MUSLIMAH SEBAGAI IBU IDEAL
Oleh: Muhammad Lubabul Mubahitsin
(Naskah ini dibuat untuk saudara perempuan saya
yang mengikuti lomba pidato Muslimat NU)
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
Assalamu’alaikum wr. wb.
ÃáÍãÏ ááå æÇáÕáÇÉ æÇáÓáÇã Úáì ÃÔÑÝ ÎáÞ Çááå
ÓíÏäÇ æäÈíäÇ ãÍãÏ Õáì Çááå Úáíå æÇáå æÕÍÇÈÊå æãä æÇáÇå
æÈÚÏ
Hadirin yang terhormat,
Kalau kita membaca berita, maka kita akan tahu bahwa masyarakat Barat sekarang ini sedang mengalami kepanikan melihat runtuhnya kehidupan keluarga. Menurut Ratna Megawangi, seorang doktor muslimah lulusan Amerika, kehidupan keluarga di Barat sekarang sedang menghadapi kondisi kritis. Ini karena para ibu tidak mau menjalankan perannya sesuai kodrat wanita. Waktu mereka habis untuk bekerja, sehingga hubungan anak dengan orangtua makin jauh. Anak kekurangan kasih sayang serta pendidikan orang tua. Akibatnya, timbulah masalah sosial seperti kenakalan remaja, kriminalitas, obat-obatan terlarang (narkoba) dan seks bebas.
Di Singapura misalnya, kaum wanita lebih memilih karir dibanding menjadi ibu, sehingga anak menjadi barang langka. Pemerintah Singapura yang dihantui ketakutan akan kurangnya sumber daya manusia membuat kebijakan memberikan fasilitas tunjangan bagi pasangan yang akan menikah dan ibu-ibu yang melahirkan. Hal ini dapat dimengerti mengingat negara tanpa generasi muda yang berkualitas adalah ibarat pohon tanpa tunas, tinggal menunggu kematian saja.
Krisis keluarga yang dialami masyarakat Barat dan Singapura tersebut ternyata juga mulai merasuki kehidupan keluarga di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Wanita di perkotaan lebih memilih untuk menjadi ‘wanita karir’, sehingga banyak yang melupakan perannya sebagai istri dan ibu. Kalau masalah ini tidak segera diatasi, maka bukan mustahil bila krisis keluarga yang sekarang mewabah di masyarakat Barat akan benar-benar terjadi pula di Indonesia.
Padahal, sebagaimana kita tahu, sebuah keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk masyarakat suatu negara. Masyarakat suatu negara tersusun dari berbagai keluarga, dan keluarga itulah yang akan mencetak generasi selanjutnya. Bila keluarganya saja sudah bermasalah, maka masyarakatnya juga pasti akan bermasalah. Demikian juga sebaliknya. Bila keluarganya damai dan harmonis, maka masyarakatnya juga pasti akan baik. Seandainya generasi bangsa dicetak oleh keluarga yang bobrok, maka bisa dibayangkan bagaimana negara ini ke depan, tentu akan bobrok juga.
Dalam keluarga, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar, terutama dalam mendidik dan menyiapkan anak sebagai generasi bangsa dan agama. Karenanya, tidak mengherankan jika kita sering mendengar ungkapan:
ÇáãÑÃÉ ÚãÇÏ ÇáÈáÇÏ¡ ÈåÇ ÊÍíì æÈåÇ ÊãæÊ
“Wanita adalah tiang negara-negara. Dengannya negara akan hidup, dan dengannya pula negara akan mati.”
Dalam bahasa Arab, ibu disebut sebagai “umm”, dan masyarakat disebut “ummat”. Keduanya ternyata bersumber dari akar kata yang sama, sehingga menggambarkan keterkaitan erat antara keduanya. Seorang “umm” (ibu) adalah orang yang melahirkan, mendidik, dan mempersiapkan generasi untuk “ummat” (masyarakat). Tidak berlebihan kiranya jika ibu kemudian kita katakan sebagai tiang masyarakat, negara, dan agama. Apabila tiang-tiang ini tidak mampu berfungsi dengan baik, maka tentu masyarakat juga akan rapuh dan rusak.
Karena itulah, dalam kesempatan kali ini saya akan membahas sebuah tema yang semoga bisa menjadi solusi bagi krisis keluarga yang sekarang ini mulai merambah masyarakat kita, yaitu tema “Muslimah Sebagai Ibu Teladan”. Pembahasan akan saya mulai dari sosok muslimah ideal menurut Islam, kemudian bagaimana sebenarnya istri dan ibu yang ideal menurut Islam. Apa yang saya bahas nanti semoga bisa menjadi acuan bagaimana kita seharusnya bersikap di tengah-tengah era modern seperti sekarang.
A. WANITA IDEAL DALAM ISLAM
Hadirin yang mulia,
Wanita yang ideal dalam pandangan Islam adalah wanita yang diistilahkan dengan “al-mar’ah al-shalihah”. Kata “shalih” (mu’annats: shalihah) adalah kebalikan dari kata “fasid” yang berarti “rusak/kerusakan”. Melihat akar katanya, “shalih” berarti “yang pantas dan sesuai” atau “tiadanya kerusakan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa arti dari “al-mar’ah al-shalihah” adalah: wanita yang senantiasa melakukan perbuatan yang pantas, sesuai, mendatangkan manfaat, dan jauh dari kerusakan. Untuk mengukur apakah suatu perbuatan itu dikatakan sesuai, pantas, dan bermanfaat atau tidak, yang harus menjadi standarnya tentu adalah ajaran-ajaran Islam.
Wanita ideal seperti inilah yang dibanggakan oleh Islam dan bisa menjadi penghias dunia ini, seperti tampak dalam hadis nabi:
ÇáÏøõäúíóÇ ãóÊóÇÚñ æóÎóíúÑõ ãóÊóÇÚö ÇáÏøõäúíóÇ ÇáãóÑúÃóÉõ ÇáÕøóÇáöÍóÉõ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah” (HR. Muslim)
B. WANITA DALAM KELUARGA
Dalam pandangan Islam, pria dan wanita memiliki derajat kemanusiaan yang sama. Tidak ada perbedaan antara manusia yang satu dan yang lain, termasuk antara pria dan wanita, kecuali dalam hal ketakwaan terhadap Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al-Hujurat: 13)
Pria dan wanita memang memiliki derajat kemanusiaan yang sama dalam pandangan Islam. Akan tetapi, Allah sejak awal menciptakan keduanya dengan fitrah yang berbeda. Pria biasanya lebih kuat, perkasa, terbuka, dan berani. Sementara wanita biasanya lebih halus, dan lembut. Keduanya diciptakan secara berbeda, tujuannya adalah agar satu sama lain saling merasa butuh dan kemudian saling melengkapi. Bukankah kehidupan ini tidak bisa dihadapi dengan kekuatan, keperkasaan, dan keberanian saja, tapi juga dibutuhkan kelembutan, perasaan yang halus, dan keindahan-keindahan?
Dalam pandangan Islam, keduanya harus bekerja sama satu sama lain, agar roda kehidupan bisa berjalan seimbang. Ini tampak dalam firman Allah:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan wanita, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Taubah: 71)
Selanjutnya, karena perbedaan fitrah fisik, karakter, dan sifat-sifat antara pria dan wanita, maka Islam memberikan peran yang berbeda kepada mereka. Dalam sebuah rumah tangga, pria diberi kewajiban memimpin dan melindungi rumah tangga, bekerja mencari nafkah, dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangga. Sementara kaum wanita diberi kewajiban untuk mengurus anak dan urusan-urusan lain yang ada dalam rumah tangga.
Rumah tangga adalah sebuah ‘organisasi kecil’ yang di dalamnya harus ada pemimpin, agar perjalanan rumah tangga tersebut bisa teratur dan stabil. Dengan mengingat sifat masing-masing, maka Islam telah menentukan bahwa kepemimpinan rumah tangga adalah di pihak suami, sebab suamilah yang memang secara fisik dan kejiwaan lebih pantas untuk tugas tersebut. Ayat tentang kepemimpinan dalam rumah tangga adalah firman Allah:
Kaum pria itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (pria) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa’: 34)
Berdasar ayat tersebut, Allah memberikan kelebihan peran berupa kepemimpinan kepada pria (suami) karena dua alasan. Pertama, adalah karena Allah telah memberikan kepada kaum pria beberapa kelebihan sifat yang biasanya tidak dimiliki oleh wanita, seperti kekuatan fisik dan kekuatan akal. Kedua, adalah karena pria memberikan nafkah kepada pihak wanita.
Wanita tidak diberi peran sebagai pemimpin rumah tangga, sebab dalam hadis nabi dikatakan bahwa wanita adalah makhluk yang ‘kurang akalnya’ ( äÇÞÕÇÊ ÚÞá ). Sekilas, kalau dibaca secara dangkal, hadis tersebut memang terkesan memojokkan dan merendahkan wanita. Tapi hadis tersebut sebenarnya hanyalah ‘kiasan’ saja. Menurut salah seorang ulama dari Syiria, yaitu Dr. Sa’id Ramadlan Al-Buthiy dalam kitabnya, “Ma’an Naas: Masyuraat wa Fataawa”, maksud ‘kurang akal’ dalam hadis nabi adalah: ‘perasaan wanita seringkali lebih dominan dari akalnya’, dan ini adalah sebuah kenyataan yang telah disepakati oleh para ahli ilmu kejiwaan (psikolog) modern.
Dalam kitabnya yang lain, “Al-Mar’ah: bayna Thughyaanin Nidzaam al-Gharbiy wa Lathaa’ifit Tasyrii’ Al-Rabbaniy”, ia menjelaskan:
Ãä ÇáãÑÃÉ ÃÞæì ÚÇØÝÉ ãä ÇáÑÌá æÃÖÚÝ ÊÝßíÑÇ ãäå¡ æÃä ÇáÑÌá ÃÞæì ÊÝßíÑÇ ãä ÇáãÑÃÉ æÃÖÚÝ ÚÇØÝÉ ãäåÇ
(Sesungguhnya wanita itu lebih kuat perasaannya dari pada pria, ia tapi lebih lemah pemikirannya dari pria. Sementara pria lebih kuat pemikirannya dari wanita, tapi ia lebih lemah perasaannya dibandingkan wanita).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam tidak pernah memandang rendah wanita. Masing-masing dari pria dan wanita diberi keistimewaan sendiri-sendiri, sehingga satu sama akan saling butuh dan melengkapi. Pria bisa saja lebih dalam hal pemikiran, tapi ia kurang dalam hal perasaan. Sementara wanita boleh saja kurang dalam hal pemikiran, tapi ia memiliki kelebihan dari pria dalam hal perasaan.
Kita tahu, bahwa tidak semua persoalan dapat dihadapi dengan pemikiran, tapi terkadang juga harus dengan perasaan. Ada kisah menarik dalam salah satu hadis Nabi yang mungkin bisa menjadi bahan perenungan bagi kita. Miswar bin Makhramah dan Marwan berkata: Rasulullah keluar pada waktu peristiwa Hudaibiyah ... Setelah mengurus masalah naskah perjanjian (damai dengan orang Quraisy) Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya: “Bangkitlah kalian untuk menyembelih kurban, kemudian bercukurlah.” Miswar berkata: “Demi Allah, ternyata seruan Rasulullah itu tidak diperhatikan oleh seorang pun dari mereka, sekalipun beliau sudah mengulang-ulang seruannya itu sampai tiga kali.” Dengan perasaan kesal, Rasulullah kemudian menemui istrinya, Ummu Salamah, untuk menceritakan masalah tersebut. Dengan sabar Ummu Salamah mengatakan: “Wahai Nabiyallah, maukah engkau menerima saranku? Sebaiknya engkau keluar sendirian tanpa perlu berbicara sepatah kata pun kepada seorang pun dari mereka. Engkau sembelih sendiri hewan kurbanmu, kemudian panggillah tukang cukur untuk mencukur rambutmu.”
Saran itu kemudian dituruti oleh Rasulullah. Beliau keluar tanpa berbicara sepatah kata pun dengan salah seorang dari mereka, sampai beliau melakukan apa yang disarankan Ummu Salamah. Beliau menyembelih hewan kurbannya, lalu memanggil tukang cukur untuk mencukur rambutnya. Melihat Rasulullah melakukan yang demikian, akhirnya para sahabat bergegas bangkit untuk menyembelih hewan kurbannya, kemudian mereka saling mencukur rambut satu sama lainnya ..." (HR Bukhari)
Lihatlah bagaimana Rasulullah sempat bingung menghadapi para sahabat yang tidak kunjung menaati perintahnya. Beliau tidak tahu sebabnya apa. Tapi Ummu Salamah, karena dia seorang wanita, maka ia memiliki ketajaman perasaan untuk merasakan apa yang ada di hati para sahabat ketika itu. Para sahabat ternyata sedang kecewa dan mengalami goncangan kejiwaan. Hal ini karena dalam perjanjian tersebut diatur bahwa umat Islam tidak boleh memasuki wilayah Ka’bah. Padahal mereka sudah terlanjur membawa hewan kurban yang dijanjikan akan mendapat keberkahan ‘haji-kecil’ sejak berangkat dari Madinah. Tapi sekarang, saat sudah dekat dengan Makkah, Nabi malah menyuruh mereka menunaikan ibadah mencukur rambut dan menyembelih hewan mereka.
Ummu Salamah sangat paham, bahwa sikap sahabat itu bukanlah karena mereka tidak mencintai Nabi dan mau membangkang. Mereka justru sangat mencintai Nabi, sehingga mereka sangat keberatan untuk menerima yang namanya kekalahan berupa tidak bolehnya umat Islam masuk wilayah Makkah. Karena Ummu Salamah memahami akar persoalan ini, maka ia bisa memberikan jalan keluar yang tepat. Jalan keluar tersebut adalah agar Nabi merubah perintahnya dengan cara yang lebih menyentuh perasaan mereka, yaitu dengan memberikan contoh secara langsung. Ternyata apa yang disarankan oleh Ummu Salamah bisa mengatasi persoalan. Ini adalah bukti bahwa terkadang ‘perasaan’ lebih bisa menyelesaikan persoalan.
Karena itulah, Islam menghendaki agar masing-masing karakter dan sifat ini selalu dipertahankan, sehingga satu sama lain bisa saling melengkapi dan kehidupan bisa seimbang. Dalam suatu hadis dikatakan:
áóÚóäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇáúãõÎóäøóËöíäó ãöäú ÇáÑøöÌóÇáö æóÇáúãõÊóÑóÌøöáóÇÊö ãöäú ÇáäøöÓóÇÁö
“Nabi SAW melaknat pria yang kebanci-bancian dan wanita yang kepria-priaan” (Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, Darimi)
Khusus untuk wanita, maka ia juga hendaknya mempertahankan sifat-sifat kewanitaannya ketika menjalankan tugasnya dalam rumah tangga. Mengenai tanggung jawab wanita dalam rumah tangga, hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi:
æÇáãÑÃÉ ÑÇÚíÉñ Úáì Ãåá ÈíÊ ÒæÌåÇ ææáÏöåö æåí ãÓÄæáÉ Úäåã
“Wanita memelihara ahli rumah suaminya dan anak suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka.”(HR. Bukhari)
Mengomentari hadis tersebut, Al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya, Fathul Baari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, mengatakan: “pemeliharaan wanita adalah (dalam bentuk) pengaturan urusan rumah, anak-anak, dan pembantu, serta memberikan nasihat pada suami dalam persoalan-persoalan tersebut.” Berikut ini adalah penjelasan tentang tanggung jawab wanita dalam keluarga menurut Islam.
1. SEBAGAI ISTRI
Secara umum, gambaran istri ideal yang dikehendaki Islam terangkum dalam itstilah “al-zaujah al-shaalihah”. Lalu apa itu “zaujah shalihah”? Syaikh ‘Ali Jum’ah Muhammad, seorang doktor Fiqih dan Ushul Fiqih yang juga menjabat sebagai Mufti Mesir, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “zaujah shalihah” adalah:
ÇáÒæÌÉ ÇáÊÞíÉ ÇáãØíÚÉ áÒæÌåÇ ÇáÑÇÖíÉ ÈãÇ ÞÓãå Çááå áåÇ ÇáÞÇÆãÉ ÈÃãæÑ ÇáÃãæãÉ æãÇ ßáÝåÇ Çááå Èå
Seorang istri yang bertakwa, patuh pada suami, rela dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya, yang melaksanakan urusan-urusan keibuan dan apa yang telah Allah bebankan kepadanya.
Seperti disebutkan di depan, Islam telah menetapkan suami sebagai kepala rumah tangga, sehingga istri harus patuh pada suami. Bahkan Rasulullah sampai bersabda:
áóæú ßõäúÊõ ÂãöÑÇð ÃÍóÏÇð Ãóäú íóÓúÌõÏó áÃÍóÏò áÃóãóÑúÊõ ÇáäøöÓóÇÁó Ãóäú íóÓúÌõÏúäó áÃóÒúæóÇÌöåöäøó áöãóÇ ÌóÚóáó Çááå áóåõãú Úóáóíúåöäøó ãöäó ÇáÍóÞøö
Seandainya aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, tentu akan kuperintahkan wanita agar bersujud pada suaminya, karena besarnya hak suami atas istri. (Tirmidzi, Al-Hakim, Abu Dawud, Ahmad).
Hanya saja, yang perlu diingat, Islam menempatkan istri harus patuh pada suami bukan berarti Islam menindas kaum wanita. Sebab, kalau mau jujur, Islam sesungguhnya sangat memanjakan dan memuliakan istri. Al-Syirazi dan Imam Nawawi menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian dan yang sejenisnya bukanlah merupakan kewajiban istri. Ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya sukarela, sehingga apabila istri tidak mau melaksanakannya maka ia tidak berdosa. Bahkan Imam Malik dan Imam Syafi'i mewajibkan seorang suami menyediakan pelayan bagi istrinya apabila ia mampu.
Tapi ketentuan tersebut hendaknya jangan disalahgunakan. Meskipun istri tidak wajib memasak, mencuci, menyetrika baju, dan yang sejenisnya, tapi tidak ada jeleknya kalau istri melaksanakan tugas seperti itu, sebagai wujud kecintaannya terhadap suami dan anak-anak. Rumah tangga hendaknya dibangun atas prinsip kerjasama dalam hal tugas dan tanggung jawab, sehingga tidak benar jika masing-masing pihak bersikap egois dan ingin menang sendiri.
Akan lebih baik jika kita mencontoh rumah tangga Rasulullah SAW yang sangat harmonis dan mesra. Ketika ditanya tentang sifat Rasulullah di rumah, ‘Aisyah mengomentari: “Beliau tidak pernah memukul siapa pun, baik itu istri-istrinya maupun pembantunya”. Ketika diajukan pertanyaan apa saja yang dilakukan di rumah, ‘Aisyah menjelaskan: “Beliau selalu siap membantu istrinya. Jika tiba waktu shalat, beliau langsung beranjak untuk menunaikan shalat tersebut. Rasul sering menjahit sendiri pakaiannya yang sobek atau sandalnya, mengisi ember, memeras susu kambing, dan melayani dirinya sendiri bila mau makan. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukannya pada waktu-waktu tertentu, terkadang dikerjakannya sendiri atau bersama istrinya, meskipun dia punya pembantu.”
Lihatlah, Rasulullah saja sangat cekatan dalam menangani pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan selalu siap membantu istrinya. Apalagi kita sebagai para istri, hendaknya juga selalu siap untuk membantu suami kita di rumah. Kerjasama dan saling bantu-membantu ini tentu akan menjadi perekat hubungan rumah tangga, sehingga rumah tangga lebih harmonis dan mesra.
Kemudian, sebagai istri juga kita hendaknya selalu bisa menyenangkan hati suami. Gambaran suami-istri yang ideal dalam Islam bukanlah yang selalu basah oleh air wudlu, shalat sunat, puasa sunat, ataupun berdzikir setiap waktu, sampai melupakan kebahagiaan pasangannya. Lihatlah betapa harmonis hubungan Rasulullah dan istrinya. Pada saat mereka harus beribadah, mereka akan beribadah berjama’ah. Tapi mereka juga tidak pernah meninggalkan senda gurau, bermesra-mesraan, dan bahkan bercumbu. Cerita-cerita kemesraan Rasulullah dan istrinya bisa didapatkan dari berbagai kitab hadis.
‘Aisyah bercerita: Pada suatu hari raya orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi saw. sendiri yang berkata padaku: “Apakah aku ingin melihatnya”' Aku jawab: “Ya.” Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata: “Teruskan main kalian, wahai Bani Arfidah (julukan orang-orang Habsyah)!” Hingga ketika aku sudah merasa bosan beliau bertanya padaku: “Apakah kamu sudah puas?” Aku jawab: “Ya.” Beliau berkata: “Kalau begitu, pergilah (untuk pulang)." (HR. Bukhari dan Muslim).
Perhatikanlah kemesraan Nabi dan ‘Aisyah saat menonton pertunjukan. ‘Aisyah berada di belakang tubuh Nabi, dan pipi mereka saling menempel, kemudian mereka melihat pertunjukan secara bersama-sama sampai ‘Aisyah merasa puas. Dalam hadis lain, kita juga bisa melihat percakapan mesra antara Nabi dan ‘Aisyah. Rasulullah pernah bersabda pada ‘Aisyah: “Aku tahu, kapan saatnya kamu senang kepadaku, dan kapan saatnya tidak senang.” “Bagaimana engkau bisa tahu?”, tanya ‘Aisyah. “Jika kamu senang kepadaku, kamu akan mengatakan ‘Demi Tuhan Muhammad’. Tapi jika kamu sedang tidak senang, kamu akan mengatakan ‘Demi Tuhan Ibrahim’”, jawab Nabi. ‘Aisyah kemudian menimpalinya dengan manja, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku tidak senang kepadamu?”.
Cermatilah betapa mesra hubungan mereka. Bahkan dalam hadis-hadis lain, mereka sering terlihat kekanak-kanakan. Rasulullah pernah berlomba lari dengan ‘Aisyah, bahkan mereka sering berebut gayung dan siram-siraman ketika sedang mandi. Inilah contoh istri yang sangat ideal. ‘Aisyah adalah istri nabi yang paling keras dan pencemburu di antara yang lain, tapi ia juga yang paling manja dan mesra dengan Rasul. Di sisi lain kita bisa melihat istri Rasul yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, yang terkenal sabar, cerdas, dan sangat bijaksana.
Mereka tahu kapan harus beribadah, serius bekerja, dan kapan pula harus bergurau serta bermesraan. Sehingga salah besar kiranya, jika istri yang ideal dalam Islam digambarkan sebagai istri yang selalu serius, bermuka masam, dan beribadah terus sampai melupakan kebahagiaan suami. Dengan melihat secara dekat bagaimana kehidupan para istri Rasulullah, dapat disimpulkan bahwa istri yang ideal dalam pandangan Islam adalah istri yang patuh pada suami, selalu siap dan rela meringankan pekerjaan suami, dan senantiasa bisa menghibur hati suami. Seorang istri terkadang harus cekatan bekerja, tapi terkadang harus lembut, manja, dan bisa bercanda. Dengan demikian, pekerjaan dan persoalan rumah tangga terasa ringan, di samping rumah tangga juga akan dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan.
Sebenarnya, kalau saja seorang istri bisa bersikap dengan benar sesuai petunjuk Islam, maka tanpa perlu amal ibadah yang lain-lain pun, ia sudah cukup modal untuk masuk surga. Dalam suatu hadis dikatakan:
ÅÐÇ ÕóáøóÊö ÇáãóÑúÃóÉõ ÎóãúÓóåÇ¡ æÕóÇãóÊú ÔóåúÑóåÇ¡ æÍóÕøóäóÊú ÝóÑúÌóåóÇ¡ æÃØóÇÚóÊú ÈóÚúáóåóÇ¡ ÏóÎóáóÊú ãöäú Ãíøö ÃÈæÇÈö ÇáÌóäøóÉö ÔóÇÁóÊú
“Jika seorang wanita melaksanakan sholat lima waktu, berpuasa Ramadlan, menjaga kemaluannya, dan patuh pada suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia sukai” (HR. Ibn Hibban, Ahmad, dan Thabarani)
2. SEBAGAI IBU BAGI ANAK-ANAK
Selain sebagai istri bagi suaminya, seorang wanita juga harus bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ini adalah tugas yang sangat berat dan penting. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan tugas ini, akan menjadi penentu berhasil tidaknya pembentukan generasi bangsa yang berkualitas. Dalam Islam, ibu dianggap sebagai “al-madrasah al-ula” (sekolah yang pertama) bagi anak-anaknya. Karena dianggap sebagai orang yang paling berperan dalam mencetak generasi di masa depan, Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap peran seorang ibu, mulai dari bagaimana ia harus memperlakukan janin ketika masih dalam kandungan, sampai bagiamana ia harus mendidik ketika anaknya sudah lahir.
Ketika janin masih dalam kandungan, Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Hal ini karena kondisi fisik dan kejiwaan dari sang ibu akan sangat berpengaruh bagi janin. Demikian juga ketika bayi sudah lahir dan ibu harus menyusuinya, Islam juga masih membebaskan seorang ibu dari kewajiban puasa. Rasulullah bersabda:
Åäøó Çááøóåó æóÖóÚó Úóäö ÇáúãõÓóÇÝöÑö äöÕúÝó ÇáÕøóáÇóÉö æóÇáÕøóæúãó æóÑóÎøóÕó áöáúÍõÈúáóì æóÇáúãõÑúÖöÚö
"Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita hamil dan wanita menyusui" (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i. Al-Albani mengatakan dalam Takhrijul Misykat: "Isnad hadits inijayyid” )
Dengan diberikannya keringanan bagi seorang ibu yang hamil dan menyusui, ini berarti bahwa seorang ibu harus memperhatikan gizi untuk anak-anaknya sejak dalam kandungan sampai sesudah lahir. Penafsiran hadis ini masih dapat diperluas, sehingga seorang ibu harus memperhatikan menu makanan keluarga. Ibu harus cermat dalam memilih menu bagi keluarganya, agar mereka semua bisa sehat. Hanya saja, menu tersebut tidak harus menu yang mahal-mahal, yang penting asal mengandung gizi yang baik bagi keluarganya.
Setelah bayi lahir, maka ibu akan menunjukkan peranannya secara lebih aktif. Pertama, ia akan menyusui bayinya tersebut sampai bayinya berkembang dan siap untuk disapih. Setelah itu bayi menjelma menjadi anak kecil yang mulai aktif beraktifitas, sehingga peran ibu untuk membimbingnya mutlak diperlukan. Dalam kitab Al-Mu’atstsiraat al-Salbiyyah, ‘Aisyah ‘Abdurrahman al-Jalal, salah seorang ahli pendidikan Islam, membagi masa perkembangan anak menjadi beberapa bagian.
Pertama, adalah masa enam tahun pertama. Masa ini merupakan masa yang amat kritis dan paling penting, sebab mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadi anak. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengan nyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. Dalam periode ini ibu harus selalu membimbingnya dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan kesabaran.
Agar anaknya nanti bisa menjadi anak yang shalih dan shalihah, di antara hal-hal terpenting yang bisa dilakukan adalah:
- Dibiasakan untuk ikut melakukan kegiatan yang islami, seperti ikut melihat orang tua melakukan shalat.
- Dibiasakan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak nantinya punya kesadaran menutup aurat dan malu membukanya. Banyaknya anak-anak muda sekarang, terutama wanita, yang suka mengumbar aurat dan kehilangan rasa malu, kemungkinan besar merupakan akibat mereka tidak pernah dibiasakan berpakaian sopan sejak masih kecil.
- Dibiasakan membaca bismillah ketika akan makan dan sederhana dalam makan dan minum, serta dijauhkan dari sikap rakus.
- Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit. Ini penting agar ia nanti bisa menjadi orang bisa menghargai jasa dan kebaikan orang lain.
- Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik, agar nantinya bisa bertutur kata dengan santun dan baik pula.
- Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri. Banyaknya pencuri dan koruptor di negeri ini, bukan tidak mungkin disebabkan karena memang sejak kecil mereka tidak diajarkan dan dibiasakan untuk menghormati hak miliki orang lain, termasuk hak orang banyak.
Kedua, adalah masa enam tahun sampai menginjak remaja. Pada masa ini anak sudah lebih siap untuk belajar secara teratur dan pikirannya sudah mulai bisa mencerna dengan baik. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Masa ini termasuk masa yang paling penting dalam pendidikan dan pengarahan anak. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan, sehingga ia bisa diarahkan secara langsung.
Pada masa ini, ibu harus mengajarkanan anaknya untuk mengenal Allah dengan cara sederhana, tentang sebagian hukum halal-haram, menutup aurat secara lebih pantas, pengenalan tokoh-tokoh agung dalam Islam, etika umum, rasa percaya diri dan tanggung jawab. Bacaan dan praktek shalat serta belajar Qur’an, juga harus sudah mulai diajarkan pada masa ini. Sebab, pelajaran yang diberikan ibu pada masa-masa ini akan tertanam sangat kuat dalam diri sang anak nantinya.
Ketiga, adalah ketika anak mulai memasuki masa remaja. Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras. Masa ini merupakan pintu gerbang memasuki masa baligh. Karena itu, seorang ibu sebagai pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah remaja. Anak tidak boleh didikte lagi, tapi ia harus diarahkan secara benar. Ibu harus mengajarkan kepada anak tentang hukum-hukum akil baligh dan menceritakan kepadanya kisah dan pengalaman kehidupan yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram. Ibu juga harus berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktu anaknya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik untuk anak-anaknya, karena teman akan memberikan pengaruh yang besar bagi jalan hidup sang anak.
Ibu memang memainkan peran yang sangat penting dalam pendidikan anak. Tugas sebagai ibu dalam mendidik anak ini bukanlah tugas yang tanpa resiko. Kalau salah mengisi, maka akibatnya akan fatal, dan ibu pun akan ikut menanggung dosa karena kesalahannya dalam mendidik. Sebagaimana diketahui, dalam hadis dikatakan bahwa:
ßõáøõ ãóæúáõæÏò íõæáóÏõ Úóáóì ÇáÝöØúÑóÉö¡ ÝóÃóÈóæóÇåõ íõåóæøöÏóÇäöåö æóíõäóÕøöÑóÇäöåö æóíõãóÌøöÓóÇäöåö
“Setiap anak lahir dalam kondisi suci. Orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi”. (HR. Ahmad, Ibn Hibban, dan Al-Thabarani)
Jelaslah bahwa orang tua, terutama ibu sebagai orang terdekat dari anaknya semasa kecil, bisa membuat seorang anak menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Kalau agama saja bisa diarahkan oleh orang tua, apalagi hanya sekedar sifat dan perilaku. Apakah si anak nantinya akan menjadi pelajar atau berandal, baik atau jahat, sholih atau thalih, semua itu tidak lepas dari peran pendidikan orang tua, khususnya ibu. Dalam hal tentu akan berlaku pula hadis yang menyatakan:
ãä Óóäøó ÓõäøóÉð ÍóÓóäóÉð ÝóÚõãöáó ÈöåóÇ ßóÇäó áóåõ ÃóÌúÑõåóÇ¡ æóãöËúáõ ÃóÌúÑö ãóäú Úóãöáó ÈöåóÇ áÇó íóäúÞõÕõ ãöäú ÃõÌõæÑöåöãú ÔóíúÆÇð. æóãóäú Óóäøó ÓõäøóÉð ÓóíøöÆóÉð ÝóÚõãöáó ÈöåóÇ ßóÇäó Úóáóíúåö æöÒúÑõåóÇ æóæöÒúÑõ ãóäú Úóãöáó ÈöåóÇ áÇó íóäúÞõÕõ ãöäú ÃóæúÒóÇÑöåöãú ÔóíúÆÇ
“Barangsiapa yang mengajarkan perilaku baik, kemudian dilaksanakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala dari orang yang mengerjakan tersebut. Dan barangsiapa yang mengajarkan perilaku jelek, kemudian dilaksanakan, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengerjakan tersebut”. (HR. Muslim dan Nasa’i).
Karena itulah, ibu harus sangat cermat dan hati-hati dalam mendidik anaknya, sebab apa yang ia tanamkan akan terus tertanam sepanjang hidup sang anak. Cara mendidik juga harus dipelajari dengan baik. Sebab kalau cara dalam mendidik anak sampai salah, maka dapat berakibat fatal bagi kehidupan sang anak. Di antara cara yang salah adalah terlalu keras dan kasar dalam mendidik anak. Imam ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
ÇáÇÝÑÇØ Ýí ÇáãáÇãÉ íÔÈø äíÑÇä ÇááÌÇÌ
“Berlebihan dalam mengecam (anak) akan membangkitkan semangatnya untuk menentang.”
Seorang anak akan lebih baik jika dididik dalam buaian kasih sayang. Rasulullah sendiri adalah sosok yang sangat menyayangi anak, dan selalu menganjurkan umatnya untuk menyayangi anak-anak. Dalam sebuah hadis Shahih Bukhari diceritakan:
ÞÈøóáó ÑÓæáõ Çááøå Õáì Çááå Úáíå æÓáã ÇáÍÓäó Èä Úáíøò æÚäÏóåõ ÇáÃÞÑÚõ Èä ÍÇÈÓ ÇáÊãíãíøõ ÌÇáÓÇð¡ ÝÞÇá ÇáÃÞÑÚõ: Åäøó áí ÚÔÑÉð ãä ÇáæóáóÏö ãÇ ÞÈøóáÊõ ãäåã ÃÍÏÇð. ÝäÙÑ Åáíåö ÑÓæáõ Çááøå Õáì Çááå Úáíå æÓáã Ëã ÞÇá: ãä áÇ íóÑÍãõ áÇ íõÑÍóã»
“Rasulullah mencium Hasan bin ‘Ali, dan di samping beliau ada sahabat Aqra’ bin Habis Al-Tamimi yang sedang duduk. Lalu Aqra’ berkata pada Rasul: “Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.” Kemudian Rasulullah memandangnya dan bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi”.
Kalau terhadap pria saja Rasulullah sangat menekankan agar mereka bersikap penuh kasih sayang pada anak-anaknya, apalagi terhadap para wanita, tentu penekanan itu akan lebih penting lagi. Inilah cara mendidik anak yang dianjurkan dalam Islam. Tapi bukan berarti bahwa anak harus disayang terus, sebab terkadang mereka juga harus disikapi secara sedikit keras dan tegas, sepanjang tidak sampai melukai sang anak.
C. MUSLIMAH: ANTARA TUGAS DALAM RUMAH DAN DI LUAR RUMAH
Hadirin yang berbahagia,
Seperti telah dikemukakan, Allah menciptakan pria dan wanita menurut tabiat, karakter, dan sifat masing-masing. Karena perbedaan antara kedua jenis inilah, maka Islam menentukan peran yang berbeda. Masing-masing peran tersebut melahirkan hak, tanggung jawab, dan konsekuensi yang berbeda. Islam menentukan bahwa yang berkewajiban mencari nafkah adalah suami, dan istri dibebani untuk mengurusi urusan ‘dalam negeri’ sebuah rumah tangga. Dengan demikian, tugas pokok seorang istri adalah di wilayah rumah tangganya. Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al-Ahzab: 33)
Ini adalah hukum dasarnya, yang berarti bahwa tugas utama wanita adalah di dalam rumah. Tapi bukan berarti wanita (istri) tidak boleh memainkan peran di luar rumah, sebab wanita boleh saja memainkan peran di luar rumah, asalkan tidak melupakan tugas utamanya dan bisa mematuhi rambu-rambu yang diberikan Islam. Batasannya adalah: (1) sepanjang tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga tidak terbengkalai, dan (2) sepanjang ia mampu memelihara diri dan kehormatannya di luar rumah.
Meskipun kewajiban mencari nafkah ada di pihak suami, kita ternyata bisa melihat fakta sejarah bahwa para shahabat wanita seringkali membantu suaminya dalam mencari rizqi. Kita bisa melihat beberapa shahabiyah (sahabat wanita) yang menjadi ‘wanita karir’. Pertama adalah Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah, yang cukup menonjol dalam dunia perdagangan, di samping ada pula Qilat Ummi Bani Anmar. Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja, bahkan sampai menyamak kulit. Istri ‘Abdullah bin Mas’ud, yaitu Raithah, juga sangat aktif bekerja karena suami dan anaknya pada saat itu tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
Di masa Nabi, banyak pula shahabiyah yang terlihat cukup aktif ikut mengatasi masalah umat Islam. Ummu Salamah (istri nabi), Shafiyah, Layla al-Ghaffariyyah, Ummu Sinam al-Aslamiyyah, dan lain-lain, terlibat aktif membantu kaum muslimin dalam peperangan. Dalam jabatan umum, semasa Khulafa’ur Rasyidin, Khalifah ‘Umar pernah menugaskan wanita yang pandai menulis untuk menangani pasar di kota Madinah. Sangat banyak kisah-kisah para shahabiyah yang berbaur dan bekerjasama dengan para sahabat (pria) demi menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial. Mereka dengan tanpa sungkan dan tetap memelihara kehormatan masing-masing, secara bersama-sama gotong-royong memikirkan dan mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Di era sekarang, muslimah sebagai ibu yang ideal adalah muslimah yang mampu menjalankan tugas keluarga dengan baik, tapi tidak melupakan kepedulian sosial. Bagaimanapun, mereka juga harus ikut memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya. Dalam hadis Nabi dikatakan:
ãä áã íåÊã ÈÃãÑ ÇáãÓáãíä ÝáíÓ ãäåã
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan orang-orang Islam, maka bukan termasuk bagian darinya”
Sepeninggal Rasulullah, ‘Aisyah, meskipun beliau wanita, ternyata juga sangat perhatian dengan masalah keadilan yang ada di sekitarnya. Ketika melihat Khalifah ‘Ali tidak kunjung mengadili pembunuh Khalifah ‘Utsman, maka ‘Aisyah tidak bisa tinggal diam, sehingga ia sampai membentuk dan menjadi panglima gerakan melawan ‘Utsman.
Yang patut dicatat, meskipun para wanita tersebut aktif di luar rumah, mereka tidak pernah mengabaikan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang berkewajiban mengurusi urusan rumah tangga dan mendidik anaknya. Sebab inilah tugas utama seorang wanita sebagai istri dan ibu menurut pandangan Islam. Apa yang terjadi masa Nabi dan beberapa masa sesudahnya adalah gambaran utuh tentang bagaimana seorang muslimat bisa menjalankan perannya sebagai ibu dan bahkan peran sosial di luar rumah. Lalu bagaimanakah agar bisa menjadi muslimah ideal seperti itu?
Untuk mencapai gambaran ideal seperti itu, tentu pertama dibutuhkan ilmu yang mencukupi, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Kita tahu, bahwa perintah-perintah menuntut ilmu dalam Islam tertuju baik untuk pria ataupun wanita. Persoalan terbesar yang kita hadapi sekarang ini adalah banyaknya pandangan yang memenjarakan wanita sedemikian rupa dan mengatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan wanita adalah haram. Mereka dilarang terlibat ke tengah masyarakat dan dilarang menuntut ilmu karena alasan akan bercampur dengan kaum pria. Ini betul-betul aneh, sebab sangat bertentangan dengan praktek yang terjadi semasa Rasul dan di dunia Islam masa lalu.
Padahal sejak masa Rasulullah, para wanita Islam memang sudah memiliki semangat belajar tinggi dan terlihat sangat kritis. Di masa Rasulullah kaum wanita pernah menuntut kesempatan belajar pada Rasulullah. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Abu Sa'id berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki bisa berangkat mendengarkan ucapanmu (menurut riwayat lain: Kaum wanita berkata kepada Nabi: "Kaum lelaki mengalahkan kami untuk dapat bersamamu") Karena itu sediakanlah olehmu satu hari untuk kami yang pada hari itu kami datang menemuimu sehingga engkau bisa mengajarkan kepada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.” Rasulullah SAW menjawab: “Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini.” Mereka pun berkumpul. Maka datanglah Rasulullah ke tempat mereka, lalu mengajarkan kepada mereka apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.
Dalam hadis-hadis lain, kita bisa melihat bagaimana para wanita datang ke rumah Rasulullah untuk bertanya secara langsung tentang masalah yang mereka hadapi. Bahkan pernah ketika Rasulullah sedang naik unta, ada wanita muda yang mencegatnya, kemudian bertanya bagaimana hukumnya menghajikan orang tua: apakah boleh atau tidak. Dalam Shahih Muslim kita juga bisa membaca kisah bagaimana Asma binti Syakl, tanpa malu-malu bertanya langsung pada Rasulullah tentang mandi besar setelah haid. Karena sangat ingin tahu, Asma binti Syakl bahkan bertanya dengan sangat rinci, sehingga Rasulullah sampai merasa malu untuk menjawabnya.
Sikap kritis para wanita di zaman Rasul juga tampak dalam beberapa hadis. Misalnya, adalah apa yang diceritakan dalam Sunan al-Mujtaba (Nasa’i) dan Ibn Majah, bahwa ada seorang gadis yang menemui ‘Aisyah, kemudian berkata: “Ayahku telah menikahkanku dengan anak saudaranya, agar dengan begitu martabatnya terangkat, dan saya merasa keberatan”. ‘Aisyah berkata: “Duduklah dulu, sampai Rasulullah datang.” Kemudian datanglah Rasulullah dan gadis itu pun menceritakannya pada Rasulullah. Rasulullah lalu memerintahkannya kepada bapak gadis tersebut, dan ketika bapak gadis tersebut datang, Rasulullah menyerahkan urusan tersebut kepada si gadis. Gadis tersebut kemudian mengatakan: “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku setuju dengan apa yang dilakukan bapakku. Tapi aku cuma ingin memberitahukan kepada para wanita, bahwa bapak tidak memiliki sedikitpun hak dalam masalah ini (memaksakan jodoh seorang gadis).”
Lihatlah bagaimana kritisnya gadis tersebut. Sebagai seorang wanita, ia tidak mau begitu saja melihat kaumnya sekedar nrimo ing pandum dan dipaksa-paksa oleh ayahnya. Meskipun ia sebenarnya setuju dengan pernikahan tersebut, tapi ia menyempatkan diri mengadu pada Rasulullah, hanya dengan tujuan agar gadis muslimah lain tahu bahwa mereka berhak menolak ketika dijodohkan. Hadis inilah yang kemudian menjadi dasar bagi mazhab Hanafiyyah, Hadawiyyah, jumhur fuqoha’ shahabat, dan jumhur fuqoha’ tabi’in, yang mengatakan bahwa seorang gadis tidak boleh dikawinkan secara paksa, dan dia punya hak untuk menolak bila dijodohkan. Karena pernyataan terakhir wanita tadi itu begitu lantang dan jelas, maka tampak jelas pula betapa lemahnya pendapat ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah yang membolehkan bapak menikahkan anak gadisnya secara paksa.
Melihat kenyataan sifat-sifat muslimah pada masa Nabi yang seperti itu, tidaklah mengherankan jika kemudian lahir wanita-wanita cemerlang pada masa-masa awal Islam. ‘Aisyah dikenal sebagai orang yang cerdas dan sangat dalam pengetahuannya. Ia termasuk dalam “al-muktsirun fi riwayatil hadis”, orang-orang yang paling banyak meriwayatkan hadis dan ahli fikih. Al-Sayyidah Sakinah, putri Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, juga dikenal sebagai seorang yang cerdas dan pintar.
Pada generasi selanjutnya, kita tahu bahwa Imam Syafi’i bahkan memiliki guru wanita yang bernama Al-Syaikhah Syuhrah, yang bergelar Fakhr al-Nisa’ (kebanggaan wanita). Bukan hanya itu, Abu Hayyan bahkan mencatat tiga orang guru wanita dari Imam Syafi’I yang lain, yaitu: (1) Mu’nisat al-Ayyubiyyah, (2) Syamiyat Attaimiyah, dan (3) Zaynab (putri sejarawan ‘Abdul Lathif al-Baghdadiy).
Tapi fakta-fakta sejarah seperti itu seolah hilang dan disembunyikan. Yang selalu disampaikan adalah bagaimana wanita harus menutup diri, menghindari pertemuan dengan kaum pria, dan bahkan untuk keperluan belajar pun mereka tetap dikekang sedemikian ketat. Hukum tentang wanita seringkali disampaikan dengan terlalu melebih-lebihkan. Mereka tidak memiliki kebebasan sama sekali, sehingga muslimat sekarang seolah akan dibuat lebih suci dari istri-istri Nabi yang bergelar Ummahatul Mu’minin (ibu dari orang-orang Islam). Bukankah ini sangat tidak masuk akal? Padahal, sebagaimana kita lihat dalam berbagai hadis shahih, di zaman Rasul wanita begitu bebasnya untuk belajar, protes, bermusyawarah dan bahkan berdebat dengan kaum pria, dengan tetap menjaga kehormatan tentunya.
Karena adanya kesalahan dan kehati-hatian yang berlebihan dalam masalah hukum ini, maka muslimah yang dulunya memiliki kebebasan, penuh tanggung jawab, punya semangat belajar tinggi, kritis, dan cerdas dalam menanggapi persoalan umat, kemudian beralih menjadi sosok muslimah yang terbelakang, terpenjara, hanya nrimo ing pandum, dan tidak mau tahu dengan masalah sosial.
Ketika muslimah sebagai generasi pencetak umatnya saja sudah begini, maka tentu bisa dibayangkan bagaimana generasi umat yang lahir darinya. Maka tidak mengherankan, jika kemudian umat Islam yang dulunya menguasai peradaban dunia, kini menjadi umat yang selalu tertinggal dan terbelakang. Orang-orang Islam dahulu bisa menguasai peradaban dunia, karena mereka hebat. Lalu kenapa mereka bisa hebat? Jawabannya adalah karena mereka lahir dan dididik oleh perempuan-perempuan hebat. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kenapa orang-orang Islam lemah dan lembek? Siapa yang salah?
Karena itu, keadaan ini harus dirubah. Kita harus mencontoh lagi bagaimana para muslimah di masa Nabi dan masa awal Islam. Mereka tidak pernah melupakan tugas sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya, dan mereka juga sangat giat belajar serta tanpa rasa sungkan mau ikut bersama-sama memikirkan persoalan umat Islam. Hanya saja, agar tidak terjadi fitnah, setiap muslimah harus tetap menjaga batas-batas yang telah ditentukan Islam, seperti menjaga pandangan, menutup aurat, dan bersikap santun tapi tegas.
Hadirin yang terhormat,
Demikianlah penjelasan tentang peran seorang muslimah yang sejati dan ideal, dengan mengikuti Sunnah Nabi dan praktek yang dilakukan oleh generasi salaf. Semuanya berjalan seimbang dan tetap pada garis yang telah ditentukan Islam. Muslimah yang sejati harus bisa membekali diri dengan ilmu agama dan bahakn kalau perlu ilmu umum. Ketika dia sudah memasuki dunia rumah tangga, maka ia harus bisa menjalankan peran sebagai istri yang baik maupun ibu bagi anak-anaknya. Ini adalah tugas pokok seorang muslimah sebagai ibu. Tugas ini hendaknya jangan sampai dilupakan, agar krisis keluarga yang terjadi di Barat tidak terjadi juga di Indonesia.
Kemudian apabila ia masih memiliki waktu dan kesempatan untuk berkiprah di tengah masyarakat, maka ia boleh-boleh saja untuk terlibat aktif dalam mengatasi masalah sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mengabaikan keluarganya yang merupakan tugas pokok. Islam tidak pernah mengekang wanita di luar rumah, tapi Islam juga tidak memperbolehkan seorang muslimah bersikap terlalu bebas dengan lawan jenisnya. Di samping Islam memberikan kebebasan pada wanita, Islam juga telah membuatkan aturan untuknya, seperti aturan tentang aurat, menjaga kehormatan, dan bersikap santun.
Semoga dengan kembalinya kesadaran kita akan betapa besar tugas seorang muslimah sebagai ibu, kita bisa mengantisipasi krisis keluarga yang sekarang ini sudah mulai merasuki masyarakat Indonesia. Kita juga bisa mempersiapkan generasi bangsa dan agama yang lebih baik, sehingga nantinya agama dan bangsa kita bisa kembali berjaya di tengah dunia yang kian liar dan tidak beraturan ini.
Demikian, yang bisa sampaikan, semoga bisa bermanfaat, dan kurang lebihnya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Selasa, 19 Februari 2008
RASULULLAH SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan keluarga, disadari atau tidak, merupakan sebuah kehidupan yang meskipun berskala kecil, mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat secara umum. Seorang suami atau istri, ketika mereka keluar untuk berinteraksi dalam kehidupan sosial secara umum, pasti akan terpengaruh oleh apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Kalau rumah tangga mereka kacau, maka yang akan mereka bawa keluar adalah kekacauan pikiran, dan begitu juga sebaliknya. Selain itu, keluarga juga menjadi “pabrik” yang akan mencetak generasi-generasi suatu masyarakat. Apabila dalam suatu negara, “pabrik-pabrik” yang akan menghasilkan generasinya ternyata tidak dikelola dengan baik, hasilnya tentu akan tidak baik pula.
Oleh karena itulah, pengelolaan keluarga harus dilakukan sebaik mengkin. Salah satu contoh pengelolaan rumah tangga yang sangat baik untuk diikuti adalah rumah tangga Rasulullah. Rumah tangga Rasulullah adalah sebuah rumah tangga yang berjalan sesuai prinsip pembinaan keluarga menurut Islam. Meskipun istri Rasulullah sangat banyak, beliau ternyata mampu untuk me-manage sedemikian rupa sehingga tujuan pembentukan rumah tangga sesuai ajaran Islam pun dapat dicapai olehnya.
Pola pembinaan keluarga Rasulullah sangat penting untuk dipelajari dan dicontoh oleh mereka yang akan, maupun yang sedang membina kehidupan berumah tangga. Dengan mencontoh pola pembinaan rumah tangga Rasulullah, masalah-masalah yang sedang marak terjadi dalam keluarga modern diharapkan dapat teratasi. Teratasinya permasalahan-permasalahan keluarga yang ada dalam masyarakat akan bernilai sangat penting bagi kehidupan sosial secara umum, karena yang demikian itu sedikit banyak pasti akan membantu menghilangkan krisis-krisis sosial yang ada saat ini.
Lalu apa rahasia Rasulullah dalam mengelola rumah tangga ??
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana sikap seorang Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai seorang suami dan bagaimana rahasia beliau dalam mengelola rumah tangganya. Selain itu, tulisan ini akan menceritakan cara Rasulullah dalam mengatasi kemelut rumah tangga, disamping akan membahas juga persoalan poligami Rasulullah dan tuduhan para orientalis bahwa Rasululah adalah seorang sex maniac.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ‘IBRAH
A. ISTRI-ISTRI NABI
Sebagaimana diketahui, nabi beristri tidak hanya satu orang saja. Setelah kematian istri pertamanya, Khadijah, nabi memperistri sejumlah wanita yang jumlahnya lebih dari empat orang. Diperbolehkannya nabi memperistri lebih dari empat orang ini merupakan salah satu kekhususan yang hanya berlaku baginya, dan tidak untuk umatnya. Nabi mempunyai ketentuan khusus karena beliau adalah seorang yang ma’shum dari berbuat aniaya (tidak adil) dan kejelekan; suatu hal yang karenanya, umatnya hanya diperbolehkan beristri maksimal empat.
Karena bagi nabi tidak berlaku ketentuan batasan istri empat, maka wajarlah kalau istri nabi pun banyak. Sayangnya, mengenai berapa jumlah pasti dari istri-istrinya, para ahli berbeda pendapat didalamnya. Perbedaan pendapat diantara mereka menjadi semakin tajam ketika mereka merinci dan menentukan jumlah istri yang pernah dipergauli nabi dan jumlah istri yang belum pernah dipergauli.
Banyaknya perbedaan pendapat diantara mereka dapat dipahami mengingat hukum perkawinan yang berlaku bagi nabi sangat bebeda dengan hukum yang berlaku bagi umatnya. Hukum perkawinan yang berlaku baginya jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan yang berlaku bagi umatnya. Sebagai contoh, untuk nabi tidak ada batasan jumlah istri, sehingga memungkinkan baginya untuk beristri sebanyak yang ia kehendaki. Selain itu, proses akad perkawinannya pun sangat sederhana. Bagi nabi, dihalalkan wanita yang dihibahkan padanya tanpa mahar. Pernikahan nabi tetap sah meskipun tidak ada saksi dan tanpa wali. Dari proses pernikahan yang sangat sederhana dan dapat terjadi dengan begitu mudahnya itulah, wajar sekali kalau kemudian banyak ulama yang kurang tahu mengenai tiap detail perkawinannya dan pengetahuan mereka berbeda-beda didalamnya.
Selain pendapatnya berbeda-beda, ketika menyebut jumlah istri nabi, para ulama juga seringkali tidak merinci apakah angka itu merupakan jumlah istri yang ditinggal wafat, istri yang pernah seranjang, ataukah jumlah keseluruhan wanita yang pernah diperistrinya. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa jumlah istri nabi adalah sebelas orang. Dr. Muhammad Nur al-Fadani, dalam tahqiq-nya terhadap kitab Nihayatus Suul fi Khasha’ishir Rasul mengatakan, dalam Isnadul ‘Uyun disebutkan bahwa jumlah istri yang pernah seranjang dengan nabi ada 12 orang. Sedangkan menurut Muhamad Sayyid Kailani, jumlah istrinya adalah 13 orang. Begitu juga pendapat Al-Mubarakfury, sebagaimana dikutip oleh Sa’id Hawwa. Al-Mubarakfury menyatakan bahwa istri nabi berjumlah 13 orang, dengan rincian: yang ditinggal wafat oleh nabi 9 orang, yang meninggal dunia 2 orang, dan yang belum pernah dipergauli oleh nabi 2 orang. Lain lagi pendapat Imam Majd al-Din, dia mengatakan bahwa jumlah keseluruhan istri nabi ada 22 orang.
Meskipun jumlah yang dikatakan para ulama sangat beragam, ternyata ada juga jumlah yang mereka sepakati. Jumlah yang mereka sepakati, sebagaimana dikatakan dalam Al-Anwar Al-Saniyyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah, adalah 11 orang. Artinya, untuk jumlah sebelas ini, tidak ada ulama yang menyangkal, meskipun banyak yang kemudian menambahinya. Nama kesebelas istri nabi tersebut adalah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Huzaimah, Ummu Salmah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti al-Harits, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, Shafiyah binti Huyayy, dan Maimunah binti al-Harits. Diantara nama-nama tersebut, yang paling terkenal dan seringkali menjadi pembicaraan dalam buku-buku sirah nabi adalah Khadijah dan ‘Aisyah.
Khadijah adalah istri pertama dari nabi yang paling dicintai olehnya dan paling berkesan di kehidupan nabi. Ia adalah seorang janda yang kaya, kuat kepribadiannya, cerdas, paling mulia – baik nasab maupun kedudukannya, dan cantik. Ketika menikah dengannya, umur nabi sekitar 25 tahun dan umur Khadijah terpaut jauh diatasnya, 40 tahun. Sehingga jelaslah bahwa yang menjadi titik berat tujuan nabi menikah bukanlah persoalan seks. Selain merupakan orang yang pertama kali beriman dengan risalah nabi, dia adalah istri yang paling banyak membantu nabi dalam masa-masa sulit tugas kenabian dengan kebijakan serta kedewasaannya. Maka wajarlah bila kemudian, setelah meninggalnya Khadijah, meskipun nabi menikah dengan banyak wanita, nabi tidak pernah bisa melupakannya dan selalu terkenang akannya.
Satu-satunya istri nabi yang perawan adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar. Dia dinikahi oleh nabi pada umur 7 tahun dan dipergaulinya pada umur 9 tahun. ‘Aisyah merupakan istri nabi yang paling pintar dan paling banyak meriwayatkan hadis. Dalam sejarah, ia dikenal berwatak keras dan sangat pencemburu, terutama terhadap kecintaan nabi terhadap Khadijah. ‘Aisyah ternyata juga merupakan orang yang paling sering bercanda dengan nabi, dan nabi pun selalu melayaninya. Hal ini mungkin karena dia adalah istri nabi yang paling muda, sehingga tidak sedewasa istri-istri nabi yang lainnya.
Sedangkan putra-putri nabi jumlahnya 7 orang, tiga laki-laki dan empat perempuan. Nama ketujuh putra nabi tersebut, sesuai urutan kelahirannya adalah, Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fatimah, Umu Kultsum, Abdullah, dan Ibrahim. Semuanya dilahirkan oleh Khadijah, kecuali Ibrahim karena ia dilahirkan oleh Mariyah al-Qubthiyyah.
B. BENARKAH NABI SEORANG PEMBURU SEKS ???
Dalam beberapa karya kaum orientalis maupun para penginjil seperti Muir, Dermenghem, Washington Irving, Weil, Sprenger, Lammens, dan lainnya, banyak sekali kita jumpai pendeskreditan Muhammad melalui cerita perkawinan dan poligaminya. Cerita ini, meskipun begitu rapi dibungkus dengan slogan atas nama ilmu pengetahuan yang mengedepankan obyektifitas, sangat tampak sekali bahwa tujuan utamanya adalah mencoreng Islam dan nabinya, karena cerita-cerita mereka ini sebenarnya sangat tidak masuk akal dan sama sekali jauh dari yang kualifikasi penelitian ilmiah. Disitu Muhammad digambarkan sebagai seorang tokoh yang tadinya ketika di Makkah mampu menahan diri, tetapi setelah di Madinah dia berubah menjadi seorang yang selalu diburu nafsu syahwat, air liurnya selalu mengalir bila melihat wanita, dan tidak pernah puas meski sudah beristri banyak.
Salah satu tuduhan yang paling sering mereka ulang-ulang adalah bahwa dalam rangka memuaskan nafsunya, Muhammad tidak hanya mengawini wanita yang tak bersuami saja, tetapi ia ternyata juga jatuh cinta dengan Zainab binti Jahsy yang masih berstatus sebagai istri dari anak angkatnya, Zaid bin Haritha. Suatu waktu, Muhammad mengunjungi rumah Zainab ketika Zaid sedang tidak berada dirumah. Ketika itu Zainab yang menyambutnya mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikannya tersebut sangat mempesonakan Muhammad. Melihat kecantikan yang ada padanya, Muhammad berkata: “ Maha Suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia”. Tentu Zainab merasa bangga, sehingga ketika Zaid pulang, dia menceritakan hal itu pada suaminya. Mendengar itu, Zaid langsung menemui nabi dan mengatakan dia bersedia untuk menceraikannya. Lalu nabi berkata: “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut pada Allah”.
Zainab akhirnya memang bercerai dengan Zaid dan kemudian menjadi istri nabi. Orang-orang seperti Voltaire dan Pordeaux melihat insiden ini sebagai demonstrasi selera seks Muhammad yang tak pernah habis, dan manipulasi buatannya atas wahyu demi melanjutkan kehendak-kehendaknya sendiri. Meski pada akhirnya Zainab menikah dengan nabi, tuduhan orientalis bahwa nabi merusak rumah tangga orang demi mengejar kepuasan birahi tetap tidak tepat. Alasannya: Pertama, karena hubungan Zainab dan Zaid memang pada dasarnya sudah sangat tidak harmonis. Sejarah mencatat bahwa sebelum bercerai, Zaid sering menghadap nabi dan menceritakan sikap istrinya yang menurutnya kurang baik sehingga dia merasa tidak cocok. Menanggapi itu, nabi selalu menasihatinya untuk mempertahankan rumah tangganya dan berkata: “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut pada Allah”. Tetapi, Zaid tetap tidak tahan, sehingga pada akhirnya menceraikan Zainab. Kedua, fakta menunjukkan bahwa Zainab adalah putri Umaima binti Abdul Mutallib, bibi nabi sendiri, dan nabi sering membantu mengasuhnya. Dengan begitu, sejak semula nabi sudah tahu benar dia cantik atau tidak karena dia tahu pertumbuhan Zainab semenjak bayi sampai besar. Sehingga sangat konyol bila nabi baru tahu bahwa dia cantik terjadi pada saat dia menjadi istri Zaid. Ketiga, kalaulah perasaan cinta dan kekaguman pada kecantikan Zainab tersebut sedikit banyak ada pada diri nabi, tentu dia akan melamar pada keluarga Zainab untuk dirinya, bukan untuk Zaid. Tetapi, bukankah kita tahu bahwa yang melamarkan Zaid tidak lain dan tidak bukan adalah justru nabi sendiri ?? Apakah mungkin, pada saat nabi melamarkan untuk Zaid, nabi tidak tahu Zainab cantik, padahal saat itu Zainab sedang berada di usia matangnya, dan setelah lama berumah tangga dengan Zaid, kecantikan Zainab baru diketahui oleh nabi dan menggetarkan hatinya, yang hal ini justru terjadi saat Zainab berumur 39 tahun ??
Dalam kitabnya, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthiy secara sangat logis mampu mematahkan klaim-kalim kaum orientalis yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang sex maniac tersebut. Dia menuliskan, seorang pemburu seks tidak akan mungkin hidup bersih dan suci dalam lingkungan Arab Jahiliyah seperti itu tanpa terbawa arus kerusakan yang mengelilinginya. Seorang pemburu seks tidak akan pernah bersedia menikah dengan seorang janda yang lebih tua darinya, kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik wanita-wanita lain yang menginginkannya, sampai menghabiskan masa mudanya, lalu masa tua dan memasuki pasca tua. Adapun pernikahannya setelah itu dengan ‘Aisyah serta yang lainnya, maka masing-masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahannya mempunyai hikmah dan sebab sendiri-sendiri, yang hal itu dapat menambah keimanan seorang Muslim pada keagungan Muhammad SAW dan kesempurnaan akhlaknya. Mengenai hikmah dan sebabnya, yang jelas penikahan tersebut bukanlah untuk melampiaskan dorongan seksual. Sebab, seandainya demikian, tentu beliau sudah melampiaskannya pada masa-masa sebelumnya. Apalagi pada masa-masa tersebut pemuda Muhammad SAW belum memikirkan hal yang dapat memalingkan kebutuhan nalurinya, yaitu da’wah dan permasalahannya.
Yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan mengenai banyaknya istri nabi adalah bahwa yang demikian itu tidak tampak dalam hari-harinya bersama Khadijah dan nabi pun tidak melakukan poligami kecuali setelah wafatnya. Hal itu tidak lain karena pada saat itu tanggung jawab dan tugas nabi belum begitu kompleks. Kemudian, pada saat nabi hijrah ke Madinah, disitu nabi menemui banyak sekali permasalahan dan tanggung jawab, seperti menyelamatkan wanita dan anak-anaknya dari keterpurukan, banyaknya suku-suku Arab yang bergabung, meringankan permusuhan dari beberapa kelompok, menegakkan syariat Islam, dan lain sebagainya. Faktor kompleksnya permasalahan dan tanggung jawab inilah yang kemudian menjadi sebab dan pendorong utama bagi nabi untuk berpoligami. Dengan banyaknya istri, diharapkan nabi akan mempunyai banyak teman untuk berbagi suka duka dan membantunya dalam mengurusi berbagai persoalan.
Dari berbagai kejadian yang terjadi di rumah tangga nabi, sangat tampak nyata bahwa diantara kesekian banyak istri-istri nabi, ternyata Khadijah tetap merupakan istri yang paling dicintai dan selalu dikenang olehnya. Khadijah tetap menjadi yang paling utama di mata nabi meskipun istri-istrinya yang lain banyak yang lebih muda dan cantik bila dibandingkan dengannya. Fakta ini tentu sangat tidak sejalan dengan klaim kaum orientalis bahwa nabi adalah seorang pemburu seks. Kalaulah dia memang seorang pemburu kepuasan birahi, mengapa istri yang paling berkesan justru Khadijah yang sudah tua, bukannya mereka yang lebih muda dan cantik, atau bahkan yang perawan, seperti ‘Aisyah misalnya ??
Akhirnya, jelaslah bahwa tuduhan mereka sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun.
C. TUJUAN DARI BEBERAPA PERNIKAHAN RASULULLAH SAW
Setiap pernikahan Rosulullah diketahui banyak mengandung ajaran dan hikmah yang mendalam bagi kepentingan dakwah Islam. Setiap pernikahan Rasulullah dengan masing-masing istrinya juga juga mengandung alasan, tujuan, dan keistimewaan sendiri-sendiri. Berikut adalah contoh beberapa rahasia yang terkandung dibalik pernikahannya dengan para istrinya.
a). Pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zaimah
Saudah adalah seorang mu’minah yang teguh hatinya. Ia keturunan dari Bani Abdu Syam yang memusuhi Bani Hasyim. Bani Abdus Syam pada waktu itu masih musyrik dan sangat benci terhadap dakwah Nabi. Pada saat hijrah ke Madinah, Saudah ikut bersama Rasulullah dan para sahabat, dan Rasulullah kemudian menikahinya supaya ia terlindung dari keluarganya yang memaksanya untuk kembali ke ajaran nenek moyang. Disamping itu, pernikahan ini juga untuk melunakakan hati Bani Abdu Syam yang memusuhi Bani Hasyim.
b). Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah
Pernikahan nabi dengan ‘Aisyah merupakan wujud penghargaan tinggi nabi pada sahabatnya, Abu Bakar, yang telah ikhlas dan penuh cinta kasih dalam menjalin persaudaraan dengan beliau sebelum Nubuwwat. Perkawinan ini juga dapat dipahami sebagai upaya nabi untuk mempererat persaudaraannya dengan Abu Bakar. ‘Aisyah pada akhirnya menjadi jantung hati bagi Rasulullah dan perantara terbaik dalam upaya penyebaran sunnah dan keutamaan Nabi dalam kehidupan berumah tangga.
c). Pernikahan Nabi dengan Hafsah
Hafsah adalah anak dari Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang paling gigih membelanya. Dengan dinikahinya Hafsah, maka jalinan persahabatan akan semakin erat, tidak hanya sebagai sahabat tetapi sebagai jalinan menantu dan mertua, dan itu artinya kedudukan Umar dan Abu Bakar adalah sama.
d) Pernikahan Nabi dengan Zainab Binti Jahsy
Ia adalah istri dari Zaid bin Haritsa, anak angkat beliau. Ketika kedua pasangan tersebut terjadi cekcok dan akhirnya cerai, maka Nabi menikahinya. Hal ini dilakukan karena pada jaman jahiliyyaah adat hukum waris membolehkan anak angkat mewarisi seluruh harta kekayaan bapak angkatnya. Dengan kata lain, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Dengan dinikahinya Zainab maka adat yang demikian secara otomatis telah gugur dan digantikan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa antara bapak dan anak angkat tidak ada hubungan waris dan hubungan darah. Tegasnya, pernikahan nabi dengan Zainab lebih bertujuan untuk menjelaskan dan mempraktekkan hukum baru yang mungkin masih janggal dalam tradisi orang Arab saat itu.
Secara umum, tujuan beliau menikahi banyak istri adalah untuk menunjang dakwah yang beliau lakukan. Rasulullah diperintahkan untuk mendidik suatu kaum yang tidak mengenal sedikitpun tentang etika budaya dan peradaban agar bisa berandil dalam membangun masyarakat. Namun disisi yang lain, prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat Islam tidak memperkenankan kaum lelaki untuk bercampur baur dengan kaum wanita, sehingga nabi tidak mungkin mendidik kaum wanita secara langsung. Padahal kebutuhan mendidik kaum wanita tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan mendidik kaum laki-laki, bahkan lebih penting.
Jadi tidak ada jalan lain bagi Nabi saw kecuali memilih wanita yang memiliki cukup umur dan kemampuan yang beragam untuk mencapai tujuan ini. Beliau mendidik mereka dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum dan syariat serta pengetahuan Islam, sehingga mereka siap mendidik kaum wanita, baik yang tinggal di pedalaman maupun yang tinggal di kota, yang tua maupun yang muda. Mereka sudah cukup mewakili untuk tugas dakwah kepada seluruh kaum wanita. Ummahatul Mu’minin (istri-istri Rosulullah saw) mempunyai jasa besar dalam mentransfer keadaan rumah tangga beliau, terutama yang berumur panjang, seperti Aisyah. Dia telah banyak meriwayatkan perbuatan dan perkataan beliau.
D. SISTEM PEMBINAAN RUMAH TANGGA NABI
Kebiasaan rasul pada waktu pagi adalah mengunjungi istri-istrinya untuk memberikan petuah dan menanamkan ajaran agama. Sedangkan waktu untuk mengobrol atau bercumbu, beliau biasa melakukannya pada malam hari. Kalau sedang berada di rumah, beliau sering membantu istrinya. Tentang sifatnya di rumah, ‘Aisyah mengomentari: “ Beliau tidak pernah memukul siapa pun, baik itu istri-istrinya maupun pembantunya”. Ketika diajukan pertanyaan apa saja yang dilakukannya di rumah, ‘Aisyah menjelaskan: “ Beliau selalu siap membantu istrinya. Jika tiba waktu shalat, beliau langsung beranjak untuk menunaikan shalat tersebut. Rasul sering menjahit sendiri pakaiannya yang sobek atau sandalnya, mengisi ember, memeras susu kambing, dan melayani dirinya sendiri bila mau makan. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukannya pada waktu-waktu tertentu, terkadang dikerjakannya sendiri atau bersama istrinya, meskipun dia punya pembantu.” Selain itu, Rasulullah juga ternyata sering bercanda dengan istrinya, terutama dengan ‘Aisyah.
Adapun mengenai keadilan terhadap istri-istrinya, hal itu tampak sekali dalam beberapa kejadian. Misalnya, apabila rasul akan bepergian (yang tidak mungkin dilakukan dengan semua istri-istrinya), beliau mengundi mereka. Tak pernah sekalipun beliau menentukan langsung atau memilih salah seorang diantara mereka. Keadilan rasul juga tampak dalam hal menggilir istri-istri. Riwayat yang bersumber dari ‘Aisyah menyebutkan bahwa beliau tidak pernah megistimewakan sebagian mereka dalam hal giliran. Selain itu, beliau juga selalu adil dalam pemberian nafkah dan membagi cinta kasihnya pada para istri
Rasulullah memang merupakan profil seorang suami dengan sifat-sifatnya yang utama, penuh keteladanan, berwibawa, dan sangat santun. Tetapi itu bukan berarti dalam rumah tangga nabi sama sekali tidak pernah terjadi konflik. Rumah tangga nabi, sebagaimana rumah tangga yang lain, sering diwarnai gejolak konflik, seperti kemarahan salah satu pihak atau kecemburuan. Abu Dawud dan An-Nasa’I meriwayatkan bahwasanya ‘Aisyah becerita: “Aku belum pernah menemukan orang yang pandai memasak ( untuk nabi, dan disuruhnya seseorang untuk mengantarkannya pada beliau ) kecuali Shafiah, padahal nabi sedang gilirannya di rumahku. Darahku naik bagaikan memenuhi rongga dadaku sampai terasa sesak dan tubuhku gemetar. Akibat perasaan cemburu yang tak terkendalikan itu, maka segera kubanting mangkoknya yang berisi makanan itu.” Menanggapi kecemburuan ‘Aisyah itu, nabi dengan sangat bijak hanya berkata dengan tenang: “Piring harus diganti piring, makanan harus diganti makanan”.
‘Aisyah memang sangat pencemburu, terutama dengan Khadijah yang selalu disanjung nabi. ‘Aisyah bercerita: “Pernah suatu kali nabi menjanjung Khadijah di depanku. Maka meledaklah lahar cemburu dalam hatiku. Lalu akau mengatakan kepadanya: Bukankah dia hanya seorang perempuan tua bangka tak bergairah ?? Kelebihan apakah yang dimiliki perempuan itu ?? Padahal Allah telah meberikan gantinya untukmu yang lebih dalam segala-galanya dibanding dia ?? Mendengar ucapanku, Rasul marah tak terkira, sampai anak rambut di bagian dahinya meremang lantaran kemarahan yang luar biasa itu. Kemudian beliau berkata: Tidak !! Demi Allah tidak ! Allah tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan lain yang lebih baik dari Khadijah. (Tahukah kau) dia beriman kepadaku tatkala orang lain menentang risalahku. ( HR. Ibnu Atsir)
Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, konflik yang sangat besar terjadi ketika para istri nabi mengelompokkan diri menjadi dua kubu yang salaing bermusuhan satu sama lain. Kelompok pertama ialah ‘Aisyah beserta sekutnya, yaitu Hafsah, Shafiyah, dan Saudah. Sedangkan kelompok yang kedua dipimpin oleh Ummu Salamah dengan para anggota: Zainab, Ummu Habibah, dan Juwairiyah. Dua kelompok ini timbul karena api cemburu dan berbagai latar belakang lainnya. Terhadap hal ini, nabi pun menyikapinya dengan sangat bijak dan sabar hingga akhirnya dua kubu tersebut dapat diperdamaikan.
Begitulah, dalam membina rumah tangganya, fungsi seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga sangat nyata dipraktekkan oleh rasul. Beliau selalu mendengar aspirasi para istrinya, tetapi pengambilan keputusan tertinggi dan kewenangan mengatur rumah tangga tetap ada padanya. Acap kali istri-istri beliau mempergunakan kebebasan dalam berbicara, sedangkan beliau mendengarkan, menjawab, dan menyampaikan pendidikan. Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, rasul selalu berusaha membimbing dan mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk bertakwa kepada Allah. Inilah mengapa rumah tangga rasul, meskipun sering terjadi konflik intern, tetap utuh dan stabil. Pemandangan ini sangat kontras perbedaannya dengan apa yang terjadi dewasa ini sebagai akibat arus feminisme ajaran barat, dimana fungsi kepemimpinan suami sudah tidak ada lagi dalam rumah tangga. Akibat hilangnya fungsi kepemimpinan suami itu, maka dalam rumah tangga tidak ada lagi pihak yang punya kewenangan untuk mengambil keputusan tertinggi. Rumah tangga pun menjadi sangat tidak stabil dan konflik yang terjadi seringkali berakhir perceraian.
Bagaimanapun, keluarga adalah sebuah organisasi kecil yang, mau tidak mau, pasti akan butuh adanya pemimpin. Ini bukan persoalan bias gender atau tradisi patriarkhi, tetapi kenyataan watak kebutuhan dari sebuah organisasi bernama keluarga yang tak mungkin bisa kita pungkiri. Oleh karena itu, sangat tepat sekali ajaran Islam yang mengajarkan dan menetapkan bahwa suami berfungsi sebagai pemimpin rumah tangga. Hanya saja, dalam hal menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang suami harus mampu bersikap bijak dan adil, sebagaimana yang tampak dalam pribadi rasul. Suami juga tidak boleh menindas istrinya, membuatnya tertekan, apalagi sampai menyakitinya secara fisik. Apabila kita mampu menerapkan prnsip-prinsip pembinaan rumah tangga nabi dalam kehidupan rumah tangga modern, maka maraknya persoalan pertikaian dan perceraian dalam kehidupan berkeluarga akan dapat teratasi
Abu Ya’la meriwayatkan dari Aisyah RA. Ia pernah berkata
“Aku mendatangi Rasulullah sambil membawa tepung yang sudah kumasak, lalu aku berkata kepada Saudah, dan beliau berada diantara diriku dan Saudah. ”Makanlah?, namun Saudah enggan. Maka aku berkata lagi “kamu makan atau harus aku polesi wajahmu dengan tepung ini !, saudah tetap enggan. Tiadk mau makan ! ? maka kuletakkan tangunku didalam tepung dqan kupolesi wajah saudah dengannya, Rosulullah tertawa melihat tingkaha kami berdua. Beliau meletakkan tangannya didalam tepung seraya berkata “ ayo polesi wajah Aisyah !”, saambil tertawa kepada Saudah.
KEADILAN ROSULULLAH DALAM NAFKAH LAHIR DAN BATHIN
Rosulullah adalah profil manusia dengan-sifat-sifatnya yang utama,penuh keteladanan terpuji untuk kemanusiaan dalam hal perlakuan terhadap para istri sercara bijak dan adil dalam memberikan gilirankepada mereka pada waktu malam,adil dalampemberian nafkah,cinta kasih serta sikap santundan sabar ketika menghadapi mereka yang sedang marah atau cemburu. Kondisi apapun yang dihadapinya ,selalu diterima denganpembawaan tenang dan penuh kasih seraya menasehati mereka dengan baik.
Adapun mengenai sifat keadilanterhadap istrinya, tampak sekali dalm beberapa kejadian,umpamanya apabila rosul akan bep-ergian(yang tidak mungkin dilakuakan dengan semua istrinya) beliau mengundi mereka.tidak pernah beliaumenentukan langsung atau memilih mereka untuk menemaninya dalam perjalannya.walaupun ada yan g mencalonkan diri secara loangsung kepada nabi,Belia tetap menoloknya. Tetapi bila musim haji datang maka Nabi mengajak mereka semua bersama-sama.
Ketika Nabi menderita sakit,dan itulah sakit yang terakhir bagi Nabi,beliau tetap menggilir para istrinya setiap hari sebagaimana biasanya. Tetapi ketika semakin parah dan nabi tidak terlalu ingt lagi harus kepada siapa tiba gilirannya untuk istrinya, maka nabi memutuskan untuk tinggal disalah satu rumah istrinya dengan cxara meminta ijin terlebih dahulu pada para istri yang akhirnya di ijinkan yaitu tinggal di rumah Aisyah dan Nabi meninggal dunia disitu pula.
Riwayat lain yang bersumberkan dari Aisyahm menyebutkan bahwa Rosulullah tidak mengistimewakan sebagian mereka dari sebagian yang lain dalam hal bergilir. Pada waktu sehat Nabi selalu mengunjungi mereka walaupun tidak keperluan tertentu.
Beliau juga tidak memberikan hak-hak istimewa terhadap Aisyah dibandingkan dengan istri-istri yang lainnya,baik dari segibelanja maupun bergilir,walaupun diantara mereka ada perbedaan tingkah laku,penampilan,kecerdasan dan keturunan. Dalam hal gilir tersebut Rosulullah berkata “Ya Alloh, hanya inilah kemampuankudalam membasgi secara adil.janganlah Engkau menganggapku jahat dengan apa yang Engkau mi8liki,sedangkan aku tidak memilikinya”.
Sudah menjadi tabiat manusia bahwa keadilan yang dimiliki orang lainpun dapat menimbulkan iri dan dengki,dengan pengajuan yang lebih banyak dibandingkan dengan Hak mereka.padahal pada sisi yang lain tindakan kelaliman telah menyebabkan mereka terdiam,terutama kaum perempuan.
Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah tatkala para istri menuntut nabi untuk menaikkan taraf pemberian nafkah, yang mana hal itu menyebabkan Nabi terasa tersiksa dengan sikap mereka. Maka turunlah Wahyu Alloh yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab :28-29.
Artinya “ wahai Nabi beritahukan kepada istri-istrimu ! jika kamu menginginkan kehidupan dunia dengan segala bentuk perhiasannya,silakan ! akan aku berikan kepadamu hadiah (mut’ah)tetapi aku akan menceraikan kamu dengan baik.dan jika kamu mengharapkan Ridho Alloh SWT dan Rosul-NYA serta kesengan di negrti akhirat, maka sesungguhnya Alloh menyediakan pahala yang besar bagi siapapun yang berbuat baik diantara kamu”.
Nabi tidak pernah membedakan antara istri-istrinya dalam soal apapun.namun dalam hal ada orang yang memberi hadiah kepadanya,dan kebetulan Nabi sedang berada dirumah Aisyah,maka seolah Aisyah lebih istimewa.kebetulan hal ini diketahui istri yang lain dan dianggap hal ini adalh tidak adil dalam hak dan kehormatan.padahal pembedaan dan pengurangan hahk-hak ini terjadi bukan dilakukan Nabi dengan sengaja,melainkan orang yang ingin memberikan hadiah ini sengaja menunggu sampai Nabi berada dirumah Aisyah.Namun betgitu Nabi tetap memberikan bagian kepada yang lainsecara adildan merata.diantara istri-istri beliau terkadang ada juga yang menuntut bagiaqnnya dengan mengeluarkan perkataan yang kasar,sehingga acap kali Nabi mendiamkannya dengan cara yang tidak mereka sukai.
BAB III
KESIMPULAN
Rumah tangga yang dibina oleh nabi adalah sebuah cermin rumah tangga yang ideal. Rasulullah sebagai suami selalu bersikap sabar, arif, dan bijaksana kepada para istrinya. Demikian pula para istri beliau, sebagai istri, mereka sangat setia, qana’ah, sabar, tawadlu’, dan selalu memenuhu hak-hak suaminya. Kedua pihak, suami dan istri, bekerjasama dengan sangat solid dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keluarga Rasul dapat hidup secara stabil dan solid karena yang menjadi pijakan beliau dan para istrinya dalam membina rumah tangga adalah nilai-nilai Islam.
Rasulullah mempunyai istri sebelas orang, dan putra-putri beliau berjumlah tujuh orang. Meskipun nabi beristri banyak, beliau dapat bersikap adil pada mereka, baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, maupun dalam hal meberikan nafkah lahir dan batin. Tuduhan yang dilontarkan para orientalis bahwa Muhammad adalah seorang sex maniac, tak pernah puas meski sudah beristri banyak, dan air liurnya selalu mengalir bila melihat wanita adalah merupakan tuduhan yang bukan hanya tidak ilmiah, tapi juga sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun. Tuduhan itu gugur dengan sendirinya karena sejarah membuktikan secara jelas bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh Rasulullah mempunyai tujuan dan hikmah sendiri-sendiri, yang kesemuanya itu berpulang pada tujuan untuk menunjang dakwah Islam yang diemban olehnya, bukan untuk tujuan sex saja.
Dalam rumah tangganya, Nabi adalah seorang pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Sebagai pemimpin rumah tangga, beliau tidak pernah bertindak semena-mena kepada para istrinya, apalagi sampai yang menjurus ke fisik. Beliau juga mampu dengan sangat baik menunaikan tugas utama kepemimpinan suami, yaitu membimbing seluruh anggota keluarganya menuju ketakwaan pada Allah SWT. Bukti kesuksesannya dalam membina rumah tangga adalah stabilitas rumah tangga yang beliau bina. Sebagai pemegang keputusan tertinggi rumah tanggnya, Rasulullah selalu bersikap sangat aspiratif, arif, bijaksana, dan adil. Hal ini tampak misalnya saat beliau menyelesaikan konflik internal keluarga.
Sistem pembinaan rumah tangga beliau ini sangat baik bila dijadikan contoh bagi pembinaan keluarga-keluarga modern yang mengalami krisis. Sebab utama dari maraknya family conflict yang terjadi dalam rumah tangga-rumah tangga modern saat ini adalah karena semakin jauhnya sistem pembinaan keluarga dari nilai-nilai keislaman. Padahal, baik tidaknya kehidupan rumah tangga dapat menjadi penentu baik tidaknya kehidupan masyarakat secara umum. Sehingga solusi yang paling tepat untuk mengatasi itu semua adalah dengan menerapkan kembali secara utuh prinsip-prinsip pembinaan rumah tangga menurut Islam sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah.
Pelajaran-pelajaran (‘ibrah) yang bisa kita petik dari studi terhadap rumah tangga Rasulullah untuk kita terapkan dalam mengatasi krisis keluarga modern diantaranya adalah:
1. Tujuan utama membentuk rumah tangga adalah untuk mencari keridhaan Allah dan menciptakan pola hidup yang islami secara bersama-sama. Dengan memahami prinsip ini, rumah tangga yang dibina insya Allah akan sakinah, mawaddah wa rahmah, dan akhirnya akan dapat menghasilkan generasi berikutnya yang terdidik baik, punya integritas tinggi, dan bermoral.
2. Tujuan membentuk rumah tangga bukanlah untuk pemenuhan kebutuhan seks atau materi semata. Banyak orang-orang sekarang yang ketika mencari istri atau suami pertimbangan utamanya adalah aspek-aspek seksualitas dan materinya saja, sedangkan aspek-aspek lainnya, seperti agama dan akhlak seringkali dilupakan. Akibatnya, rumah tangga yang dibangun pun menjadi sangat rapuh dan rentan konflik.
3. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga yang wajib memberi nafkah, melindungi, dan membimbing anggota keluarganya menuju ketakwaan pada Allah dan Rasul-Nya. Meskipun begitu, suami tidak boleh bertindak semena-mena, karena baik suami, istri, maupun anak, masing-masing mempunyai hak sendiri-sendiri, yang hak itu harus dihormati oleh pihak lain.
4. Pihak istri, walaupun dia berhak atas nafkah dari suami, tidak boleh terlalu mementingkan kehidupan duniawi. Dia harus mau mensyukuri hasil kerja maksimal suami meskipun itu sedikit. Istri yang terlalu menuntut suami dalam hal materi dapat menyebabkan pihak suami akhirnya mencari jalan pintas dengan mencari materi melalui cara-cara yang tidak halal.
5. Rumah tangga berjalan diatas prinsip-prinsip keadilan, kerja sama, saling menasehati, dan saling melengkapi satu sama lain. Kedua belah pihak harus senantiasa saling bantu-membantu dan bahu-membahu dalam mengarungi suka duka kehidupan rumah tangga secara bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA
- Sa’id Hawwa, Al-Asas fi al-Sunnah wa Fiqhiha, al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz 3, Kairo: Dar al-Salam, 1995
- Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthiy, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Dirasah Manhajiyyah ‘Ilmiyyah li Sirat al-Musthafa ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam wa Ma Tanthawi ‘alaihi min ‘Idzat wa Mabadi’ wa Ahkam, Kairo: Dar al-salam, 1997
- Karen Armstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet (terj.) Sirikit Syah, Muhammad sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2002
- Abdullah Najib Salim, Mawaqif Insaniyyah fi al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1994
- Muhammad Sayyid Kailani, ‘Ain al-Yaqin fi al-Sirati Sayyidi al-Mursalin, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t. t.
- Imam Majd al-Din Ibnu Dihyah, Nihayat al-Suul fi Khasha’ishi al-Rasul, Qatar: Idarah al-Syu’un al-Islamiyyah, 1995
- Al-Syaikh Abdul Hamid al-Khatib, Al-Anwar al-Saniyyah ‘ala al-Durar al-Bahiyyah, Jeddah: Al-Haramain, t. t.
- Muhammad Husain Haekal, Hayatu Muhammad, (terj.) Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 1990
- Musthafa al-Siba’i, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Durus wa ‘Ibar, t. t. : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, t. t.
- Shafiy al-Rahman al-Mubarakfury, Al-Rahiq al-Makhtum (terj.) Aunur rafiq Saleh, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 1998
Oleh: M. Lubabul Mubahitsin
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan keluarga, disadari atau tidak, merupakan sebuah kehidupan yang meskipun berskala kecil, mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat secara umum. Seorang suami atau istri, ketika mereka keluar untuk berinteraksi dalam kehidupan sosial secara umum, pasti akan terpengaruh oleh apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Kalau rumah tangga mereka kacau, maka yang akan mereka bawa keluar adalah kekacauan pikiran, dan begitu juga sebaliknya. Selain itu, keluarga juga menjadi “pabrik” yang akan mencetak generasi-generasi suatu masyarakat. Apabila dalam suatu negara, “pabrik-pabrik” yang akan menghasilkan generasinya ternyata tidak dikelola dengan baik, hasilnya tentu akan tidak baik pula.
Oleh karena itulah, pengelolaan keluarga harus dilakukan sebaik mengkin. Salah satu contoh pengelolaan rumah tangga yang sangat baik untuk diikuti adalah rumah tangga Rasulullah. Rumah tangga Rasulullah adalah sebuah rumah tangga yang berjalan sesuai prinsip pembinaan keluarga menurut Islam. Meskipun istri Rasulullah sangat banyak, beliau ternyata mampu untuk me-manage sedemikian rupa sehingga tujuan pembentukan rumah tangga sesuai ajaran Islam pun dapat dicapai olehnya.
Pola pembinaan keluarga Rasulullah sangat penting untuk dipelajari dan dicontoh oleh mereka yang akan, maupun yang sedang membina kehidupan berumah tangga. Dengan mencontoh pola pembinaan rumah tangga Rasulullah, masalah-masalah yang sedang marak terjadi dalam keluarga modern diharapkan dapat teratasi. Teratasinya permasalahan-permasalahan keluarga yang ada dalam masyarakat akan bernilai sangat penting bagi kehidupan sosial secara umum, karena yang demikian itu sedikit banyak pasti akan membantu menghilangkan krisis-krisis sosial yang ada saat ini.
Lalu apa rahasia Rasulullah dalam mengelola rumah tangga ??
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana sikap seorang Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai seorang suami dan bagaimana rahasia beliau dalam mengelola rumah tangganya. Selain itu, tulisan ini akan menceritakan cara Rasulullah dalam mengatasi kemelut rumah tangga, disamping akan membahas juga persoalan poligami Rasulullah dan tuduhan para orientalis bahwa Rasululah adalah seorang sex maniac.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ‘IBRAH
A. ISTRI-ISTRI NABI
Sebagaimana diketahui, nabi beristri tidak hanya satu orang saja. Setelah kematian istri pertamanya, Khadijah, nabi memperistri sejumlah wanita yang jumlahnya lebih dari empat orang. Diperbolehkannya nabi memperistri lebih dari empat orang ini merupakan salah satu kekhususan yang hanya berlaku baginya, dan tidak untuk umatnya. Nabi mempunyai ketentuan khusus karena beliau adalah seorang yang ma’shum dari berbuat aniaya (tidak adil) dan kejelekan; suatu hal yang karenanya, umatnya hanya diperbolehkan beristri maksimal empat.
Karena bagi nabi tidak berlaku ketentuan batasan istri empat, maka wajarlah kalau istri nabi pun banyak. Sayangnya, mengenai berapa jumlah pasti dari istri-istrinya, para ahli berbeda pendapat didalamnya. Perbedaan pendapat diantara mereka menjadi semakin tajam ketika mereka merinci dan menentukan jumlah istri yang pernah dipergauli nabi dan jumlah istri yang belum pernah dipergauli.
Banyaknya perbedaan pendapat diantara mereka dapat dipahami mengingat hukum perkawinan yang berlaku bagi nabi sangat bebeda dengan hukum yang berlaku bagi umatnya. Hukum perkawinan yang berlaku baginya jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan yang berlaku bagi umatnya. Sebagai contoh, untuk nabi tidak ada batasan jumlah istri, sehingga memungkinkan baginya untuk beristri sebanyak yang ia kehendaki. Selain itu, proses akad perkawinannya pun sangat sederhana. Bagi nabi, dihalalkan wanita yang dihibahkan padanya tanpa mahar. Pernikahan nabi tetap sah meskipun tidak ada saksi dan tanpa wali. Dari proses pernikahan yang sangat sederhana dan dapat terjadi dengan begitu mudahnya itulah, wajar sekali kalau kemudian banyak ulama yang kurang tahu mengenai tiap detail perkawinannya dan pengetahuan mereka berbeda-beda didalamnya.
Selain pendapatnya berbeda-beda, ketika menyebut jumlah istri nabi, para ulama juga seringkali tidak merinci apakah angka itu merupakan jumlah istri yang ditinggal wafat, istri yang pernah seranjang, ataukah jumlah keseluruhan wanita yang pernah diperistrinya. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa jumlah istri nabi adalah sebelas orang. Dr. Muhammad Nur al-Fadani, dalam tahqiq-nya terhadap kitab Nihayatus Suul fi Khasha’ishir Rasul mengatakan, dalam Isnadul ‘Uyun disebutkan bahwa jumlah istri yang pernah seranjang dengan nabi ada 12 orang. Sedangkan menurut Muhamad Sayyid Kailani, jumlah istrinya adalah 13 orang. Begitu juga pendapat Al-Mubarakfury, sebagaimana dikutip oleh Sa’id Hawwa. Al-Mubarakfury menyatakan bahwa istri nabi berjumlah 13 orang, dengan rincian: yang ditinggal wafat oleh nabi 9 orang, yang meninggal dunia 2 orang, dan yang belum pernah dipergauli oleh nabi 2 orang. Lain lagi pendapat Imam Majd al-Din, dia mengatakan bahwa jumlah keseluruhan istri nabi ada 22 orang.
Meskipun jumlah yang dikatakan para ulama sangat beragam, ternyata ada juga jumlah yang mereka sepakati. Jumlah yang mereka sepakati, sebagaimana dikatakan dalam Al-Anwar Al-Saniyyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah, adalah 11 orang. Artinya, untuk jumlah sebelas ini, tidak ada ulama yang menyangkal, meskipun banyak yang kemudian menambahinya. Nama kesebelas istri nabi tersebut adalah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Huzaimah, Ummu Salmah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyah binti al-Harits, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, Shafiyah binti Huyayy, dan Maimunah binti al-Harits. Diantara nama-nama tersebut, yang paling terkenal dan seringkali menjadi pembicaraan dalam buku-buku sirah nabi adalah Khadijah dan ‘Aisyah.
Khadijah adalah istri pertama dari nabi yang paling dicintai olehnya dan paling berkesan di kehidupan nabi. Ia adalah seorang janda yang kaya, kuat kepribadiannya, cerdas, paling mulia – baik nasab maupun kedudukannya, dan cantik. Ketika menikah dengannya, umur nabi sekitar 25 tahun dan umur Khadijah terpaut jauh diatasnya, 40 tahun. Sehingga jelaslah bahwa yang menjadi titik berat tujuan nabi menikah bukanlah persoalan seks. Selain merupakan orang yang pertama kali beriman dengan risalah nabi, dia adalah istri yang paling banyak membantu nabi dalam masa-masa sulit tugas kenabian dengan kebijakan serta kedewasaannya. Maka wajarlah bila kemudian, setelah meninggalnya Khadijah, meskipun nabi menikah dengan banyak wanita, nabi tidak pernah bisa melupakannya dan selalu terkenang akannya.
Satu-satunya istri nabi yang perawan adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar. Dia dinikahi oleh nabi pada umur 7 tahun dan dipergaulinya pada umur 9 tahun. ‘Aisyah merupakan istri nabi yang paling pintar dan paling banyak meriwayatkan hadis. Dalam sejarah, ia dikenal berwatak keras dan sangat pencemburu, terutama terhadap kecintaan nabi terhadap Khadijah. ‘Aisyah ternyata juga merupakan orang yang paling sering bercanda dengan nabi, dan nabi pun selalu melayaninya. Hal ini mungkin karena dia adalah istri nabi yang paling muda, sehingga tidak sedewasa istri-istri nabi yang lainnya.
Sedangkan putra-putri nabi jumlahnya 7 orang, tiga laki-laki dan empat perempuan. Nama ketujuh putra nabi tersebut, sesuai urutan kelahirannya adalah, Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fatimah, Umu Kultsum, Abdullah, dan Ibrahim. Semuanya dilahirkan oleh Khadijah, kecuali Ibrahim karena ia dilahirkan oleh Mariyah al-Qubthiyyah.
B. BENARKAH NABI SEORANG PEMBURU SEKS ???
Dalam beberapa karya kaum orientalis maupun para penginjil seperti Muir, Dermenghem, Washington Irving, Weil, Sprenger, Lammens, dan lainnya, banyak sekali kita jumpai pendeskreditan Muhammad melalui cerita perkawinan dan poligaminya. Cerita ini, meskipun begitu rapi dibungkus dengan slogan atas nama ilmu pengetahuan yang mengedepankan obyektifitas, sangat tampak sekali bahwa tujuan utamanya adalah mencoreng Islam dan nabinya, karena cerita-cerita mereka ini sebenarnya sangat tidak masuk akal dan sama sekali jauh dari yang kualifikasi penelitian ilmiah. Disitu Muhammad digambarkan sebagai seorang tokoh yang tadinya ketika di Makkah mampu menahan diri, tetapi setelah di Madinah dia berubah menjadi seorang yang selalu diburu nafsu syahwat, air liurnya selalu mengalir bila melihat wanita, dan tidak pernah puas meski sudah beristri banyak.
Salah satu tuduhan yang paling sering mereka ulang-ulang adalah bahwa dalam rangka memuaskan nafsunya, Muhammad tidak hanya mengawini wanita yang tak bersuami saja, tetapi ia ternyata juga jatuh cinta dengan Zainab binti Jahsy yang masih berstatus sebagai istri dari anak angkatnya, Zaid bin Haritha. Suatu waktu, Muhammad mengunjungi rumah Zainab ketika Zaid sedang tidak berada dirumah. Ketika itu Zainab yang menyambutnya mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikannya tersebut sangat mempesonakan Muhammad. Melihat kecantikan yang ada padanya, Muhammad berkata: “ Maha Suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia”. Tentu Zainab merasa bangga, sehingga ketika Zaid pulang, dia menceritakan hal itu pada suaminya. Mendengar itu, Zaid langsung menemui nabi dan mengatakan dia bersedia untuk menceraikannya. Lalu nabi berkata: “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut pada Allah”.
Zainab akhirnya memang bercerai dengan Zaid dan kemudian menjadi istri nabi. Orang-orang seperti Voltaire dan Pordeaux melihat insiden ini sebagai demonstrasi selera seks Muhammad yang tak pernah habis, dan manipulasi buatannya atas wahyu demi melanjutkan kehendak-kehendaknya sendiri. Meski pada akhirnya Zainab menikah dengan nabi, tuduhan orientalis bahwa nabi merusak rumah tangga orang demi mengejar kepuasan birahi tetap tidak tepat. Alasannya: Pertama, karena hubungan Zainab dan Zaid memang pada dasarnya sudah sangat tidak harmonis. Sejarah mencatat bahwa sebelum bercerai, Zaid sering menghadap nabi dan menceritakan sikap istrinya yang menurutnya kurang baik sehingga dia merasa tidak cocok. Menanggapi itu, nabi selalu menasihatinya untuk mempertahankan rumah tangganya dan berkata: “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut pada Allah”. Tetapi, Zaid tetap tidak tahan, sehingga pada akhirnya menceraikan Zainab. Kedua, fakta menunjukkan bahwa Zainab adalah putri Umaima binti Abdul Mutallib, bibi nabi sendiri, dan nabi sering membantu mengasuhnya. Dengan begitu, sejak semula nabi sudah tahu benar dia cantik atau tidak karena dia tahu pertumbuhan Zainab semenjak bayi sampai besar. Sehingga sangat konyol bila nabi baru tahu bahwa dia cantik terjadi pada saat dia menjadi istri Zaid. Ketiga, kalaulah perasaan cinta dan kekaguman pada kecantikan Zainab tersebut sedikit banyak ada pada diri nabi, tentu dia akan melamar pada keluarga Zainab untuk dirinya, bukan untuk Zaid. Tetapi, bukankah kita tahu bahwa yang melamarkan Zaid tidak lain dan tidak bukan adalah justru nabi sendiri ?? Apakah mungkin, pada saat nabi melamarkan untuk Zaid, nabi tidak tahu Zainab cantik, padahal saat itu Zainab sedang berada di usia matangnya, dan setelah lama berumah tangga dengan Zaid, kecantikan Zainab baru diketahui oleh nabi dan menggetarkan hatinya, yang hal ini justru terjadi saat Zainab berumur 39 tahun ??
Dalam kitabnya, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthiy secara sangat logis mampu mematahkan klaim-kalim kaum orientalis yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang sex maniac tersebut. Dia menuliskan, seorang pemburu seks tidak akan mungkin hidup bersih dan suci dalam lingkungan Arab Jahiliyah seperti itu tanpa terbawa arus kerusakan yang mengelilinginya. Seorang pemburu seks tidak akan pernah bersedia menikah dengan seorang janda yang lebih tua darinya, kemudian hidup bersama sekian lama tanpa melirik wanita-wanita lain yang menginginkannya, sampai menghabiskan masa mudanya, lalu masa tua dan memasuki pasca tua. Adapun pernikahannya setelah itu dengan ‘Aisyah serta yang lainnya, maka masing-masing memiliki kisah tersendiri. Setiap pernikahannya mempunyai hikmah dan sebab sendiri-sendiri, yang hal itu dapat menambah keimanan seorang Muslim pada keagungan Muhammad SAW dan kesempurnaan akhlaknya. Mengenai hikmah dan sebabnya, yang jelas penikahan tersebut bukanlah untuk melampiaskan dorongan seksual. Sebab, seandainya demikian, tentu beliau sudah melampiaskannya pada masa-masa sebelumnya. Apalagi pada masa-masa tersebut pemuda Muhammad SAW belum memikirkan hal yang dapat memalingkan kebutuhan nalurinya, yaitu da’wah dan permasalahannya.
Yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan mengenai banyaknya istri nabi adalah bahwa yang demikian itu tidak tampak dalam hari-harinya bersama Khadijah dan nabi pun tidak melakukan poligami kecuali setelah wafatnya. Hal itu tidak lain karena pada saat itu tanggung jawab dan tugas nabi belum begitu kompleks. Kemudian, pada saat nabi hijrah ke Madinah, disitu nabi menemui banyak sekali permasalahan dan tanggung jawab, seperti menyelamatkan wanita dan anak-anaknya dari keterpurukan, banyaknya suku-suku Arab yang bergabung, meringankan permusuhan dari beberapa kelompok, menegakkan syariat Islam, dan lain sebagainya. Faktor kompleksnya permasalahan dan tanggung jawab inilah yang kemudian menjadi sebab dan pendorong utama bagi nabi untuk berpoligami. Dengan banyaknya istri, diharapkan nabi akan mempunyai banyak teman untuk berbagi suka duka dan membantunya dalam mengurusi berbagai persoalan.
Dari berbagai kejadian yang terjadi di rumah tangga nabi, sangat tampak nyata bahwa diantara kesekian banyak istri-istri nabi, ternyata Khadijah tetap merupakan istri yang paling dicintai dan selalu dikenang olehnya. Khadijah tetap menjadi yang paling utama di mata nabi meskipun istri-istrinya yang lain banyak yang lebih muda dan cantik bila dibandingkan dengannya. Fakta ini tentu sangat tidak sejalan dengan klaim kaum orientalis bahwa nabi adalah seorang pemburu seks. Kalaulah dia memang seorang pemburu kepuasan birahi, mengapa istri yang paling berkesan justru Khadijah yang sudah tua, bukannya mereka yang lebih muda dan cantik, atau bahkan yang perawan, seperti ‘Aisyah misalnya ??
Akhirnya, jelaslah bahwa tuduhan mereka sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun.
C. TUJUAN DARI BEBERAPA PERNIKAHAN RASULULLAH SAW
Setiap pernikahan Rosulullah diketahui banyak mengandung ajaran dan hikmah yang mendalam bagi kepentingan dakwah Islam. Setiap pernikahan Rasulullah dengan masing-masing istrinya juga juga mengandung alasan, tujuan, dan keistimewaan sendiri-sendiri. Berikut adalah contoh beberapa rahasia yang terkandung dibalik pernikahannya dengan para istrinya.
a). Pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zaimah
Saudah adalah seorang mu’minah yang teguh hatinya. Ia keturunan dari Bani Abdu Syam yang memusuhi Bani Hasyim. Bani Abdus Syam pada waktu itu masih musyrik dan sangat benci terhadap dakwah Nabi. Pada saat hijrah ke Madinah, Saudah ikut bersama Rasulullah dan para sahabat, dan Rasulullah kemudian menikahinya supaya ia terlindung dari keluarganya yang memaksanya untuk kembali ke ajaran nenek moyang. Disamping itu, pernikahan ini juga untuk melunakakan hati Bani Abdu Syam yang memusuhi Bani Hasyim.
b). Pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah
Pernikahan nabi dengan ‘Aisyah merupakan wujud penghargaan tinggi nabi pada sahabatnya, Abu Bakar, yang telah ikhlas dan penuh cinta kasih dalam menjalin persaudaraan dengan beliau sebelum Nubuwwat. Perkawinan ini juga dapat dipahami sebagai upaya nabi untuk mempererat persaudaraannya dengan Abu Bakar. ‘Aisyah pada akhirnya menjadi jantung hati bagi Rasulullah dan perantara terbaik dalam upaya penyebaran sunnah dan keutamaan Nabi dalam kehidupan berumah tangga.
c). Pernikahan Nabi dengan Hafsah
Hafsah adalah anak dari Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang paling gigih membelanya. Dengan dinikahinya Hafsah, maka jalinan persahabatan akan semakin erat, tidak hanya sebagai sahabat tetapi sebagai jalinan menantu dan mertua, dan itu artinya kedudukan Umar dan Abu Bakar adalah sama.
d) Pernikahan Nabi dengan Zainab Binti Jahsy
Ia adalah istri dari Zaid bin Haritsa, anak angkat beliau. Ketika kedua pasangan tersebut terjadi cekcok dan akhirnya cerai, maka Nabi menikahinya. Hal ini dilakukan karena pada jaman jahiliyyaah adat hukum waris membolehkan anak angkat mewarisi seluruh harta kekayaan bapak angkatnya. Dengan kata lain, kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung. Dengan dinikahinya Zainab maka adat yang demikian secara otomatis telah gugur dan digantikan dengan ajaran Islam yang memandang bahwa antara bapak dan anak angkat tidak ada hubungan waris dan hubungan darah. Tegasnya, pernikahan nabi dengan Zainab lebih bertujuan untuk menjelaskan dan mempraktekkan hukum baru yang mungkin masih janggal dalam tradisi orang Arab saat itu.
Secara umum, tujuan beliau menikahi banyak istri adalah untuk menunjang dakwah yang beliau lakukan. Rasulullah diperintahkan untuk mendidik suatu kaum yang tidak mengenal sedikitpun tentang etika budaya dan peradaban agar bisa berandil dalam membangun masyarakat. Namun disisi yang lain, prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat Islam tidak memperkenankan kaum lelaki untuk bercampur baur dengan kaum wanita, sehingga nabi tidak mungkin mendidik kaum wanita secara langsung. Padahal kebutuhan mendidik kaum wanita tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan mendidik kaum laki-laki, bahkan lebih penting.
Jadi tidak ada jalan lain bagi Nabi saw kecuali memilih wanita yang memiliki cukup umur dan kemampuan yang beragam untuk mencapai tujuan ini. Beliau mendidik mereka dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum dan syariat serta pengetahuan Islam, sehingga mereka siap mendidik kaum wanita, baik yang tinggal di pedalaman maupun yang tinggal di kota, yang tua maupun yang muda. Mereka sudah cukup mewakili untuk tugas dakwah kepada seluruh kaum wanita. Ummahatul Mu’minin (istri-istri Rosulullah saw) mempunyai jasa besar dalam mentransfer keadaan rumah tangga beliau, terutama yang berumur panjang, seperti Aisyah. Dia telah banyak meriwayatkan perbuatan dan perkataan beliau.
D. SISTEM PEMBINAAN RUMAH TANGGA NABI
Kebiasaan rasul pada waktu pagi adalah mengunjungi istri-istrinya untuk memberikan petuah dan menanamkan ajaran agama. Sedangkan waktu untuk mengobrol atau bercumbu, beliau biasa melakukannya pada malam hari. Kalau sedang berada di rumah, beliau sering membantu istrinya. Tentang sifatnya di rumah, ‘Aisyah mengomentari: “ Beliau tidak pernah memukul siapa pun, baik itu istri-istrinya maupun pembantunya”. Ketika diajukan pertanyaan apa saja yang dilakukannya di rumah, ‘Aisyah menjelaskan: “ Beliau selalu siap membantu istrinya. Jika tiba waktu shalat, beliau langsung beranjak untuk menunaikan shalat tersebut. Rasul sering menjahit sendiri pakaiannya yang sobek atau sandalnya, mengisi ember, memeras susu kambing, dan melayani dirinya sendiri bila mau makan. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukannya pada waktu-waktu tertentu, terkadang dikerjakannya sendiri atau bersama istrinya, meskipun dia punya pembantu.” Selain itu, Rasulullah juga ternyata sering bercanda dengan istrinya, terutama dengan ‘Aisyah.
Adapun mengenai keadilan terhadap istri-istrinya, hal itu tampak sekali dalam beberapa kejadian. Misalnya, apabila rasul akan bepergian (yang tidak mungkin dilakukan dengan semua istri-istrinya), beliau mengundi mereka. Tak pernah sekalipun beliau menentukan langsung atau memilih salah seorang diantara mereka. Keadilan rasul juga tampak dalam hal menggilir istri-istri. Riwayat yang bersumber dari ‘Aisyah menyebutkan bahwa beliau tidak pernah megistimewakan sebagian mereka dalam hal giliran. Selain itu, beliau juga selalu adil dalam pemberian nafkah dan membagi cinta kasihnya pada para istri
Rasulullah memang merupakan profil seorang suami dengan sifat-sifatnya yang utama, penuh keteladanan, berwibawa, dan sangat santun. Tetapi itu bukan berarti dalam rumah tangga nabi sama sekali tidak pernah terjadi konflik. Rumah tangga nabi, sebagaimana rumah tangga yang lain, sering diwarnai gejolak konflik, seperti kemarahan salah satu pihak atau kecemburuan. Abu Dawud dan An-Nasa’I meriwayatkan bahwasanya ‘Aisyah becerita: “Aku belum pernah menemukan orang yang pandai memasak ( untuk nabi, dan disuruhnya seseorang untuk mengantarkannya pada beliau ) kecuali Shafiah, padahal nabi sedang gilirannya di rumahku. Darahku naik bagaikan memenuhi rongga dadaku sampai terasa sesak dan tubuhku gemetar. Akibat perasaan cemburu yang tak terkendalikan itu, maka segera kubanting mangkoknya yang berisi makanan itu.” Menanggapi kecemburuan ‘Aisyah itu, nabi dengan sangat bijak hanya berkata dengan tenang: “Piring harus diganti piring, makanan harus diganti makanan”.
‘Aisyah memang sangat pencemburu, terutama dengan Khadijah yang selalu disanjung nabi. ‘Aisyah bercerita: “Pernah suatu kali nabi menjanjung Khadijah di depanku. Maka meledaklah lahar cemburu dalam hatiku. Lalu akau mengatakan kepadanya: Bukankah dia hanya seorang perempuan tua bangka tak bergairah ?? Kelebihan apakah yang dimiliki perempuan itu ?? Padahal Allah telah meberikan gantinya untukmu yang lebih dalam segala-galanya dibanding dia ?? Mendengar ucapanku, Rasul marah tak terkira, sampai anak rambut di bagian dahinya meremang lantaran kemarahan yang luar biasa itu. Kemudian beliau berkata: Tidak !! Demi Allah tidak ! Allah tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan lain yang lebih baik dari Khadijah. (Tahukah kau) dia beriman kepadaku tatkala orang lain menentang risalahku. ( HR. Ibnu Atsir)
Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, konflik yang sangat besar terjadi ketika para istri nabi mengelompokkan diri menjadi dua kubu yang salaing bermusuhan satu sama lain. Kelompok pertama ialah ‘Aisyah beserta sekutnya, yaitu Hafsah, Shafiyah, dan Saudah. Sedangkan kelompok yang kedua dipimpin oleh Ummu Salamah dengan para anggota: Zainab, Ummu Habibah, dan Juwairiyah. Dua kelompok ini timbul karena api cemburu dan berbagai latar belakang lainnya. Terhadap hal ini, nabi pun menyikapinya dengan sangat bijak dan sabar hingga akhirnya dua kubu tersebut dapat diperdamaikan.
Begitulah, dalam membina rumah tangganya, fungsi seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga sangat nyata dipraktekkan oleh rasul. Beliau selalu mendengar aspirasi para istrinya, tetapi pengambilan keputusan tertinggi dan kewenangan mengatur rumah tangga tetap ada padanya. Acap kali istri-istri beliau mempergunakan kebebasan dalam berbicara, sedangkan beliau mendengarkan, menjawab, dan menyampaikan pendidikan. Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, rasul selalu berusaha membimbing dan mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk bertakwa kepada Allah. Inilah mengapa rumah tangga rasul, meskipun sering terjadi konflik intern, tetap utuh dan stabil. Pemandangan ini sangat kontras perbedaannya dengan apa yang terjadi dewasa ini sebagai akibat arus feminisme ajaran barat, dimana fungsi kepemimpinan suami sudah tidak ada lagi dalam rumah tangga. Akibat hilangnya fungsi kepemimpinan suami itu, maka dalam rumah tangga tidak ada lagi pihak yang punya kewenangan untuk mengambil keputusan tertinggi. Rumah tangga pun menjadi sangat tidak stabil dan konflik yang terjadi seringkali berakhir perceraian.
Bagaimanapun, keluarga adalah sebuah organisasi kecil yang, mau tidak mau, pasti akan butuh adanya pemimpin. Ini bukan persoalan bias gender atau tradisi patriarkhi, tetapi kenyataan watak kebutuhan dari sebuah organisasi bernama keluarga yang tak mungkin bisa kita pungkiri. Oleh karena itu, sangat tepat sekali ajaran Islam yang mengajarkan dan menetapkan bahwa suami berfungsi sebagai pemimpin rumah tangga. Hanya saja, dalam hal menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang suami harus mampu bersikap bijak dan adil, sebagaimana yang tampak dalam pribadi rasul. Suami juga tidak boleh menindas istrinya, membuatnya tertekan, apalagi sampai menyakitinya secara fisik. Apabila kita mampu menerapkan prnsip-prinsip pembinaan rumah tangga nabi dalam kehidupan rumah tangga modern, maka maraknya persoalan pertikaian dan perceraian dalam kehidupan berkeluarga akan dapat teratasi
Abu Ya’la meriwayatkan dari Aisyah RA. Ia pernah berkata
“Aku mendatangi Rasulullah sambil membawa tepung yang sudah kumasak, lalu aku berkata kepada Saudah, dan beliau berada diantara diriku dan Saudah. ”Makanlah?, namun Saudah enggan. Maka aku berkata lagi “kamu makan atau harus aku polesi wajahmu dengan tepung ini !, saudah tetap enggan. Tiadk mau makan ! ? maka kuletakkan tangunku didalam tepung dqan kupolesi wajah saudah dengannya, Rosulullah tertawa melihat tingkaha kami berdua. Beliau meletakkan tangannya didalam tepung seraya berkata “ ayo polesi wajah Aisyah !”, saambil tertawa kepada Saudah.
KEADILAN ROSULULLAH DALAM NAFKAH LAHIR DAN BATHIN
Rosulullah adalah profil manusia dengan-sifat-sifatnya yang utama,penuh keteladanan terpuji untuk kemanusiaan dalam hal perlakuan terhadap para istri sercara bijak dan adil dalam memberikan gilirankepada mereka pada waktu malam,adil dalampemberian nafkah,cinta kasih serta sikap santundan sabar ketika menghadapi mereka yang sedang marah atau cemburu. Kondisi apapun yang dihadapinya ,selalu diterima denganpembawaan tenang dan penuh kasih seraya menasehati mereka dengan baik.
Adapun mengenai sifat keadilanterhadap istrinya, tampak sekali dalm beberapa kejadian,umpamanya apabila rosul akan bep-ergian(yang tidak mungkin dilakuakan dengan semua istrinya) beliau mengundi mereka.tidak pernah beliaumenentukan langsung atau memilih mereka untuk menemaninya dalam perjalannya.walaupun ada yan g mencalonkan diri secara loangsung kepada nabi,Belia tetap menoloknya. Tetapi bila musim haji datang maka Nabi mengajak mereka semua bersama-sama.
Ketika Nabi menderita sakit,dan itulah sakit yang terakhir bagi Nabi,beliau tetap menggilir para istrinya setiap hari sebagaimana biasanya. Tetapi ketika semakin parah dan nabi tidak terlalu ingt lagi harus kepada siapa tiba gilirannya untuk istrinya, maka nabi memutuskan untuk tinggal disalah satu rumah istrinya dengan cxara meminta ijin terlebih dahulu pada para istri yang akhirnya di ijinkan yaitu tinggal di rumah Aisyah dan Nabi meninggal dunia disitu pula.
Riwayat lain yang bersumberkan dari Aisyahm menyebutkan bahwa Rosulullah tidak mengistimewakan sebagian mereka dari sebagian yang lain dalam hal bergilir. Pada waktu sehat Nabi selalu mengunjungi mereka walaupun tidak keperluan tertentu.
Beliau juga tidak memberikan hak-hak istimewa terhadap Aisyah dibandingkan dengan istri-istri yang lainnya,baik dari segibelanja maupun bergilir,walaupun diantara mereka ada perbedaan tingkah laku,penampilan,kecerdasan dan keturunan. Dalam hal gilir tersebut Rosulullah berkata “Ya Alloh, hanya inilah kemampuankudalam membasgi secara adil.janganlah Engkau menganggapku jahat dengan apa yang Engkau mi8liki,sedangkan aku tidak memilikinya”.
Sudah menjadi tabiat manusia bahwa keadilan yang dimiliki orang lainpun dapat menimbulkan iri dan dengki,dengan pengajuan yang lebih banyak dibandingkan dengan Hak mereka.padahal pada sisi yang lain tindakan kelaliman telah menyebabkan mereka terdiam,terutama kaum perempuan.
Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah tatkala para istri menuntut nabi untuk menaikkan taraf pemberian nafkah, yang mana hal itu menyebabkan Nabi terasa tersiksa dengan sikap mereka. Maka turunlah Wahyu Alloh yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab :28-29.
Artinya “ wahai Nabi beritahukan kepada istri-istrimu ! jika kamu menginginkan kehidupan dunia dengan segala bentuk perhiasannya,silakan ! akan aku berikan kepadamu hadiah (mut’ah)tetapi aku akan menceraikan kamu dengan baik.dan jika kamu mengharapkan Ridho Alloh SWT dan Rosul-NYA serta kesengan di negrti akhirat, maka sesungguhnya Alloh menyediakan pahala yang besar bagi siapapun yang berbuat baik diantara kamu”.
Nabi tidak pernah membedakan antara istri-istrinya dalam soal apapun.namun dalam hal ada orang yang memberi hadiah kepadanya,dan kebetulan Nabi sedang berada dirumah Aisyah,maka seolah Aisyah lebih istimewa.kebetulan hal ini diketahui istri yang lain dan dianggap hal ini adalh tidak adil dalam hak dan kehormatan.padahal pembedaan dan pengurangan hahk-hak ini terjadi bukan dilakukan Nabi dengan sengaja,melainkan orang yang ingin memberikan hadiah ini sengaja menunggu sampai Nabi berada dirumah Aisyah.Namun betgitu Nabi tetap memberikan bagian kepada yang lainsecara adildan merata.diantara istri-istri beliau terkadang ada juga yang menuntut bagiaqnnya dengan mengeluarkan perkataan yang kasar,sehingga acap kali Nabi mendiamkannya dengan cara yang tidak mereka sukai.
BAB III
KESIMPULAN
Rumah tangga yang dibina oleh nabi adalah sebuah cermin rumah tangga yang ideal. Rasulullah sebagai suami selalu bersikap sabar, arif, dan bijaksana kepada para istrinya. Demikian pula para istri beliau, sebagai istri, mereka sangat setia, qana’ah, sabar, tawadlu’, dan selalu memenuhu hak-hak suaminya. Kedua pihak, suami dan istri, bekerjasama dengan sangat solid dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keluarga Rasul dapat hidup secara stabil dan solid karena yang menjadi pijakan beliau dan para istrinya dalam membina rumah tangga adalah nilai-nilai Islam.
Rasulullah mempunyai istri sebelas orang, dan putra-putri beliau berjumlah tujuh orang. Meskipun nabi beristri banyak, beliau dapat bersikap adil pada mereka, baik dalam memberikan perhatian dan kasih sayang, maupun dalam hal meberikan nafkah lahir dan batin. Tuduhan yang dilontarkan para orientalis bahwa Muhammad adalah seorang sex maniac, tak pernah puas meski sudah beristri banyak, dan air liurnya selalu mengalir bila melihat wanita adalah merupakan tuduhan yang bukan hanya tidak ilmiah, tapi juga sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun. Tuduhan itu gugur dengan sendirinya karena sejarah membuktikan secara jelas bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh Rasulullah mempunyai tujuan dan hikmah sendiri-sendiri, yang kesemuanya itu berpulang pada tujuan untuk menunjang dakwah Islam yang diemban olehnya, bukan untuk tujuan sex saja.
Dalam rumah tangganya, Nabi adalah seorang pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Sebagai pemimpin rumah tangga, beliau tidak pernah bertindak semena-mena kepada para istrinya, apalagi sampai yang menjurus ke fisik. Beliau juga mampu dengan sangat baik menunaikan tugas utama kepemimpinan suami, yaitu membimbing seluruh anggota keluarganya menuju ketakwaan pada Allah SWT. Bukti kesuksesannya dalam membina rumah tangga adalah stabilitas rumah tangga yang beliau bina. Sebagai pemegang keputusan tertinggi rumah tanggnya, Rasulullah selalu bersikap sangat aspiratif, arif, bijaksana, dan adil. Hal ini tampak misalnya saat beliau menyelesaikan konflik internal keluarga.
Sistem pembinaan rumah tangga beliau ini sangat baik bila dijadikan contoh bagi pembinaan keluarga-keluarga modern yang mengalami krisis. Sebab utama dari maraknya family conflict yang terjadi dalam rumah tangga-rumah tangga modern saat ini adalah karena semakin jauhnya sistem pembinaan keluarga dari nilai-nilai keislaman. Padahal, baik tidaknya kehidupan rumah tangga dapat menjadi penentu baik tidaknya kehidupan masyarakat secara umum. Sehingga solusi yang paling tepat untuk mengatasi itu semua adalah dengan menerapkan kembali secara utuh prinsip-prinsip pembinaan rumah tangga menurut Islam sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah.
Pelajaran-pelajaran (‘ibrah) yang bisa kita petik dari studi terhadap rumah tangga Rasulullah untuk kita terapkan dalam mengatasi krisis keluarga modern diantaranya adalah:
1. Tujuan utama membentuk rumah tangga adalah untuk mencari keridhaan Allah dan menciptakan pola hidup yang islami secara bersama-sama. Dengan memahami prinsip ini, rumah tangga yang dibina insya Allah akan sakinah, mawaddah wa rahmah, dan akhirnya akan dapat menghasilkan generasi berikutnya yang terdidik baik, punya integritas tinggi, dan bermoral.
2. Tujuan membentuk rumah tangga bukanlah untuk pemenuhan kebutuhan seks atau materi semata. Banyak orang-orang sekarang yang ketika mencari istri atau suami pertimbangan utamanya adalah aspek-aspek seksualitas dan materinya saja, sedangkan aspek-aspek lainnya, seperti agama dan akhlak seringkali dilupakan. Akibatnya, rumah tangga yang dibangun pun menjadi sangat rapuh dan rentan konflik.
3. Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga yang wajib memberi nafkah, melindungi, dan membimbing anggota keluarganya menuju ketakwaan pada Allah dan Rasul-Nya. Meskipun begitu, suami tidak boleh bertindak semena-mena, karena baik suami, istri, maupun anak, masing-masing mempunyai hak sendiri-sendiri, yang hak itu harus dihormati oleh pihak lain.
4. Pihak istri, walaupun dia berhak atas nafkah dari suami, tidak boleh terlalu mementingkan kehidupan duniawi. Dia harus mau mensyukuri hasil kerja maksimal suami meskipun itu sedikit. Istri yang terlalu menuntut suami dalam hal materi dapat menyebabkan pihak suami akhirnya mencari jalan pintas dengan mencari materi melalui cara-cara yang tidak halal.
5. Rumah tangga berjalan diatas prinsip-prinsip keadilan, kerja sama, saling menasehati, dan saling melengkapi satu sama lain. Kedua belah pihak harus senantiasa saling bantu-membantu dan bahu-membahu dalam mengarungi suka duka kehidupan rumah tangga secara bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA
- Sa’id Hawwa, Al-Asas fi al-Sunnah wa Fiqhiha, al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz 3, Kairo: Dar al-Salam, 1995
- Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthiy, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Dirasah Manhajiyyah ‘Ilmiyyah li Sirat al-Musthafa ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam wa Ma Tanthawi ‘alaihi min ‘Idzat wa Mabadi’ wa Ahkam, Kairo: Dar al-salam, 1997
- Karen Armstrong, Muhammad, A Biography of the Prophet (terj.) Sirikit Syah, Muhammad sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2002
- Abdullah Najib Salim, Mawaqif Insaniyyah fi al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1994
- Muhammad Sayyid Kailani, ‘Ain al-Yaqin fi al-Sirati Sayyidi al-Mursalin, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t. t.
- Imam Majd al-Din Ibnu Dihyah, Nihayat al-Suul fi Khasha’ishi al-Rasul, Qatar: Idarah al-Syu’un al-Islamiyyah, 1995
- Al-Syaikh Abdul Hamid al-Khatib, Al-Anwar al-Saniyyah ‘ala al-Durar al-Bahiyyah, Jeddah: Al-Haramain, t. t.
- Muhammad Husain Haekal, Hayatu Muhammad, (terj.) Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 1990
- Musthafa al-Siba’i, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Durus wa ‘Ibar, t. t. : Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, t. t.
- Shafiy al-Rahman al-Mubarakfury, Al-Rahiq al-Makhtum (terj.) Aunur rafiq Saleh, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 1998
PERGULATAN AKAL DAN TEKS DALAM EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
OLEH: M. LUBAB AL-MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa abad yang lalu, Rene Descartes mengatakan: “Cogito Ergo Sum” (kurang lebih berarti, aku berpikir maka aku ada). Ungkapan inilah yang kemudian menjadi spirit bagi perjalanan pemikirannya dan mampu mengantarnya menjadi seorang filsuf besar. Bahkan ungkapan tersebut pada hakikatnya telah menjadi spirit bagi sekian banyak, kalau tidak boleh dikatakan semua, filsuf-flisuf besar lainnya yang bermunculan baik sebelum maupun setelah Descartes. Persetubuhan ungkapan tersebut dengan pemikiran filsuf dari periode awal sampai kontemporer telah melahirkan “bayi” yang menjadi ksatria-ksatria bagi setiap zamannya. Spirit ini mengajarkan agar setiap manusia, khususnya para filsuf, selalu berproses untuk mencarai kebenaran, dan jangan sampai berhenti memikirkan, terutama hal-hal yang oleh kebanyakan manusia dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.
Dalam dunia filsafat, sebuah kebenaran akan terus mengalami falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar sehingga membentuk sebuah lingkaran ilmiah (scientific circle). Sehingga, kebenaran-kebenaran, dalam pandangan filsafat semuanya bersifat nisbi, yang suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa merubah secara radikal, menambahkan, melengkapi argumen yang ada, tambal-sulam, atau bahkan meruntuhkan sama sekali. Bagi filsuf, semua kebenan hanyalah menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge) yang suatu saat akan mengalami proses falsifikasi. Dengan bahasa yang sederhana, tidak akan ada kebenaran yang bersifat absolut dalam filsafat, karena bila seorang filsuf telah terjebak pada ‘kebenaran absolut’, maka percayalah, pada saat itu ia sesungguhnya sedang mengalami ‘sekarat’ dalam hal pemikiran filsafatnya.
Maka tidak heran, bila dalam filsafat, pikiran harus ditempatkan pada ruangan yang ‘steril’ dari berbagai asumsi dan apriori. Karena hanya dengan kondisi yang seperti itulah, pikiran manusia tidak akan pernah bisa dijebak dan dikurung dalam penjara yang bernama kebenaran absolut atau kemapanan (establishment); hal yang selalu akan menjadi musuh utama dunia filsafat. Apalagi kemapanan yang sifatnya dibuat-buat, seperti kemapanan yang dihasilkan dari perselingkuhan dunia kekuasaan dan dunia ilmiah, dimana dunia kekuasaan ikut bermain dalam wilayah ilmiah dengan melegitimasinya menjadi mazhab resmi bagi semua orang. Ketika sudah seperti ini, tentu kebenaran-kebenaran lain akan terpinggirkan dan bahkan mungkin ‘disembelih’, agar tidak mengganggu kebenaran yang telah dilegitimasi dan melembaga tersebut.
Pelembagaan kebenaran yang menjadi musuh utama filasafat ternyata sangat tampak marak dalam masalah agama, termasuk agama Islam. Pelembagaan ini bukan hanya mengenai ‘produk’-nya saja, tapi juga metodologi. Kita bisa mencatat, bahwa dalam pemikiran Islam, banyak sekali terjadi hal-hal yang menurut filsafat harus disebut sebagai sebuah ironi atau tragedi. Pada awal perkembangan pemikiran Islam pasca wafatnya Muhammad, kita bisa melihat beberapa aliran yang dianggap sesat, seperti Muktazilah, Khawarij, dan Jabariyah. Pelembagaan kebenaran dan penjustifikasian sesat terus mengalir seiring dengan perjalanan sejarah agama ini, bahkan sampai saat ini.
Di era sekarang kita bisa mencatat nama-nama seperti Rifa’at Bek al-Thahtawi, Thaha Husain, ‘Ali Abd al-Raziq, Mahmud Abu Rayya, Arkoun, Fazlurrahman, Nashr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, dan yang lainnya yang oleh mayoritas ulama dianggap sebagai ‘orang-orang sesat’. Untuk konteks mikro, di Indonesia, baru-baru ini kita melihat fenomena takfir atas Ulil Abshar Abdalla. Mereka itu semua yang dianggap sesat, tidak lain adalah orang-orang yang pada dasarnya sedang berusaha ‘menggeliat’ dari kungkungan kemapanan pemikiran yang ada. Mereka sedang berusaha untuk bersikap rasional ilmiah diantara hegemoni mazhab tektualis yang sampai saat ini masih menguasai.
Dengan adanya fenomena yang seperti itu, berarti ada perbedaan dalam pemikiran hukum Islam berkaitan dengan peran akal dan wahyu (baca: teks). Ada yang beranggapan bahwa akal berada dibawah teks yang merupakan wujud konkrit wahyu, dan ada pula yang beranggapan bahwa akal bisa melampaui apa yang tertulis dalam teks. Sehingga, permasalahannya pun sebetulnya sederhana: sejauh mana akal dapat bermain dihadapan teks, dan sebesar apa pengaruh teks menurut Islam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena akan sangat berpengaruh bagi hukum Islam, terutama berkaitan dengan kepastian hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUKTAZILAH VERSUS SUNNI: AWAL PERGULATAN
Persoalan-persoalan teologi, pada awal perkembangan Islam, telah memunculkan beragam aliran. Sebutlah nama-nama seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, sampai Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Meskipun munculnya aliran-aliran tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak pihak, berlatar belakang masalah politik, tapi bahwa mereka telah ikut meramaikan perdebatan dalam ilmu Kalam, adalah sebuah hal yang tak terpungkiri lagi. Diantara aliran-aliran tersebut, yang perlu untuk digali lebih jauh adalah Muktazilah dan Ahlu al-Sunnah. Karena dua aliran inilah yang telah secara serius berbicara tentang wahyu dan akal secara mendalam, yang pembicaran tersebut akhirnya berdampak pada masalah epistemologi hukum Islam.
Kaum Muktazilah adalah golongan yang dalam pembahasannya lebih mengutamakan akal dengan nuansa filsafat, sehingga lebih dikenal dengan sebutan kaum rasionalis. Sedemikian filosofisnya pemikiran mereka, sampai-sampai A. Hanafi mengatakan, bagi siapa yang ingin belajar filsafat Islam, harus menggali buku-buku yang dikarang oleh Muktazilah terlebih dahulu, sebelum menekuni buku filosof muslim lainnya. Diantara pemikiran terpenting Muktazilah yang kemudian berpengaruh pada pemikiran hukum Islam adalah pendapat bahwa Qur’an adalah makhluk, yang dijadikan oleh Tuhan pada waktu yang dibutuhkannya. Golongan ini sangat mengagungkan akal, sehingga kemudian berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui manusia tanpa wahyu, hanya dengan kekuatan akal saja. Begitu juga perbuatan baik dan buruk. Aliran ini pernah menjadi mazhab resmi negara pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun di tahun 827 M.
Bertentangan dengan aliran Muktazilah yang mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan berpikir manusia, muncul aliran yang melawannya: aliran Sunni, yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk yang bersifat hadits. Pada waktu itu, aliran Muktazilah tidak begitu banyak berpegang pada Sunnah atau tradisi, sehingga aliran yang berseberangan dengannya -- yang berpegang teguh pada Sunnah, kemudian disebut dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran ini pada akhirnya banyak mendapatkan tempat di hati kalangan rakyat biasa, karena kebanyakan rakyat awam tidak mampu memahami dan menyelami ajaran Muktazilah yang bersifat rasionil dan filosofis. Keadaan ini terus bertahan sampai pada akhirnya aliran Muktazilah hilang.
Menurut Harun Nasution, aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Muktazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali hanya dalam sejarah. Yang masih ada saekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariyah umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya memalui kebudayaan Yunani klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Muktazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan intelegensia Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neo-Muktazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.
B. AKAL DAN TEKS YANG TERUS BERGULAT
Kelompok yang dianggap sesat oleh kelompok mayoritas, tidak lain, karena mereka telah memasuki ‘wilayah-wilayah tabu’ yang menurut mayoritas tidak boleh untuk dijadikan obyek akal secara bebas. Mereka dianggap telah ‘menginjak-injak’ sakralitas dan keabsolutan teks. Sementara, mereka yang dianggap sesat, berpikiran bahwa kaum ‘pemuja teks’ yang menganggapnya sesat, adalah manusia-manusia yang tidak memanfaatkan anugerah paling berharga yang telah diberikan oleh-Nya, yaitu akal. Pemuja teks bukan hanya orang-orang yang tidak ‘mensyukuri’ anugerah akal, tapi, lebih jauh, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas ‘kematian’ peran agama dalam kehidupan modern, disebabkan oleh tindakannya yang telah ‘mematikan’ teks.
Akibat adanya perubahan kondisi sosial masyarakat, reformasi hukum Islam merupakan hal yang terelakkan dan menjadi sebuah tuntutan. J. N. D. Anderson mengatakan tiga kategori dalam tuntutan perubahan hukum Islam: pressure for a return to Islamic law, pressures for certain relaxation in the scope of Islamic law, dan pressure for a more radical approach to Islamic law as a whole. Dalam realisasinya, tuntutan perubahan hukum Islam ini, khususnya tekanan yang ketiga, menghasilkan epistemologi baru dalam hukum Islam, yang merupakan jawaban atas terlalu rigidnya epistemologi klasik yang diikuti oleh mayoritas ulama. Epistemologi baru tersebut sangat kental akan nuansa filsafat dan lebih memilih pendekatan rasional-ilmiah ketimbang pendekatan tekstual.
Dalam filsafat Islam, akal memang bukan tanpa batas sama sekali, karena ia masih harus berkompromi dengan teks, atau setidak-tidaknya, dengan Tuhan. Dr. Haidar Bagir, seorang pakar filsafat Islam, menyebut filsafat agama -- termasuk filsafat Islam -- sebagai filsafat yang percaya pada batas tertentu “independent reasoning”, sehingga produknya tetap tertransendensikan. Pelaku filsafat adalah akal, dan musuh (atau partner)-nya adalah hati. Sehingga, filsafat Islam, yang didasari oleh keimanan, harus bisa seimbang dalam menyikapi dua hal yang ‘bertentangan’ tersebut. Dengan kondisi yang seperti ini, filsafat Islam justru berada dalam problem besar yang terus berpolemik di dalamnya, yaitu tarik ulur antara akal yang harus independent di satu sisi, dan teks sebagai sesuatu yang harus diiimbangi di sisi yang lain. Pergumulan pada ‘wilayah dasar’ ini membawa akibat yang tidak kecil di ‘wilayah permukaan’, termasuk dalam masalah hukum sebagai salah satu bentuk ‘permukaan Islam’.
Mengenai posisi akal di depan teks dan peran teks atas akal dalam epistemologi hukum Islam, ada dua mainstream. Dua aliran ini, diakui atau tidak, muncul sebagai kelanjutan dari perdebatan antara aliran teologi Islam masa lalu, khususnya Sunni dan Muktazilah. Pemikiran kaum Sunni melahirkan model epistemologi hukum Islam yang bercirikan pengormatan atas teks, sehingga dalam epistemologi yang seperti ini, teks lebih dominan daripada akal. Aliran ini, selanjutnya lebih terkenal dengan sebutan aliran tekstualis. Sedangkan aliran Muktazilah melahirkan model epistemologi hukum Islam yang sangat menghormati akal, sehingga dalam epistemologi model seperti ini, akal berada diatas redaksi literal teks. Aliran ini, kemudian lebih sering disebut aliran rasionalis, atau, menurut beberapa orang, aliran liberal.
C. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB TEKSTUALIS
Sebagaimana telah disebutkan diatas, mazhab Tekstualis adalah mazhab yang ‘lahir’ dari aliran Sunni. Sunni meliputi empat mazhab besar dalam pemikiran hukum: Syafi’I, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Masing-masing aliran tersebut memang punya epistemologi hukum yang berbeda, tapi dalam hal memposisikan teks dan akal, secara umum, mereka punya pandangan sama. Pandangan ini terdokumentasikan dalam berbagai kitab ushul fikih, yang ditulis oleh ulama-ulama selama sekian abad dan jumlahnya ratusan, atau bahkan mungkin, ribuan jilid. Sehingga untuk melacak bagaimana pandangan aliran tekstualis ini terhadap posisi akal dan teks, tidak begitu sulit, karena telah didokumentasikan secara jelas dan sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih.
Persoalan teks mendapatkan perhatian khusus oleh para ahli ushul fikih dan dibahas dengan sangat detail. Secara umum, teks, bila dilihat dari segi keotentikannya, dibagi menjadi dua: qath’iy al-tsubut dan dzanniy al-tsubut. Qur’an adalah sumber hukum yang qathiy al-tsubut, artinya pasti otentitasnya. Sedangkan Sunnah sebagai sumber hukum ada dua, ada yang qath’iy al-tsubut dan ada pula yang dzanniy al-tsubut. Sunnah yang bersifat qath’iy al-tsubut adalah sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan sunnah yang dianggap dzanniy al-tsubut adalah sunnah yang dalam proses transmisinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Bila dilihat dari segi kejelasan penunjukan maksud, masing-masing teks Qur’an maupun Sunnah dibagi menjadi dua: qath’iy al-dalalah (penunjukannya bersifat pasti, fixed, dan strict) dan dzanniy al-dalalah (penunjukannya tidak bersifat pasti, karena ada beberapa ihtimal, sehingga membuka peluang penafsiran). Terhadap teks yang otensitas dan penunjukan maknanya bersifat pasti, maka wajib untuk melaksanakan apa kata teks. Lahirnya teks memang biasanya terkait dengan dengan suatu konteks tertentu, tapi dalam hal ini, teks harus dianggap sebagai bahasa undang-undang yang mengandung ‘kepastian hukum’, sehingga harus dilaksanakan apa adanya. Kaidah yang cukup terkenal sehubungan dengan ini adalah: al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdzi, la bi khusus al-sababi (yang diperhitungkan adalah lafalnya yang umum, bukan sebab yang sifatnya khusus).
Ijtihad hanya diperbolehkan atas teks yang mengandung dzanniy al-tsubut dan/atau dzanniy al-dalalah. Dalam kondisi yang seperti ini, akal baru berperan secara optimal. Tapi peran akal disini pun tetap ada batasannya, yaitu tidak boleh keluar dari semangat hukum teks-teks yang lain secara umum. Bahkan, Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang terkenal dengan gaya legisme, mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh lepas sama sekali dari teks, dan setiap pendapat hukum harus selalu ada dasar teksnya, baik langsung maupun tidak langsung – dengan qiyas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut epistemologi hukum Islam versi mazhab tekstualis, akal berada di bawah teks dan tidak boleh bersifat otonom. Bahkan dalam teks yang sifatnya qoth’iy al-tsubut dan qoth’iy al-dalalah, akal benar-benar harus kalah. Ia harus tunduk pada apa kata redaksi teks, meskipun rasio tidak bisa menerima. Contohnya adalah dalam ayat waris laki-laki perempuan yang jumlahnya adalah dua banding satu. Ketentuan tersebut harus tetap diikuti, meski akal saat ini tidak bisa menerimanya.
Pandangan yang seperti itu bukannya tanpa alasan filosofis sama sekali. Al-Ghazali, tokoh yang pernah berkecimpung dalam dunia filsafat dan ahli di bidang fikih, menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Dr. Said Ramadlan al-Bouti dalam disertasinya, bahwa apa yang dihasilkan oleh akal kebenarannya bersifat relatif, sedangkan nash (teks) kebenarannya bersifat mutlak, karena datangnya dari Al-Syari’ (pembuat hukum; Allah). Oleh karena itu, bila akal dan teks sampai berbenturan, akal harus dikalahkan dan teks harus dimenangkan.
Dalam mazhab tekstualis, akal memang berada di bawah teks, tapi bukan berarti akal kehabisan peranan. Hal ini karena, teks-teks yang sifatnya qathiy al-tsubut dan qathiy al-dalalah, jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan teks-teks yang yang tidak qath’iy. Bahkan dalam teks yang qath’iy pun akal sebenarnya masih berperan, yaitu dalam hal penerapan teks tersebut. Kesimpulan dari peran akal dan teks menurut mazhab tekstualis adalah bahwa akal mempunyai peranan sangat besar dalam epistemologi hukum Islam, tetapi dalam hal akal berhadapan dengan teks yang sifatnya qath’iy, akal harus tunduk sepenuhnya pada teks tersebut, demi kepastian hukum.
D. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB RASIONALIS
Pandangan-pandangan hukum yang lahir dari mazhab tekstualis, dalam perjalanannya sering dianggap terlalu rigid dan kaku, terutama ketika dihadapkan pada kehidupan dunia modern. Berangkat dari fenomena yang seperti ini, muncul epistemologi baru hukum Islam yang diusung oleh kaum moderat, yang diharapkan akan mampu menghasilkan hukum Islam yang lentur, ‘manusiawi’, humanis, dan egaliter. Berbeda dengan pandangan mazhab tekstualis yang mudah dilacak karena telah terdokumentasikan secara sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih, pandangan ‘baru’ tentang posisi akal dan teks dari aliran moderat yang rasionalis ini sukar untuk dilacak, karena masih tersebar dalam berbagai tulisan dan buku-buku. Sekedar sebagai gambaran, dalam makalah ini akan diungkapkan beberapa pandangan dari tokoh-tokoh, atau setidak-tidaknya, penganut aliran ini, yang, semoga, bisa dianggap sebagai representasi dari pandangan mazhab rasionalis ini.
Pandangan rasionalis sangat kental dengan nuansa filsafat, sehingga jelas mementingkan posisi akal. Aliran ini sangat menghendaki kebebasan akal manusia dalam penafsiran atas teks (wahyu), tidak peduli apakah teks tersebut qath’iy atau dzanniy. Karena, kebenaran adalah bersifat relatif, tergantung pada rasio. Ulil Abshar mengatakan, wahyu (teks) adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.
Lebih tegas lagi, Ali Harb, pemikir yang kental dengan filsafat postmodernisme, dalam kritik nalar (naqd al-‘aql)-nya mengatakan bahwa nalar adalah tabir (hijab), dimana nalar yang satu akan menutupi atau menghegemoni nalar yang lain. Nalar murni berarti melepaskan nalar intuisi dan empiris, nalar ilmiah menutupi nalar dongeng atau hikayat, nalar arab menutupi nalar bukan arab, nalar islami menutupi nalar bukan islami, nalar tauhid menutupi nalar atheisme, nalar barat menutupi nalar yang bukan barat, dan seterusnya. Dalam memandang teks, Ali Harb tidak membedakan antara teks Qur’an, Hadis, ataupun yang lain, karena sama-sama berbentuk bahasa yang disusun dalam realitas yang dialogis/dialektis dengan realitas dan sama-sama berpotensi mengandung penilaian, sehingga karenanya juga berpotensi menghijab nalar (kebenaran) yang tidak diungkap dalam teks tersebut. Padahal, nilai (kebenaran) yang tidak dimuat teks tersebut dikandung oleh teks lain.
Sedangkan Mohammed Arkoun, berpandangan bahwa agar hukum Islam lebih dinamis, maka harus ada dekonstruksi terhadap epistemologi abad pertengahan yang cenderung ortodok dan kental dengan dogmatisme. Berkaitan dengan teks, khususnya Qur’an, Arkoun berpandangan bahwa Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity). Baginya, lantaran As-Syafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal “yang tak terpikirkan”. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Pandangan Arkoun bahwa teks tunduk pada sejarah, mirip dengan pendapat Nashr Hamid Abu Zaid yang menganggap al-Qur’an sebagai produk peradaban (al-Muntaj al-Tsaqofiy). Pesan inti dari pandangan seperti ini adalah bahwa teks tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Sehingga, jika konteks dimana teks diturunkan sudah berbeda dengan konteks sekarang, maka ketentuan redaksi teks tersebut tidak harus ditaati. Bagi mazhab rasionalis, tidak ada perbedaan antara teks yang qoth’iy maupun yang tidak, redaksi dari keduanya sama-sama bisa disimpangi bila memang sudah tidak lagi sesuai dengan konteks saat ini. Yang tidak boleh disimpangi adalah ‘semangat hukum’ dari teks tersebut (seperti keadilan, kesetaraan, dll.). Untuk menentukan apakah suatu teks masih relevan dengan konteks saat ini dan apa ‘semangat hukum’ dari teks, kuncinya ada pada akal.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam epistemologi hukum Islam versi mazhab rasionalis, akal berada diatas teks. Akal akan menentukan berlaku atau tidaknya redaksi teks, baik itu yang qath’iy maupun dzanniy. Tapi bukan berarti teks dikesampingkan sama sekali, karena ada yang harus dipatuhi, yaitu ‘semangat hukum’ dari teks tersebut. Sehingga, karena tidak ada keharusan untuk patuh atas redaksi teks qath’iy, maka menurut mazhab ini, kebenaran bersifat relatif, tergantung pada alasan-alasan rasional yang diajukan.
E. ANALISIS
Bila diperbandingkan, baik epistemologi yang diajukan oleh mazhab Tekstualis maupun epistemologi yang dibagun oleh mazhab Rasionalis, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Epistemologi mazhab tekstualis yang memandang keharusberlakuan teks qath’iy, kelebihannya adalah adanya kepastian hukum (rechtszekerheid). Tapi epistemologi yang seperti ini, dalam beberapa hal, memang terkesan kaku dan kurang dinamis, yaitu dalam hal yang sudah dijelaskan secara tegas dan pasti oleh syara’ ketentuan hukumnya.
Sebenarnya kekakuan dari hukum yang dihasilkan dari epistemologi seperti itu, tidak bersifat mutlak, karena ternyata, dalam beberapa hal, epistemologi tersebut juga mengakui pengaruh konteks atas teks, seperti yang tercermin dalam kaidah mereka: taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah (berubahnya hukum karena perubahan tempat dan waktu). Tapi pemberlakuan kaidah ini ada batasannya yang sangat jelas, tidak bebas sama sekali. Karena itu, sejatinya, hukum yang dihasilkan dari epistemologi tersebut, dalam beberapa hal, akan mengikuti laju peradaban dan kebudayaan manusia, tapi, dalam beberapa hal yang lain, redaksi teks berlaku mutlak, sehingga peradaban atau kebudayaan harus tunduk padanya.
Sedangkan mazhab rasionalis yang berpandangan bahwa akal berada diatas teks, kelebihannya adalah adanya hukum Islam yang dinamis, humanis, emansipatoris, egaliter, dan tidak akan pernah lapuk bila dihadapkan dengan modernitas dan dunia Barat. Namun, epistemologi mazhab ini juga ada kekurangannya, kalau tidak boleh dikatakan banyak, yaitu tidak adanya ketegasan dan kepastian hukum. Hukum Islam akan tunduk dengan peradaban, atau bahkan, bisa jadi, hukum Islam akan ‘diseret’ oleh laju peradaban ke arah yang tidak jelas batasannya. Hal ini karena, dalam epistemologi yang mereka bangun tidak ada ketentuan tegas kapan peradaban harus tunduk pada teks hukum, dan kapan teks hukum dapat berkompromi dengan realitas, sehingga fungsi kontrol sosial hukum Islam bisa dikatakan nihil.
Bila sudah seperti ini, hukum Islam sebagai sebuah bangunan ‘sistem hukum’ akan runtuh tinggal puing-puing. Tapi memang runtuhnya ‘sistem hukum Islam’ ini bukanlah hal yang menakutkan bagi para pengusung epistemologi mazhab ini, karena, menurut mereka, yang terpenting dari Islam bukan hukumnya, melainkan pesan-pesan moral. Mereka lebih senang untuk memandang Islam sebagai ‘agama moral’ daripada melihatnya sebagai ‘agama hukum’. Maka dari itulah, epistemologi yang seperti mereka bangun ini, bila dilihat dari konsekuensi yang mungkin timbul, terlalu berbahaya untuk dimainkan dalam pembentukan hukum Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam rangka pengembangan hukum Islam, epistemologi hukum Islam yang terbaik untuk digunakan, sampai saat ini, adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis. Epistemologi model inilah yang telah diikuti oleh mayoritas ulama selama sekian abad lamanya. Sekilas, epistemologi yang lebih mendahulukan teks daripada akal ini memang terkesan rigid dan kaku, tapi itu jauh lebih baik dari epistemologi yang mengakibatkan kekacauan dan ketidakpastian hukum Islam. Epistemologi mazhab rasionalis, meskipun sepintas kelihatannya fleksibel, humanis, dan sangat ‘manusiawi’, tapi, bila dicermati secara mendalam, akan membawa konsekuensi yang sangat berbahaya bagi hukum Islam; hukum Islam sebagai sebuah ‘sistem hukum’ bisa runtuh dan porak poranda karenanya.
Untuk menanggapi kenyataan bahwa masyarakat sudah banyak mengalami perubahan dan banyak yang menjauh dari ‘rel syari’at’, solusi yang terbaik bukanlah dengan cara menyesuaikan hukum Islam secara bebas dengan kondisi tersebut, karena perubahan tersebut disebabkan oleh sikap umat muslim sendiri yang dalam mengamalkan agamanya tidak secara utuh, tapi sebagian-sebagian. Dalam beberapa hal, hukum Islam tetap harus tegas dan kokoh -- dan masyarakat muslim harus tunduk padanya, tapi dalam beberapa hal yang lain, hukum Islam boleh untuk lentur -- mengikuti perubahan masyarakat tersebut. Epistemologi yang mampu melahirkan hukum Islam yang demikian adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis, bukan epistemologi mazhab rasionalis yang tidak jelas batasannya.
‘Semangat hukum’ dari semua sistem hukum yang ada di dunia ini bisa dikatakan mirip, kalau tidak sama persis. Tapi, sistem hukum tersebut pada akhirnya harus dikatakan berbeda, karena dalam merelisasikan ‘semangat hukum’ tersebut memang mereka tidak sama. Contohnya, sistem hukum pidana Islam dan sistem hukum pidana barat punya ‘semangat hukum’ yang sama, yaitu sama-sama menghendaki keadilan dan ketertiban umum. Tapi dalam merealisasikan ‘semangat hukum’ tersebut, keduanya berbeda. Sistem hukum pidana Islam melarang zina (karena dianggap menganggu moral publik), sedangkan sistem hukum pidana barat melegalkannya asalkan dilakukan suka sama suka (karena tidak dianggap menganggu ketertiban). Apabila epistemologi hukum mazhab rasionalis digunakan, maka batas tegas antara sistem hukum Islam dan sistem hukum lainnya akan menjadi kabur, atau bahkan hilang sama sekali, akibat tidak adanya kepastian dan ketegasan ketentuan hukum.
Akal memang harus dioptimalkan penggunaannya, tapi bukan dengan cara ‘memperkosa’ teks, karena akal bukanlah satu-satunya sumber kebenaran. Sebagai penutup, ada baiknya kita ingat kembali pesan filosof Muslim masa lalu, Ibnu Sina yang mengatakan: “The human being is incapable of understanding the truth of things. They only know the khawaas (propers), aarad (accidents), and lawazim (corollaries), but not the corrective measures for it. Alla they know is that they are khawaas and aarad”. Maka, sangat perlu bagi kita untuk kembali pada kebenaran sesungguhnya dari wahyu, bukan kebenaran yang dipaksa-paksakan melalui cara-cara, yang memang terkadang, rasional dan ilmiah, tapi sejatinya akan membahayakan Islam.
Disinilah kejujuran kita dituntut…..
DAFTAR PUSTAKA
- Listiyono Santoso, Sunarto dkk., Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003
- Prof. Dr. Ahamad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003
- Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthiy, Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut: Mua’ssasah al-Risalah, 1986
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: Hukmuhu, Syara’ithuhu, Hujjiatuhu, Aqsamuhu, Atsaruhu, makalah dari www.bouti.com
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-‘Ilmu wa Mada Hurriyat al-Bahtsi al-‘Ilmiy fi al-Islam, makalah dari www.bouti.com
- Akhmad Minhaji, Modern Trend in Islamic Law, Notes on J. N. D. Anderson’s Life and Thought, dalam Al-Jami’ah Jornal of Islamic Studies Vol 39, Yogyakarta: IAIN, 2001
- Dr. S. Ali Shahrestani, The Crisis of Contemporary Civilization and the Prospects for Salvation, dalam Islamic University Quartely Academic Jornal Vol. (1) No (2), London: International Colleges of Islamic Science, 1994
- Dr. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perkembangan, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, t. t.
- A. Hanafi, MA., Pengantar Theology Islam, Jakarta: Djajamurni, t. t.
- Abdul Karim Tatan dan Muhammad Adib al-Kailany, ‘Aun al-Murid li Syarh Jauharat al-Tauhid fi ‘Aqidat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, Damascus: Dar al-Basya’ir, 1999
- Dr. Haidar Bagir, Akal adalah Rasul dalam Diri Manusia, artikel dalam www.islamlib.com
- Ulil Abshar Abdalla, Agama, Akal, dan Kebebasan, artikel dari www.islamlib.com
- M. Kholidul Adib Ach, Menggugat Teks dan Kebenaran Agama, Analisa Pemikiran Ali Harb tentang Relativitas Kebenaran Agama, artikel dari www.islamlib.com
- Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara Membaca Al-Qur’an, artikel dari www.islamlib.com
- Pradana Boy ZTF, Dimensi Filsafat dalam Wahyu, artikel dari www.islamlib.com
OLEH: M. LUBAB AL-MUBAHITSIN
[[ GENERAL DIRECTION: Diperbolehkan untuk mengambil, meng-copy, mengutip, dan menyebarluaskan tulisan ini, dengan syarat mencantumkan nama penulisnya. Ini adalah wujud pertanggungjawaban ilmiah dari pengutip maupun saya pribadi, terutama seandainya ada pihak yang tidak setuju atau meminta pertanggungjawaban berkaitan dengan materi tulisan. Kepada pembaca dipersilahkan untuk memberikan comment, sanggahan, dukungan, pertanyaan lebih lanjut, atau respon apapun ke mas_lubab@yahoo.com atau ke nomor HP saya: 085 227 999 555. Insya Allah seluruh komentar atau pertanyaan akan saya tanggapi. Untuk komentator/penanya yang minta dirahasiakan identitasnya, saya akan menjamin kerahasiaannya secara amanah dan profesional. ]]
BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa abad yang lalu, Rene Descartes mengatakan: “Cogito Ergo Sum” (kurang lebih berarti, aku berpikir maka aku ada). Ungkapan inilah yang kemudian menjadi spirit bagi perjalanan pemikirannya dan mampu mengantarnya menjadi seorang filsuf besar. Bahkan ungkapan tersebut pada hakikatnya telah menjadi spirit bagi sekian banyak, kalau tidak boleh dikatakan semua, filsuf-flisuf besar lainnya yang bermunculan baik sebelum maupun setelah Descartes. Persetubuhan ungkapan tersebut dengan pemikiran filsuf dari periode awal sampai kontemporer telah melahirkan “bayi” yang menjadi ksatria-ksatria bagi setiap zamannya. Spirit ini mengajarkan agar setiap manusia, khususnya para filsuf, selalu berproses untuk mencarai kebenaran, dan jangan sampai berhenti memikirkan, terutama hal-hal yang oleh kebanyakan manusia dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.
Dalam dunia filsafat, sebuah kebenaran akan terus mengalami falsifikasi yang pada dasarnya terus melingkar sehingga membentuk sebuah lingkaran ilmiah (scientific circle). Sehingga, kebenaran-kebenaran, dalam pandangan filsafat semuanya bersifat nisbi, yang suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa merubah secara radikal, menambahkan, melengkapi argumen yang ada, tambal-sulam, atau bahkan meruntuhkan sama sekali. Bagi filsuf, semua kebenan hanyalah menjadi kebenaran sementara (hypo-knowledge) yang suatu saat akan mengalami proses falsifikasi. Dengan bahasa yang sederhana, tidak akan ada kebenaran yang bersifat absolut dalam filsafat, karena bila seorang filsuf telah terjebak pada ‘kebenaran absolut’, maka percayalah, pada saat itu ia sesungguhnya sedang mengalami ‘sekarat’ dalam hal pemikiran filsafatnya.
Maka tidak heran, bila dalam filsafat, pikiran harus ditempatkan pada ruangan yang ‘steril’ dari berbagai asumsi dan apriori. Karena hanya dengan kondisi yang seperti itulah, pikiran manusia tidak akan pernah bisa dijebak dan dikurung dalam penjara yang bernama kebenaran absolut atau kemapanan (establishment); hal yang selalu akan menjadi musuh utama dunia filsafat. Apalagi kemapanan yang sifatnya dibuat-buat, seperti kemapanan yang dihasilkan dari perselingkuhan dunia kekuasaan dan dunia ilmiah, dimana dunia kekuasaan ikut bermain dalam wilayah ilmiah dengan melegitimasinya menjadi mazhab resmi bagi semua orang. Ketika sudah seperti ini, tentu kebenaran-kebenaran lain akan terpinggirkan dan bahkan mungkin ‘disembelih’, agar tidak mengganggu kebenaran yang telah dilegitimasi dan melembaga tersebut.
Pelembagaan kebenaran yang menjadi musuh utama filasafat ternyata sangat tampak marak dalam masalah agama, termasuk agama Islam. Pelembagaan ini bukan hanya mengenai ‘produk’-nya saja, tapi juga metodologi. Kita bisa mencatat, bahwa dalam pemikiran Islam, banyak sekali terjadi hal-hal yang menurut filsafat harus disebut sebagai sebuah ironi atau tragedi. Pada awal perkembangan pemikiran Islam pasca wafatnya Muhammad, kita bisa melihat beberapa aliran yang dianggap sesat, seperti Muktazilah, Khawarij, dan Jabariyah. Pelembagaan kebenaran dan penjustifikasian sesat terus mengalir seiring dengan perjalanan sejarah agama ini, bahkan sampai saat ini.
Di era sekarang kita bisa mencatat nama-nama seperti Rifa’at Bek al-Thahtawi, Thaha Husain, ‘Ali Abd al-Raziq, Mahmud Abu Rayya, Arkoun, Fazlurrahman, Nashr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, dan yang lainnya yang oleh mayoritas ulama dianggap sebagai ‘orang-orang sesat’. Untuk konteks mikro, di Indonesia, baru-baru ini kita melihat fenomena takfir atas Ulil Abshar Abdalla. Mereka itu semua yang dianggap sesat, tidak lain adalah orang-orang yang pada dasarnya sedang berusaha ‘menggeliat’ dari kungkungan kemapanan pemikiran yang ada. Mereka sedang berusaha untuk bersikap rasional ilmiah diantara hegemoni mazhab tektualis yang sampai saat ini masih menguasai.
Dengan adanya fenomena yang seperti itu, berarti ada perbedaan dalam pemikiran hukum Islam berkaitan dengan peran akal dan wahyu (baca: teks). Ada yang beranggapan bahwa akal berada dibawah teks yang merupakan wujud konkrit wahyu, dan ada pula yang beranggapan bahwa akal bisa melampaui apa yang tertulis dalam teks. Sehingga, permasalahannya pun sebetulnya sederhana: sejauh mana akal dapat bermain dihadapan teks, dan sebesar apa pengaruh teks menurut Islam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena akan sangat berpengaruh bagi hukum Islam, terutama berkaitan dengan kepastian hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUKTAZILAH VERSUS SUNNI: AWAL PERGULATAN
Persoalan-persoalan teologi, pada awal perkembangan Islam, telah memunculkan beragam aliran. Sebutlah nama-nama seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, sampai Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Meskipun munculnya aliran-aliran tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak pihak, berlatar belakang masalah politik, tapi bahwa mereka telah ikut meramaikan perdebatan dalam ilmu Kalam, adalah sebuah hal yang tak terpungkiri lagi. Diantara aliran-aliran tersebut, yang perlu untuk digali lebih jauh adalah Muktazilah dan Ahlu al-Sunnah. Karena dua aliran inilah yang telah secara serius berbicara tentang wahyu dan akal secara mendalam, yang pembicaran tersebut akhirnya berdampak pada masalah epistemologi hukum Islam.
Kaum Muktazilah adalah golongan yang dalam pembahasannya lebih mengutamakan akal dengan nuansa filsafat, sehingga lebih dikenal dengan sebutan kaum rasionalis. Sedemikian filosofisnya pemikiran mereka, sampai-sampai A. Hanafi mengatakan, bagi siapa yang ingin belajar filsafat Islam, harus menggali buku-buku yang dikarang oleh Muktazilah terlebih dahulu, sebelum menekuni buku filosof muslim lainnya. Diantara pemikiran terpenting Muktazilah yang kemudian berpengaruh pada pemikiran hukum Islam adalah pendapat bahwa Qur’an adalah makhluk, yang dijadikan oleh Tuhan pada waktu yang dibutuhkannya. Golongan ini sangat mengagungkan akal, sehingga kemudian berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui manusia tanpa wahyu, hanya dengan kekuatan akal saja. Begitu juga perbuatan baik dan buruk. Aliran ini pernah menjadi mazhab resmi negara pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun di tahun 827 M.
Bertentangan dengan aliran Muktazilah yang mengedepankan kemerdekaan dan kebebasan berpikir manusia, muncul aliran yang melawannya: aliran Sunni, yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk yang bersifat hadits. Pada waktu itu, aliran Muktazilah tidak begitu banyak berpegang pada Sunnah atau tradisi, sehingga aliran yang berseberangan dengannya -- yang berpegang teguh pada Sunnah, kemudian disebut dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran ini pada akhirnya banyak mendapatkan tempat di hati kalangan rakyat biasa, karena kebanyakan rakyat awam tidak mampu memahami dan menyelami ajaran Muktazilah yang bersifat rasionil dan filosofis. Keadaan ini terus bertahan sampai pada akhirnya aliran Muktazilah hilang.
Menurut Harun Nasution, aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Muktazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali hanya dalam sejarah. Yang masih ada saekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariyah umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya memalui kebudayaan Yunani klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Muktazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan intelegensia Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neo-Muktazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.
B. AKAL DAN TEKS YANG TERUS BERGULAT
Kelompok yang dianggap sesat oleh kelompok mayoritas, tidak lain, karena mereka telah memasuki ‘wilayah-wilayah tabu’ yang menurut mayoritas tidak boleh untuk dijadikan obyek akal secara bebas. Mereka dianggap telah ‘menginjak-injak’ sakralitas dan keabsolutan teks. Sementara, mereka yang dianggap sesat, berpikiran bahwa kaum ‘pemuja teks’ yang menganggapnya sesat, adalah manusia-manusia yang tidak memanfaatkan anugerah paling berharga yang telah diberikan oleh-Nya, yaitu akal. Pemuja teks bukan hanya orang-orang yang tidak ‘mensyukuri’ anugerah akal, tapi, lebih jauh, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab atas ‘kematian’ peran agama dalam kehidupan modern, disebabkan oleh tindakannya yang telah ‘mematikan’ teks.
Akibat adanya perubahan kondisi sosial masyarakat, reformasi hukum Islam merupakan hal yang terelakkan dan menjadi sebuah tuntutan. J. N. D. Anderson mengatakan tiga kategori dalam tuntutan perubahan hukum Islam: pressure for a return to Islamic law, pressures for certain relaxation in the scope of Islamic law, dan pressure for a more radical approach to Islamic law as a whole. Dalam realisasinya, tuntutan perubahan hukum Islam ini, khususnya tekanan yang ketiga, menghasilkan epistemologi baru dalam hukum Islam, yang merupakan jawaban atas terlalu rigidnya epistemologi klasik yang diikuti oleh mayoritas ulama. Epistemologi baru tersebut sangat kental akan nuansa filsafat dan lebih memilih pendekatan rasional-ilmiah ketimbang pendekatan tekstual.
Dalam filsafat Islam, akal memang bukan tanpa batas sama sekali, karena ia masih harus berkompromi dengan teks, atau setidak-tidaknya, dengan Tuhan. Dr. Haidar Bagir, seorang pakar filsafat Islam, menyebut filsafat agama -- termasuk filsafat Islam -- sebagai filsafat yang percaya pada batas tertentu “independent reasoning”, sehingga produknya tetap tertransendensikan. Pelaku filsafat adalah akal, dan musuh (atau partner)-nya adalah hati. Sehingga, filsafat Islam, yang didasari oleh keimanan, harus bisa seimbang dalam menyikapi dua hal yang ‘bertentangan’ tersebut. Dengan kondisi yang seperti ini, filsafat Islam justru berada dalam problem besar yang terus berpolemik di dalamnya, yaitu tarik ulur antara akal yang harus independent di satu sisi, dan teks sebagai sesuatu yang harus diiimbangi di sisi yang lain. Pergumulan pada ‘wilayah dasar’ ini membawa akibat yang tidak kecil di ‘wilayah permukaan’, termasuk dalam masalah hukum sebagai salah satu bentuk ‘permukaan Islam’.
Mengenai posisi akal di depan teks dan peran teks atas akal dalam epistemologi hukum Islam, ada dua mainstream. Dua aliran ini, diakui atau tidak, muncul sebagai kelanjutan dari perdebatan antara aliran teologi Islam masa lalu, khususnya Sunni dan Muktazilah. Pemikiran kaum Sunni melahirkan model epistemologi hukum Islam yang bercirikan pengormatan atas teks, sehingga dalam epistemologi yang seperti ini, teks lebih dominan daripada akal. Aliran ini, selanjutnya lebih terkenal dengan sebutan aliran tekstualis. Sedangkan aliran Muktazilah melahirkan model epistemologi hukum Islam yang sangat menghormati akal, sehingga dalam epistemologi model seperti ini, akal berada diatas redaksi literal teks. Aliran ini, kemudian lebih sering disebut aliran rasionalis, atau, menurut beberapa orang, aliran liberal.
C. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB TEKSTUALIS
Sebagaimana telah disebutkan diatas, mazhab Tekstualis adalah mazhab yang ‘lahir’ dari aliran Sunni. Sunni meliputi empat mazhab besar dalam pemikiran hukum: Syafi’I, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Masing-masing aliran tersebut memang punya epistemologi hukum yang berbeda, tapi dalam hal memposisikan teks dan akal, secara umum, mereka punya pandangan sama. Pandangan ini terdokumentasikan dalam berbagai kitab ushul fikih, yang ditulis oleh ulama-ulama selama sekian abad dan jumlahnya ratusan, atau bahkan mungkin, ribuan jilid. Sehingga untuk melacak bagaimana pandangan aliran tekstualis ini terhadap posisi akal dan teks, tidak begitu sulit, karena telah didokumentasikan secara jelas dan sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih.
Persoalan teks mendapatkan perhatian khusus oleh para ahli ushul fikih dan dibahas dengan sangat detail. Secara umum, teks, bila dilihat dari segi keotentikannya, dibagi menjadi dua: qath’iy al-tsubut dan dzanniy al-tsubut. Qur’an adalah sumber hukum yang qathiy al-tsubut, artinya pasti otentitasnya. Sedangkan Sunnah sebagai sumber hukum ada dua, ada yang qath’iy al-tsubut dan ada pula yang dzanniy al-tsubut. Sunnah yang bersifat qath’iy al-tsubut adalah sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan sunnah yang dianggap dzanniy al-tsubut adalah sunnah yang dalam proses transmisinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Bila dilihat dari segi kejelasan penunjukan maksud, masing-masing teks Qur’an maupun Sunnah dibagi menjadi dua: qath’iy al-dalalah (penunjukannya bersifat pasti, fixed, dan strict) dan dzanniy al-dalalah (penunjukannya tidak bersifat pasti, karena ada beberapa ihtimal, sehingga membuka peluang penafsiran). Terhadap teks yang otensitas dan penunjukan maknanya bersifat pasti, maka wajib untuk melaksanakan apa kata teks. Lahirnya teks memang biasanya terkait dengan dengan suatu konteks tertentu, tapi dalam hal ini, teks harus dianggap sebagai bahasa undang-undang yang mengandung ‘kepastian hukum’, sehingga harus dilaksanakan apa adanya. Kaidah yang cukup terkenal sehubungan dengan ini adalah: al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdzi, la bi khusus al-sababi (yang diperhitungkan adalah lafalnya yang umum, bukan sebab yang sifatnya khusus).
Ijtihad hanya diperbolehkan atas teks yang mengandung dzanniy al-tsubut dan/atau dzanniy al-dalalah. Dalam kondisi yang seperti ini, akal baru berperan secara optimal. Tapi peran akal disini pun tetap ada batasannya, yaitu tidak boleh keluar dari semangat hukum teks-teks yang lain secara umum. Bahkan, Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang terkenal dengan gaya legisme, mengatakan bahwa ijtihad tidak boleh lepas sama sekali dari teks, dan setiap pendapat hukum harus selalu ada dasar teksnya, baik langsung maupun tidak langsung – dengan qiyas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut epistemologi hukum Islam versi mazhab tekstualis, akal berada di bawah teks dan tidak boleh bersifat otonom. Bahkan dalam teks yang sifatnya qoth’iy al-tsubut dan qoth’iy al-dalalah, akal benar-benar harus kalah. Ia harus tunduk pada apa kata redaksi teks, meskipun rasio tidak bisa menerima. Contohnya adalah dalam ayat waris laki-laki perempuan yang jumlahnya adalah dua banding satu. Ketentuan tersebut harus tetap diikuti, meski akal saat ini tidak bisa menerimanya.
Pandangan yang seperti itu bukannya tanpa alasan filosofis sama sekali. Al-Ghazali, tokoh yang pernah berkecimpung dalam dunia filsafat dan ahli di bidang fikih, menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Dr. Said Ramadlan al-Bouti dalam disertasinya, bahwa apa yang dihasilkan oleh akal kebenarannya bersifat relatif, sedangkan nash (teks) kebenarannya bersifat mutlak, karena datangnya dari Al-Syari’ (pembuat hukum; Allah). Oleh karena itu, bila akal dan teks sampai berbenturan, akal harus dikalahkan dan teks harus dimenangkan.
Dalam mazhab tekstualis, akal memang berada di bawah teks, tapi bukan berarti akal kehabisan peranan. Hal ini karena, teks-teks yang sifatnya qathiy al-tsubut dan qathiy al-dalalah, jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan teks-teks yang yang tidak qath’iy. Bahkan dalam teks yang qath’iy pun akal sebenarnya masih berperan, yaitu dalam hal penerapan teks tersebut. Kesimpulan dari peran akal dan teks menurut mazhab tekstualis adalah bahwa akal mempunyai peranan sangat besar dalam epistemologi hukum Islam, tetapi dalam hal akal berhadapan dengan teks yang sifatnya qath’iy, akal harus tunduk sepenuhnya pada teks tersebut, demi kepastian hukum.
D. AKAL DAN TEKS MENURUT MAZHAB RASIONALIS
Pandangan-pandangan hukum yang lahir dari mazhab tekstualis, dalam perjalanannya sering dianggap terlalu rigid dan kaku, terutama ketika dihadapkan pada kehidupan dunia modern. Berangkat dari fenomena yang seperti ini, muncul epistemologi baru hukum Islam yang diusung oleh kaum moderat, yang diharapkan akan mampu menghasilkan hukum Islam yang lentur, ‘manusiawi’, humanis, dan egaliter. Berbeda dengan pandangan mazhab tekstualis yang mudah dilacak karena telah terdokumentasikan secara sistematis dalam kitab-kitab ushul fikih, pandangan ‘baru’ tentang posisi akal dan teks dari aliran moderat yang rasionalis ini sukar untuk dilacak, karena masih tersebar dalam berbagai tulisan dan buku-buku. Sekedar sebagai gambaran, dalam makalah ini akan diungkapkan beberapa pandangan dari tokoh-tokoh, atau setidak-tidaknya, penganut aliran ini, yang, semoga, bisa dianggap sebagai representasi dari pandangan mazhab rasionalis ini.
Pandangan rasionalis sangat kental dengan nuansa filsafat, sehingga jelas mementingkan posisi akal. Aliran ini sangat menghendaki kebebasan akal manusia dalam penafsiran atas teks (wahyu), tidak peduli apakah teks tersebut qath’iy atau dzanniy. Karena, kebenaran adalah bersifat relatif, tergantung pada rasio. Ulil Abshar mengatakan, wahyu (teks) adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.
Lebih tegas lagi, Ali Harb, pemikir yang kental dengan filsafat postmodernisme, dalam kritik nalar (naqd al-‘aql)-nya mengatakan bahwa nalar adalah tabir (hijab), dimana nalar yang satu akan menutupi atau menghegemoni nalar yang lain. Nalar murni berarti melepaskan nalar intuisi dan empiris, nalar ilmiah menutupi nalar dongeng atau hikayat, nalar arab menutupi nalar bukan arab, nalar islami menutupi nalar bukan islami, nalar tauhid menutupi nalar atheisme, nalar barat menutupi nalar yang bukan barat, dan seterusnya. Dalam memandang teks, Ali Harb tidak membedakan antara teks Qur’an, Hadis, ataupun yang lain, karena sama-sama berbentuk bahasa yang disusun dalam realitas yang dialogis/dialektis dengan realitas dan sama-sama berpotensi mengandung penilaian, sehingga karenanya juga berpotensi menghijab nalar (kebenaran) yang tidak diungkap dalam teks tersebut. Padahal, nilai (kebenaran) yang tidak dimuat teks tersebut dikandung oleh teks lain.
Sedangkan Mohammed Arkoun, berpandangan bahwa agar hukum Islam lebih dinamis, maka harus ada dekonstruksi terhadap epistemologi abad pertengahan yang cenderung ortodok dan kental dengan dogmatisme. Berkaitan dengan teks, khususnya Qur’an, Arkoun berpandangan bahwa Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity). Baginya, lantaran As-Syafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal “yang tak terpikirkan”. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Pandangan Arkoun bahwa teks tunduk pada sejarah, mirip dengan pendapat Nashr Hamid Abu Zaid yang menganggap al-Qur’an sebagai produk peradaban (al-Muntaj al-Tsaqofiy). Pesan inti dari pandangan seperti ini adalah bahwa teks tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari konteksnya. Sehingga, jika konteks dimana teks diturunkan sudah berbeda dengan konteks sekarang, maka ketentuan redaksi teks tersebut tidak harus ditaati. Bagi mazhab rasionalis, tidak ada perbedaan antara teks yang qoth’iy maupun yang tidak, redaksi dari keduanya sama-sama bisa disimpangi bila memang sudah tidak lagi sesuai dengan konteks saat ini. Yang tidak boleh disimpangi adalah ‘semangat hukum’ dari teks tersebut (seperti keadilan, kesetaraan, dll.). Untuk menentukan apakah suatu teks masih relevan dengan konteks saat ini dan apa ‘semangat hukum’ dari teks, kuncinya ada pada akal.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam epistemologi hukum Islam versi mazhab rasionalis, akal berada diatas teks. Akal akan menentukan berlaku atau tidaknya redaksi teks, baik itu yang qath’iy maupun dzanniy. Tapi bukan berarti teks dikesampingkan sama sekali, karena ada yang harus dipatuhi, yaitu ‘semangat hukum’ dari teks tersebut. Sehingga, karena tidak ada keharusan untuk patuh atas redaksi teks qath’iy, maka menurut mazhab ini, kebenaran bersifat relatif, tergantung pada alasan-alasan rasional yang diajukan.
E. ANALISIS
Bila diperbandingkan, baik epistemologi yang diajukan oleh mazhab Tekstualis maupun epistemologi yang dibagun oleh mazhab Rasionalis, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Epistemologi mazhab tekstualis yang memandang keharusberlakuan teks qath’iy, kelebihannya adalah adanya kepastian hukum (rechtszekerheid). Tapi epistemologi yang seperti ini, dalam beberapa hal, memang terkesan kaku dan kurang dinamis, yaitu dalam hal yang sudah dijelaskan secara tegas dan pasti oleh syara’ ketentuan hukumnya.
Sebenarnya kekakuan dari hukum yang dihasilkan dari epistemologi seperti itu, tidak bersifat mutlak, karena ternyata, dalam beberapa hal, epistemologi tersebut juga mengakui pengaruh konteks atas teks, seperti yang tercermin dalam kaidah mereka: taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah (berubahnya hukum karena perubahan tempat dan waktu). Tapi pemberlakuan kaidah ini ada batasannya yang sangat jelas, tidak bebas sama sekali. Karena itu, sejatinya, hukum yang dihasilkan dari epistemologi tersebut, dalam beberapa hal, akan mengikuti laju peradaban dan kebudayaan manusia, tapi, dalam beberapa hal yang lain, redaksi teks berlaku mutlak, sehingga peradaban atau kebudayaan harus tunduk padanya.
Sedangkan mazhab rasionalis yang berpandangan bahwa akal berada diatas teks, kelebihannya adalah adanya hukum Islam yang dinamis, humanis, emansipatoris, egaliter, dan tidak akan pernah lapuk bila dihadapkan dengan modernitas dan dunia Barat. Namun, epistemologi mazhab ini juga ada kekurangannya, kalau tidak boleh dikatakan banyak, yaitu tidak adanya ketegasan dan kepastian hukum. Hukum Islam akan tunduk dengan peradaban, atau bahkan, bisa jadi, hukum Islam akan ‘diseret’ oleh laju peradaban ke arah yang tidak jelas batasannya. Hal ini karena, dalam epistemologi yang mereka bangun tidak ada ketentuan tegas kapan peradaban harus tunduk pada teks hukum, dan kapan teks hukum dapat berkompromi dengan realitas, sehingga fungsi kontrol sosial hukum Islam bisa dikatakan nihil.
Bila sudah seperti ini, hukum Islam sebagai sebuah bangunan ‘sistem hukum’ akan runtuh tinggal puing-puing. Tapi memang runtuhnya ‘sistem hukum Islam’ ini bukanlah hal yang menakutkan bagi para pengusung epistemologi mazhab ini, karena, menurut mereka, yang terpenting dari Islam bukan hukumnya, melainkan pesan-pesan moral. Mereka lebih senang untuk memandang Islam sebagai ‘agama moral’ daripada melihatnya sebagai ‘agama hukum’. Maka dari itulah, epistemologi yang seperti mereka bangun ini, bila dilihat dari konsekuensi yang mungkin timbul, terlalu berbahaya untuk dimainkan dalam pembentukan hukum Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam rangka pengembangan hukum Islam, epistemologi hukum Islam yang terbaik untuk digunakan, sampai saat ini, adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis. Epistemologi model inilah yang telah diikuti oleh mayoritas ulama selama sekian abad lamanya. Sekilas, epistemologi yang lebih mendahulukan teks daripada akal ini memang terkesan rigid dan kaku, tapi itu jauh lebih baik dari epistemologi yang mengakibatkan kekacauan dan ketidakpastian hukum Islam. Epistemologi mazhab rasionalis, meskipun sepintas kelihatannya fleksibel, humanis, dan sangat ‘manusiawi’, tapi, bila dicermati secara mendalam, akan membawa konsekuensi yang sangat berbahaya bagi hukum Islam; hukum Islam sebagai sebuah ‘sistem hukum’ bisa runtuh dan porak poranda karenanya.
Untuk menanggapi kenyataan bahwa masyarakat sudah banyak mengalami perubahan dan banyak yang menjauh dari ‘rel syari’at’, solusi yang terbaik bukanlah dengan cara menyesuaikan hukum Islam secara bebas dengan kondisi tersebut, karena perubahan tersebut disebabkan oleh sikap umat muslim sendiri yang dalam mengamalkan agamanya tidak secara utuh, tapi sebagian-sebagian. Dalam beberapa hal, hukum Islam tetap harus tegas dan kokoh -- dan masyarakat muslim harus tunduk padanya, tapi dalam beberapa hal yang lain, hukum Islam boleh untuk lentur -- mengikuti perubahan masyarakat tersebut. Epistemologi yang mampu melahirkan hukum Islam yang demikian adalah epistemologi yang ditawarkan oleh mazhab tekstualis, bukan epistemologi mazhab rasionalis yang tidak jelas batasannya.
‘Semangat hukum’ dari semua sistem hukum yang ada di dunia ini bisa dikatakan mirip, kalau tidak sama persis. Tapi, sistem hukum tersebut pada akhirnya harus dikatakan berbeda, karena dalam merelisasikan ‘semangat hukum’ tersebut memang mereka tidak sama. Contohnya, sistem hukum pidana Islam dan sistem hukum pidana barat punya ‘semangat hukum’ yang sama, yaitu sama-sama menghendaki keadilan dan ketertiban umum. Tapi dalam merealisasikan ‘semangat hukum’ tersebut, keduanya berbeda. Sistem hukum pidana Islam melarang zina (karena dianggap menganggu moral publik), sedangkan sistem hukum pidana barat melegalkannya asalkan dilakukan suka sama suka (karena tidak dianggap menganggu ketertiban). Apabila epistemologi hukum mazhab rasionalis digunakan, maka batas tegas antara sistem hukum Islam dan sistem hukum lainnya akan menjadi kabur, atau bahkan hilang sama sekali, akibat tidak adanya kepastian dan ketegasan ketentuan hukum.
Akal memang harus dioptimalkan penggunaannya, tapi bukan dengan cara ‘memperkosa’ teks, karena akal bukanlah satu-satunya sumber kebenaran. Sebagai penutup, ada baiknya kita ingat kembali pesan filosof Muslim masa lalu, Ibnu Sina yang mengatakan: “The human being is incapable of understanding the truth of things. They only know the khawaas (propers), aarad (accidents), and lawazim (corollaries), but not the corrective measures for it. Alla they know is that they are khawaas and aarad”. Maka, sangat perlu bagi kita untuk kembali pada kebenaran sesungguhnya dari wahyu, bukan kebenaran yang dipaksa-paksakan melalui cara-cara, yang memang terkadang, rasional dan ilmiah, tapi sejatinya akan membahayakan Islam.
Disinilah kejujuran kita dituntut…..
DAFTAR PUSTAKA
- Listiyono Santoso, Sunarto dkk., Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003
- Prof. Dr. Ahamad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003
- Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthiy, Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut: Mua’ssasah al-Risalah, 1986
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: Hukmuhu, Syara’ithuhu, Hujjiatuhu, Aqsamuhu, Atsaruhu, makalah dari www.bouti.com
- Dr. Sa’id Ramadlan al-Bouti, Al-‘Ilmu wa Mada Hurriyat al-Bahtsi al-‘Ilmiy fi al-Islam, makalah dari www.bouti.com
- Akhmad Minhaji, Modern Trend in Islamic Law, Notes on J. N. D. Anderson’s Life and Thought, dalam Al-Jami’ah Jornal of Islamic Studies Vol 39, Yogyakarta: IAIN, 2001
- Dr. S. Ali Shahrestani, The Crisis of Contemporary Civilization and the Prospects for Salvation, dalam Islamic University Quartely Academic Jornal Vol. (1) No (2), London: International Colleges of Islamic Science, 1994
- Dr. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perkembangan, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, t. t.
- A. Hanafi, MA., Pengantar Theology Islam, Jakarta: Djajamurni, t. t.
- Abdul Karim Tatan dan Muhammad Adib al-Kailany, ‘Aun al-Murid li Syarh Jauharat al-Tauhid fi ‘Aqidat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, Damascus: Dar al-Basya’ir, 1999
- Dr. Haidar Bagir, Akal adalah Rasul dalam Diri Manusia, artikel dalam www.islamlib.com
- Ulil Abshar Abdalla, Agama, Akal, dan Kebebasan, artikel dari www.islamlib.com
- M. Kholidul Adib Ach, Menggugat Teks dan Kebenaran Agama, Analisa Pemikiran Ali Harb tentang Relativitas Kebenaran Agama, artikel dari www.islamlib.com
- Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara Membaca Al-Qur’an, artikel dari www.islamlib.com
- Pradana Boy ZTF, Dimensi Filsafat dalam Wahyu, artikel dari www.islamlib.com
Langganan:
Postingan (Atom)