacara dan kemudian memintanya agar dibela kepentingannya, maka itu berarti ia telah memilih pengacara tersebut dan memberikan kepercayaan padanya. Sehingga pengacara tersebut harus melaksanakan amanah yang telah diberikan kliennya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab.
Tapi di sisi yang lain, bagaimanapun, pengacara adalah seorang manusia juga, yang, bisa jadi, pada suatu saat mendapatkan halangan. Ketika dia mendapatkan halangan untuk hadir di persidangan karena kepentingan yang sifatnya mendesak sementara proses persidangan harus terus berjalan, siapa yang akan membela terdakwa di persidangan bila sang pengacara tidak diberikan hak substitusi?
Maka dari itu, diberikannya hak substitusi kepada seorang pengacara adalah suatu kebutuhan. Tapi hendaknya hak ini boleh digunakan oleh pengacara hanya ketika keadaan terpaksa saja. Selain dalam kondisi yang seperti itu, ia tidak boleh menggunakan hak substitusi yang ada padanya. Karena, kepercayaan dari klien kepadanya adalah sebuah amanat yang sudah semestinya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan seoptimal mungkin.
B. PERIHAL RAHASIA KLIEN
Pasal 18 (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat menyatakan: advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasar jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. Dan Pasal 19 (1): Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Pasal ini menunjukkan bahwa merahasiakan rahasia klien adalah kewajiban pengacara dan karena itu, membocorkannya adalah sebuah pelanggaran hukum.
Adanya kewajiban merahasiakan rahasia klien adalah demi tercapainya keadilan. Sebagaimana diketahui, dalam hukum ada empat pilar penegak hukum yang dikenal dengan istilah “catur wangsa”, yaitu: polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Meskipun ada pihak yang kelihatannya bertentangan, khususnya pengacara terdakwa dan jaksa, namun keberadaan semua pihak tersebut adalah dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu terwujudnya kebenaran dan keadilan. Jaksa pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk ‘menjerumuskan’ terdakwa dan membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Karena itu, agar adil, harus diimbangi dengan kehadiran pengacara yang akan membela terdakwa.
Dalam hukum ada dua aliran besar: aliran substansialis dan aliran formalis. Aliran substansialis berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan hukum tidak perlu terlalu formalistis. Aturan hukum acara yang ada boleh saja ditembus, yang penting keadilan dapat terwujud. Sementara aliran formalis berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan harus sesuai dengan aturan hukum acara yang ada. Tindakan melanggar hukum acara sudah berarti pelanggaran terhadap keadilan itu sendiri.
Bagi aliran formalis, membocorkan rahasia klien tentu merupakan hal yang sangat tabu, karena tindakan tersebut melanggar undang-undang. Tidak peduli meskipun tindakan tersebut adalah dilakukan demi tercapainya kebenaran dan keadilan. Sedangkan aliran substansialis tentu akan berpendapat bahwa tindakan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, bila memang itu diperlukan demi terwujudnya kebenaran dan keadilan.
Dalam hal ini, kita harus ingat bahwa diciptakannya hukum acara adalah untuk menopang terlaksananya hukum materiil secara benar, sehingga dengannya kebenaran dan keadilan dapat tercapai. Kita juga harus ingat, bahwa peraturan-peraturan yang ada dalam hukum acara tidak selalu bisa mengakomodir demua hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Maka dari itu, adalah tidak mengapa, bila kemudian hukum acara disimpangi demi terwujudnya kebenaran dan keadilan, karena ini juga berarti demi terwujudnya tujuan dari hukum acara itu sendiri.
Apalagi bila kita sadar bahwa tujuan dari pengacara adalah membela terdakwa sebatas pada hak-haknya saja, dan bukan membebaskannya. Maka dari itu, bila pembelaan terhadap hak-hak terdakwa sudah terpenuhi, dan jaksa kesulitan membuktikan bersalahnya terdakwa, sedangkan pengacara tahu bahwa terdakwa bersalah, maka tidaklah mengapa bila kemudian ia memberi tahukan rahasia tentang kesalahan terdakwa pada jaksa dan hakim.
Tindakan yang seperti ini bukanlah tindakan menjerumuskan terdakwa. Karena, bila memang terdakwa bersalah, bukankah dia sudah semestinya dihukum sesuai dengan perbuatannya? Dikatakan menjerumuskan adalah bila seorang tidak bersalah kemudian dikatakan bersalah. Sehingga bila pada kenyataannya terdakwa memang bersalah, maka tindakan memberitahukan kesalahannya pada penegak hukum lainnya adalah bukan tindakan menjerumuskan terdakwa, tapi menempatkannya pada posisi yang semestinya. Apalagi bila kita ingat lagi bahwa tugas pengacara bukanlah membebaskan terdakwa, tetapi membela sebatas hak-haknya saja.
Tindakan membocorkan rahasia klien memang terkesan membuat jaksa menjadi ‘manja’, karena tugas jaksa adalah membuktikan kesalahannya. Tapi bila jaksa sudah berusaha, dan dia ternyata tidak bisa membuktikan, maka pengacara boleh ‘menembus’ hukum acara yang ada agar kebenaran materiil dapat terungkap. Bila sudah dalam kondisi seperti ini, maka tugas pengacara selanjutnya adalah mengeksplorasi hal-hal yang bisa meringankan terdakwa, sehingga dengannya hakim dapat memberikan putusan yang adil bagi semuanya.

1 komentar:

Nurhilmiyah mengatakan...

tulisannya bagus..saya membacanya utk memperjelas tentang hak substitusi. makasih ya mas.